Renata melanjutkan aktifitas jogging-nya menyusuri jalan pedesaan dengan sawah yang terhampar luas, melewati para petani desa yang sedang bekerja di ladang, ia melambatkan langkahnya dan menyapa mereka dengan ramah. "Selamat pagi, Pak, Bu," sapa Renata dengan senyum lebar.
"Pagi, Non Rena," balas beberapa petani dengan antusias, mengenali Renata sebagai anak orang kaya di desanya.
Renata melanjutkan larinya, meninggalkan para petani yang kembali bekerja. Setelah ia menghilang dari pandangan, para petani itu mulai berbincang.
"Siapa tadi, Pak?" tanya seorang petani muda, yang baru saja bergabung bekerja di ladang itu.
"Ah, itu Non Renata, anak almarhum juragan Samsudin dan Bu Laila," jawab Pak Sardi, salah satu petani senior di desa itu. "Dia anak yang punya perkebunan dan sawah berhektar-hektar ini."
"Oh, begitu. Sudah lama tidak melihat dia di sini," sahut petani lainnya, seorang ibu-ibu.
"Iya, katanya dia baru saja kembali dari kota dan mau buka klinik di desa ini," kata Pak Sardi sambil mengusap keringat di dahinya.
"Wah, bagus dong, Pak. Biar warga di desa ini tidak usah jauh-jauh lagi ke puskesmas kecamatan untuk berobat," ujar petani muda itu dengan penuh harap.
Pak Sardi mengangguk. "Benar, semoga niat baiknya berjalan lancar. Juragan Samsudin dulu memang orang yang baik, semoga Non Rena juga mengikuti jejaknya."
***
Ratna tengah berjalan setelah pulang dari pasar. Di tangannya tergantung beberapa kantong berisi pakaian, sabun, barang-barang untuk keperluan menjahitnya berupa benang dan jarum.
Seperti biasa, ia akan melewati warung kopi di pinggir jalan, tempat para pria desa sering berkumpul untuk berbincang dan bersantai. Ratna sudah terbiasa dengan tatapan kagum para pria, tapi ia selalu berusaha untuk tidak memperdulikannya.
Sementara itu, di dekat warung kopi, Bu Siti dan beberapa ibu-ibu lainnya sedang sibuk memilih sayuran di lapak penjual. Mereka asyik mengobrol dan ber-ghibah ria. Hingga salah satu dari mereka melihat Ratna yang sedang berjalan mendekati warung kopi.
"Eh, ada si Ratna," bisik salah satu emak-emak bertubuh kurus seraya melirik ke arah Ratna.
Bu Siti, yang mendengar bisikan itu, langsung terkesiap. Matanya melebar dan ekspresinya berubah serius. "Aduh, gawat!" katanya dengan panik. "Bu Ibu ... Cepat sembunyikan suami kalian!"
Ibu-ibu di sekitar Bu Siti pun mulai gelisah, memikirkan bagaimana caranya agar suami mereka tidak tergoda oleh pesona Ratna. Beberapa ibu bahkan mulai berlari kecil untuk mencari suami mereka.
Bu Siti, dengan gesitnya langsung bergerak mendekati Pak Jajang yang sedang asyik berbincang di warung kopi. Tanpa berpikir panjang, ia merogoh kantong keresek hitam dari tas belanjanya dan langsung menuju ke arah sang suami.
"Pak, sini kamu!" seru wanita bertubuh gempal itu sambil menarik tangan suaminya.
Pak Jajang yang kebingungan, tiba-tiba merasakan sesuatu menutupi pandangannya. "Eh, Bu, apa-apaan ini? Bapak nggak bisa lihat!" katanya dengan panik.
Bu Siti dengan isengnya memasang kantong kresek hitam di kepala Pak Jajang agar ia tidak bisa memandang Ratna yang akan lewat. "Diam kamu, Pak! Jangan banyak protes. Ini semua demi kebaikanmu dan kita semua," kata Bu Siti dengan tegas.
Para pria di warung kopi dan ibu-ibu yang melihat kejadian itu tertawa terbahak-bahak, membuat suasana menjadi riuh dan penuh canda. Pak Jajang yang masih kebingungan dan malu, hanya bisa berdiri dengan kantong keresek hitam di kepalanya.
"Ya ampun, Bu, apa nggak ada cara lain? Ini malu-maluin, tahu!" protes Pak Jajang, suaranya terdengar teredam di balik kantong keresek.
Ibu-ibu lain yang melihat aksi Bu Siti juga segera menarik suami mereka, meski tidak se-ekstrim Bu Siti. Mereka semua merasa lega ketika Ratna akhirnya melewati warung kopi dan melanjutkan jalannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
JANDA MERESAHKAN
RomanceKisah seorang janda muda primadona desa, incaran pemuda lajang sampai pria paruh baya. Dia mempunyai daya tarik dan pesona yang memikat tak ayal membuat setiap lelaki yang melihatnya terpana. Akan tetapi, tidak ada satupun yang tahu rahasia seorang...