Bab 32

4.7K 372 44
                                    

Paras si Ratna tuh kira² seperti ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Paras si Ratna tuh kira² seperti ini. Cewek Sunda yg cantik alami pokoknya, tapi balik lagi sih ke imajinasi kalian. Yg di cover juga si Ratna cuman body nya agak berisi dikit. 😅



Di tengah hamparan hijau kebun teh yang menyejukkan mata, Renata dan Ratna berdiri berhadapan, udara sejuk berembus lembut menerpa helaian rambut mereka. Tanpa aba-aba, Renata tiba-tiba mendekat dan mencium bibir Ratna. Ratna tertegun, matanya membulat saking terkejutnya.

Dia tidak menyangka bahwa Renata, yang biasanya tenang dan terukur, bisa "nyosor" duluan seperti ini. Ciuman itu terasa manis dan lembut. Sejenak mereka terlarut dalam keintiman di antara dedaunan teh yang bergoyang.

"Hehe, maaf," ucap Renata terkekeh, salah tingkah sembari menjauhkan wajahnya, sedangkan Ratna masih bengong dengan pipi merona dan jantung berdebar.

Momen itu tiba-tiba buyar ketika mereka mendengar suara ranting terinjak dari samping. Keduanya refleks celingukan dan mendapati seorang kakek berdiri di sana dengan mulut menganga. Sang kakek memanggul sebuah keranjang besar di pundaknya—keranjang untuk memetik daun teh. Dia melongo melihat pemandangan mengejutkan di depan mata.

Ratna berusaha tenang, buru-buru memasang ekspresi datar meski hatinya ketar ketir. Dengan cengengesan khasnya, ia nyeletuk, "Kenapa, Bah? Kaget lihat kakak adik ciuman? Katanya kalau punya saudara perempuan lagi sariawan, bagusnya dicium sama adik perempuannya biar cepet sembuh, Bah." Ratna menahan tawa, ekspresi serius yang ia paksakan justru membuat dirinya terlihat makin jenaka.

Renata melotot ke arah Ratna, tidak habis pikir dengan alibi konyol yang keluar dari mulutnya. "Astaga, Ratna." Renata membatin, wajahnya bersemu merah karena malu.

Sang kakek hanya manggut-manggut polos seolah mengerti penjelasan Ratna yang jelas-jelas ngawur itu, kemudian berlalu pergi sambil melanjutkan pekerjaan, memetik daun teh seolah tak ada yang aneh. Begitu kakek itu menghilang di antara pepohonan, keduanya tak bisa menahan tawa lagi.

"Ada-ada aja kamu, Ratna." Renata sampai geleng-geleng kepala.

"Seharusnya Bu dokter berterimakasih sama saya, karena berhasil meyakinkan si Abah tadi." Ratna nyengir. "Jadi ... Begitu ya gayamu kalau lagi romantis?" Dia menaik turunkan alisnya, menggoda Renata.

Renata menyipitkan mata, setengah malu setengah kesal. "Diam, Rat. Kamu selalu bisa bikin situasi aneh jadi tambah aneh."

"Tapi, saya nggak nyangka kamu yang duluan nyosor!" Senyuman Ratna makin lebar. "Wah, kalau gitu kapan-kapan saya sariawan lagi deh, siapa tahu bisa dapet 'obat' gratis."

Renata hanya bisa menunduk malu, tangannya dengan cepat menepuk lengan Ratna, salah tingkah. Di antara tawa dan candaan mereka, ada sesuatu yang lebih dalam yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Rasa gemuruh di hati masing-masing.

Renata menarik napas panjang dan berkata sambil mengalihkan pandangan. "Ayo, Rat, kita lanjut perjalanan. Malu saya kalau ingat kejadian barusan." Tanpa menunggu jawaban, Renata sudah berbalik menuju mobil, langkahnya sedikit tergesa.

JANDA MERESAHKAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang