Laila yang mendengar celetukan Arga langsung terkesiap. Pandangannya beralih dari televisi pada Arga dengan mata sedikit melebar, berusaha mencerna ucapan polos cucunya. “Hah?” tanyanya, mencoba untuk tenang namun jelas ada nada keheranan dalam suaranya.
Sebelum Arga sempat menjawab lebih lanjut, tiba-tiba terdengar suara panik dari belakang Laila. “Bu! I-itu ... nggak seperti yang Ibu kira.” Renata tergagap, mencoba mencari alasan secepat mungkin. Wajahnya memerah sedikit, terlihat jelas ia sedang gugup. “Waktu itu, kami ... cuma saling memijat kok.”
Laila menoleh ke belakang, menatap bingung Renata, menunggu penjelasan lebih lanjut. Renata melanjutkan dengan suara yang sedikit gemetar. “Kami saling pijat pakai minyak zaitun, Bu ... biar otot-ototnya lebih rileks. Makanya, ya ... perlu melepas pakaian, agar minyaknya meresap ke kulit,” katanya sambil tersenyum canggung, berharap alasan itu cukup meyakinkan.
Arga, yang mendengar penjelasan ibunya hanya mengangguk lugu seolah itu memang masuk akal bagi anak seusianya. Sementara itu, Laila tetap memandang Renata dengan dahi berkerut, seakan masih memproses apa yang baru saja ia dengar.
"Pijat... ya?" Laila menatap Renata sejenak dengan tatapan penuh pertanyaan, namun akhirnya ia hanya mengangguk pelan, memilih untuk tidak mendesak lebih jauh.
"Iya, Bu. Kita saling pijat soalnya capek kan waktu itu habis dari bukit hijau. Dan kebetulan saat itu Jesselyn bawa minyak zaitun, hehe," alibi Renata dibarengi cengiran lebarnya.
"Oh, begitu." Laila mengangguk-anggukkan kepala, mempercayai omongan bulshit putrinya.
Renata mengembuskan napas lega. Meski hatinya masih ketar ketir, ia berusaha mengalihkan perhatian. "Aku ke dapur dulu ya, Bu. Mau buat teh hangat," katanya sambil melangkah pergi dengan cepat, mencoba keluar dari situasi yang terasa semakin mendebarkan.
Setelah Renata menghilang ke dapur, Laila menghela napas panjang. Memandang Arga yang sudah kembali fokus bermain dengan balok susunnya. Ia mencoba menenangkan pikiran yang penuh tanda tanya dan sedikit salah paham.
"Kaget, kirain Renata sama Ratna kaum lagibete bisa jantungan saya ya Allah," gumamnya sambil menggelengkan kepala, lalu kembali menatap televisi.
Sementara itu, di dapur, Renata duduk sejenak di kursi, berusaha mengatur napas, menghilangkan rasa gugupnya. “Hampir saja ketahuan."
Setelah menyesap secangkir teh, Renata merasa sedikit lebih tenang. Ia kembali ke kamar, melepas sendal bulunya, lantas merebahkan diri di atas ranjang. Kelelahan dari hari yang panjang membuatnya cepat terlelap.
Beberapa jam kemudian, saat malam semakin larut, Renata mulai merasakan ada pergerakan di sampingnya. Ia sedikit terjaga, namun masih terlalu lelah untuk benar-benar membuka mata. Selimutnya terasa diangkat perlahan, dan seseorang menelusup masuk ke dalam.
Dengan lembut, Ratna memeluk Renata dari samping, merapatkan tubuhnya ke arah Renata yang masih setengah tertidur. Wajah Ratna ia benamkan ke ceruk leher Renata, seolah mencari kehangatan dan kenyamanan di sana. Renata menghela napas pelan, setengah sadar, merasakan kehadiran Ratna yang begitu dekat. Tanpa kata, keduanya terhanyut dalam keintiman senyap yang terasa aman dan menenangkan.
Keesokan paginya, Renata terbangun dengan mata yang masih setengah terbuka. Tangannya meraba-raba ke samping kiri, berharap menemukan Ratna di sana. Ia teringat jelas bahwa Ratna tidur bersamanya semalam, tetapi saat meraba, tempat di sebelahnya tampak kosong. Ratna sudah tidak ada.
Renata menggeliat, merenggangkan otot-otot. Sedikit malas, ia bangkit dari ranjang, berjalan menuju kamar mandi. Ia menyalakan lampu dan berdiri di depan cermin, terdiam sejenak mengembalikan kesadaran hingga ketika pandangan tertuju pada bayangan dirinya di cermin, mata Renata terbelalak.
KAMU SEDANG MEMBACA
JANDA MERESAHKAN
RomanceKisah seorang janda muda primadona desa, incaran pemuda lajang sampai pria paruh baya. Dia mempunyai daya tarik dan pesona yang memikat tak ayal membuat setiap lelaki yang melihatnya terpana. Akan tetapi, tidak ada satupun yang tahu rahasia seorang...