Bab 4

9.7K 366 23
                                    

Setelah Ratna diinfus dan diberikan perawatan, sore harinya Ratna memutuskan untuk menelepon Burhan,  memberitahukan keadaannya. Sedangkan Euis setelah membawakan pakaian Ratna, disuruhnya pulang. Ratna tidak mau merepotkan.

"Bapak," suaranya terdengar lemah di telepon. "Aku di klinik, dirawat karena asam lambung dan dehidrasi."

Di seberang sana, Burhan terkejut. "Ko baru kasih tahu Bapak? Sejak kapan?" tanyanya dengan nada tinggi.

"Dirawatnya baru tadi siang ko."

"Haduh, kamu itu, ya! Ya udah sekarang  Bapak sama Ibu ke sana." Terdengar jelas nada kekhawatiran sekaligus kesal ketika mendengar kabar anaknya sakit.

"Jangan lupa bawa makanan sama buah-buahan," pinta Ratna pada ayahnya.

"Iya nanti Bapak bawakan."

Tepat ketika adzan isya berkumandang, Burhan dengan mengendarai motornya sampai di klinik bersama istri dan anaknya yang masih kecil. Biasanya, jarak yang ditempuh membutuhkan waktu 35 menit dari kampungnya menuju Desa Suka Maju, tapi karena ngebut jadinya tiba lebih cepat. Burhan yang mengenakan baju batik dan peci, segera masuk ke dalam kamar perawatan Ratna yang dihuni dua pasien. Wajahnya tampak cemas dan sedikit marah.

"Ratna, kenapa kamu tidak bisa jaga kesehatan?" ujarnya dengan nada mengomel begitu masuk ke kamar. "Kamu itu harus makan teratur, jangan sampai sakit begini. Lihat, kamu sampai harus dirawat."

Ratna hanya bisa nyengir. "Iya."

Istri kedua Burhan yang tak lain adalah ibu tiri Ratna, berdiri di samping Burhan ikut berkomentar, "Bener kata Bapakmu Ratna. Kamu jangan telat makan. Ibu khawatir sama kamu, Ratna." Ratna memutar bola mata malas mendengar bualannya.

Burhan menghela napas panjang, kemudian duduk di samping tempat tidur Ratna. "Kamu harus lebih berhati-hati. Kami semua khawatir."

Ratna mengangguk pelan. "Iya, Pak. Aku akan lebih menjaga kesehatan mulai sekarang."

Burhan meletakkan kantong plastik hitam berisi makanan dan buah-buahan di meja. Ia meraih satu buah apel merah lalu mengupas dan memotongnya dengan pisau kecil yang ia bawa. Lantas, menyimpannya di wadah.

Sekilas Ratna melirik ke arah Julaeha, wanita berkerudung longgar itu baru saja keluar dari kamar mandi. Netranya lalu beralih pada adik laki-lakinya yang sedang asyik bermain ponsel. Rupanya, tidak tampak kehadiran sosok menyebalkan lain.

"Ko si Nia nggak datang?" Sebenarnya Ratna malas menanyakan adik tirinya itu, tapi penasaran juga.

"Oh, lagi tidak enak badan katanya, Rat," jawab Burhan seraya menyodorkan satu potongan apel ke mulut Ratna.

"Halah, basi. Banyak alasan, dasar adik kampret!" cibir Ratna dalam hati. Sembari mengunyah apel pemberian Burhan.

Lagipula, Ratna ogah melihat mukanya. Entah apa salah Ratna pada anak Julaeha itu. Perlakuan dan ucapan dari saudara tirinya yang suka ceplas-ceplos tak ayal membuat Ratna kesal dan emosi. Julaeha pun sama, ibu tiri menyebalkan.

"Ratna, cuci piring, pel lantai, kasih makan kambing. Cepat jangan pake lama!" titah Julaeha pada Ratna di suatu pagi yang cerah.

"Bikin orek, goreng tahu, tumis kangkung  ya Ratna. Nanti Bapakmu pulang dari sawah harus sudah disediakan makanan."

"Haduh, kamu tuh payah bisa masak apa nggak?"

"Halah, pelit amat aku kan cuman pinjam baju kamu bentar. Nih, " kata Nia ketika ia kepergok memakai pakaian bagus Ratna dengan pongahnya. Lantas ia melempar baju itu tepat ke wajah Ratna.

JANDA MERESAHKAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang