Bab 38 (18+)

6.1K 311 33
                                    

Setelah pulang dari persidangan, Renata menghentikan kendaraan di bahu jalan, depan sebuah mal besar. "Tunggu di sini sebentar," ucapnya pada Ratna sambil membuka pintu mobil. Walau agak bingung, Ratna menurut saja dan melihat Renata berjalan cepat memasuki mal, seakan ingin menyelesaikan sesuatu tanpa banyak bicara.

Waktu berlalu, hampir dua puluh menit Ratna menunggu. Kebosanannya memuncak dan ia akhirnya memutuskan untuk menelepon Renata. "Kamu lagi apa? Lama sekali."

Suara Renata terdengar datar di seberang telepon. "Sabar ya, sebentar lagi aku keluar."

Tak lama kemudian, Ratna melihat Renata berjalan kembali menuju mobil. Wajahnya tampak tenang, tapi langkahnya agak terburu-buru. Setelah masuk ke dalam, Ratna bertanya dengan penasaran, "Kamu habis ngapain aja? Kok lama?"

Renata hanya tersenyum tipis sambil memasang sabuk pengaman. "Ada urusan sedikit," jawabnya singkat, tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut.

Mobil itu melaju lagi, membelah jalanan kota yang padat. Ratna menatap Renata dari samping, masih penasaran, tapi memutuskan untuk tidak menekan lebih jauh. Di tengah perjalanan pulang, Renata tiba-tiba kembali menghentikan kendaraan di pinggir jalan. Ratna, yang masih duduk di sampingnya, memandang keluar dan langsung mengenali tempat itu. Kebun teh yang membentang luas, tempat mereka pernah singgah sebelumnya.

"Kita balik lagi ke sini," kata Renata sambil tersenyum lebar.

“Justru aku suka, Rena.”

Keduanya pun turun dari mobil, menikmati semilir angin yang bertiup di antara deretan pohon teh. Mereka melangkah menuju sebuah warung kecil di pinggir jalan, di mana aroma kopi dan gorengan panas yang baru saja diangkat dari wajan menyambut indra penciuman. Mereka memesan teh hangat dan sepiring pisang goreng, duduk di bangku kayu yang sederhana sambil menatap pemandangan hijau yang membentang.

Renata tampak lebih tenang kali ini, meski tak sepenuhnya lepas dari beban. Setelah menyesap tehnya, ia berdiri dan mengulurkan tangan pada Ratna.

"Ayo, kita jalan ke sana," ajak Renata, menunjuk ke arah tengah hamparan kebun teh.

Tanpa ragu, Ratna menerima tangan Renata dan berdiri. Mereka berjalan perlahan di antara barisan teh yang tertata rapi, menikmati keheningan yang hanya dipecahkan oleh suara langkah kaki mereka di atas tanah lembap.

Di tengah-tengah hamparan teh, Renata berhenti, menarik napas panjang, dan menatap ke depan sesaat sebelum menoleh pada Ratna. "Tempat ini bakal jadi tempat istimewa buat kita."

Ratna tersenyum, menggenggam tangan Renata lebih erat. "Iya, tempat ini akan mengingatkan aku betapa pentingnya kamu dalam hidupku."

Seulas senyum kecil terukir di wajah Renata, menyiratkan perasaan yang tidak terucap. Dalam keheningan kebun teh, tanpa kata-kata, keduanya saling memahami bahwa hubungan mereka, meski melalui berbagai badai, tetap kokoh. Di tempat ini, mereka merasa lebih kuat, lebih dekat, dan lebih siap menghadapi apa pun yang akan menghadang.

Semilir angin lembut menyapu wajah mereka, membawa aroma dedaunan teh yang segar. Matahari tepat berada di atas kepala, tapi di bawah langit biru dan hamparan hijau yang menyejukkan itu, waktu terasa melambat. Renata berdiri berhadapan dengan Ratna, diam sejenak, mengumpulkan keberanian. Renata menarik napas, lalu mengembuskannya. Ia menatap manik coklat Ratna, dalam dan penuh arti.

"Ratna ...." Renata memulai, suaranya sedikit bergetar karena gugup, "kita sudah lama melewati banyak hal bersama. Kamu ada di sisiku ketika aku dirundung masalah, kamu jadi sandaranku di saat-saat paling sulit hidupku, dan aku selalu bersyukur karenanya. Sekarang, ada satu hal yang akan aku ungkapkan."

Ratna menatap Renata dengan mata berbinar, mendengar setiap kata yang keluar dari bibirnya. "Ketika kita di bukit hijau ...." Renata melanjutkan, "aku janji pada kamu, kalau aku sudah menyelesaikan perceraian serta masalah-masalah yang mengikatku, aku ingin memulai sesuatu yang baru. Dan itu dengan kamu."

JANDA MERESAHKAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang