Bab 26

3.9K 396 47
                                    


Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah basah dan dedaunan kering, menyapu wajahku yang terasa dingin. Aku duduk termenung di gubuk kecil ini, memandang hamparan sawah luas di hadapan. Hijau menghampar sejauh mata memandang, begitu damai dan menenangkan. Namun, kedamaian alam tak mampu menenangkan gelora di dalam hatiku.

Aku bertanya pada diri sendiri, "Apakah cintaku salah?" Pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku tanpa henti. Aku menyukaimu, seorang wanita yang sudah memiliki belahan jiwa. Aku tahu, aku seharusnya tidak merasakan cinta terlarang seperti ini. Namun, hatiku tak bisa berhenti.

Aku telah mencoba sekuat tenaga untuk membuatmu melihatku, untuk merasakan apa yang kurasakan. Aku memberikanmu perhatian, kasih sayang, dan bahkan seluruh jiwaku. Namun, semua itu sia-sia. Kamu tetap memilih suamimu.

Apakah aku harus menyerah? Apakah aku harus melupakan semua perasaan ini? Hatiku berteriak tidak, namun logikaku berkata sebaliknya. Aku sadar, aku hanya seorang diri yang tenggelam dalam lautan cintamu.

Saat pertama kali bertemu denganmu, aku tidak sengaja melihatmu jogging pagi itu. Lalu di kali kedua suatu insiden menimpaku. Sebuah bola mengenai kepalaku dan ketika itu pula aku melihat perhatian dan raut kecemasan di wajahmu. Kali ketiga, kamu merawatku dengan sungguh-sungguh ketika aku sakit.

Melihat senyumanmu yang hangat kala itu, wajahmu yang manis, dan sosokmu yang anggun membuatku terpesona. Sejak itu, aku sadar aku sudah jatuh cinta. Aku mencoba mendekatimu, menjadi temanmu, berharap suatu saat nanti perasaan ini bisa terbalas. Namun, harapan itu hanya fatamorgana.

Hatiku adalah taman yang kuserahkan padamu, Renata. Aku menanam benih-benih kasih, menyiraminya dengan kerinduan, dan menunggunya mekar menjadi bunga terindah. Akan tetapi, kamu tak pernah melihat taman itu. Mata indahmu hanya tertuju pada satu bunga yang sudah mekar sempurna di hati suamimu.

Aku seperti kupu-kupu yang berputar-putar di sekitar lilin, terpesona oleh cahayanya yang hangat. Aku tahu, aku akan terbakar, tapi tetap saja aku tak bisa menghindar. Setiap tatapanmu, senyummu, tawamu, bagaikan bara api yang membakar jiwaku.

Aku memasak makanan kesukaanmu dengan penuh cinta, berharap sedikit saja kamu merasakan ketulusan hatiku. Aku memberikanmu perhatian yang tak pernah kamu sangka, berharap kamu akan melihatku lebih dari sekadar teman. Namun, semua itu tak berarti apa-apa bagimu.

Ketika akhirnya aku memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaan ini, hatimu tetap tertutup rapat. Langkah kakimu yang menjauh dariku tanpa menggubris kata-kata yang terucap dari mulut ini seakan memperjelas bahwa cintaku tak berarti apa-apa bagimu. Kamu bilang semua ini salah. Ya, aku tahu, sadar dan itu benar. Aku tak punya hak untuk menyalahkanmu.

Mungkin, aku hanya bunga liar yang tumbuh di pinggir jalan, sementara kamu adalah bunga anggun yang layak mendapatkan taman yang indah. Aku akan terus mencintaimu sampai hati ini meminta berhenti, meski harus merasakan sakitnya sendiri.

"Mengapa aku harus mencintai seseorang yang sudah memiliki hati?" Aku bergumam lirih. "Aku tahu ini salah, tapi aku tak bisa menghentikannya. Aku seperti seorang pecandu yang tak bisa lepas dari candumu."

Kamu tidak jahat, Renata. Hanya perasaanku saja yang salah tempat. Bukan kamu yang menyakitiku, mungkin aku yg terlalu berharap sehingga aku sakit oleh harapanku sendiri.

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Apakah aku harus melupakanmu dan mencari kebahagiaan yang lain. Namun, bagaimana caranya? Aku masih sangat mencintaimu.

Aku berdiri dan berjalan keluar dari gubuk. Angin senja semakin dingin menusuk kulitku. Aku berjalan menyusuri pematang sawah dengan pikiran kacau dan hati yang tak menentu.

JANDA MERESAHKAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang