"Cherine ... kau akan tetap bersamaku, kan? Kau tidak akan meninggalkanku, kan?"
"Cherine ... bagaimana jika aku menginginkanmu lebih. Bagaimana jika aku ingin kau selalu ada bersamaku?"
"Cherine ... tidakkah kau merasa rindu padaku? Aku menunggumu, Cherine. Aku ingin bertemu denganmu lagi, Cherine ...."
"Cherine ... aku merindukanmu."
Kedua mata Cherine perlahan terbuka. Kedua mata yang hampir empat hari ini terlelap terus menerus. Cherine koma, tapi perempuan itu tidak sadar jika dirinya sedang mengalami koma, sebab dalam ketidaksadarannya, hanya Vander yang menemani dirinya.
"Cherine ...."
Suara itu menyapanya. Suara dari wanita paruh baya yang selalu menemaninya selama Cherine terbaring di sana. Cathy bangun dari posisinya, kemudian pergi menghubungi dokter lewat sebuah telepon yang ada di dalam ruangan tersebut.
"Putriku siuman. Tolong segera datang."
Cherine mulai mengamati ruangan inapnya. Sampai ketika, kedua matanya berhasil sampai pada tangan yang tergips. Dia baru saja menyadari jika saat mobilnya menabrak pembatas jalan, berakhir dengan kecelakaan fatal.
"Sayangku, Mom sangat merindukanmu."
Air mata Cathy turun begitu saja. Mencium kening putrinya selama beberapa detik. Cathy sudah hampir putus asa meskipun dokter sudah mengatakan jika Cherine akan segera siuman. Tentu saat Cherine terbaring di sana, satu-satunya yang terbayangkan oleh Cathy adalah mendiang putri pertamanya.
"Mom ... sudah berapa lama aku di sini?" tanyanya dengan suara yang nyaris tak terdengar.
"Empat hari, sayangku."
Cherine terdiam seketika. Kepalanya mendadak teringat dengan Vander. Di dalam ketidaksadarannya, Vander selalu datang menemui Cherine. Di dalam dunia bawah sadar itu Vander terus meminta agar Cherine segera kembali. Makhluk itu merindukannya.
Vander sangat merindukan dan menantikan Cherine kembali.
"Mom ... aku ingin pulang."
****
Meminta pulang saat kondisinya baru saja sadar dari koma, bukanlah hal yang mudah. Faktanya, Cherine harus menunggu di rumah sakit sampai dokter mengizinkannya kembali. Mungkin memakan hampir dua mingguan. Bahkan sebelum Cherine kembali ke rumah, ia menyempatkan diri untuk mendatangi makam milik mendiang kakeknya.
Cathy dan Andrew sejujurnya sama sekaki tidak menyarankan, tetapi Cherine tetap memaksa dengan alasan ia ingin meminta maaf karena tidak bisa hadir saat pemakaman karena kecelakaan yang menimpa mereka. Saat di pemakaman, Cherine menangis, tetapi situasi itu tak lama berhenti.
"Kakek pasti sangat bersedih karena aku tidak bisa menjumpainya sebelum ia benar-benar pergi," ujar Cherine saat mereka sudah berada di dalam mobil.
"Ini bukan kemauan kita, Cherine. Mom bahkan merasa sangat menyesal karena tidak bisa menyeimbangkan mobil yang kita tumpangi."
"Tentu itu bukan kesalahanmu, Mom. Jangan menyalahkan dirimu sendiri."
Cathy menolehkan kepalanya ke belakang kursi. Di mana Cherine tengah memalingkan wajahnya sekarang ke luar jendela. Alih-alih merasa sedih karena tangannya harus dipasang gips, Cherine justru lebih sedih karena tidak bisa bertemu dengan mendiang kakeknya untuk kali terakhir.
Cathy kembali menarik kepalanya, kemudian Andrew sekilas menoleh pada istrinya tersebut. Ada keheningan di sepanjang perjalanan menuju rumah mereka. Awalnya Cathy dan Andrew akan tinggal di rumah mendiang orang tua Cathy, tetapi Cherine berulang kali meminta untuk segera pulang, seakan Cherine sudah tidak sabar akan sesuatu. Padahal, rumah kedua orang tua Cathy adalah rumah yang paling Cherine susah tinggalkan saat mereka berkunjung.
"Cherine, jika kau merasa kepalamu mengalami nyeri, tolong segera katakan pada Dad. Kau mengerti?"
"Ya, aku mengerti," jawabnya dengan lemas.
"Dokter bilang, kepalamu tidak terluka, tetapi dia menyarankan agar kau melaporkan rasa sakit apapun yang kau terima saat di rumah nanti. Ya, hanya untuk berjaga-jaga."
"Ya, Dad," jawab Cherine dengan singkat yang akhirnya berhasil membuat Andrew terdiam.
****
Setiap hari, Vander selalu mengintip lewat gorden kamar Cherine demi melihat siapa yang datang. Tetapi, ia selalu dikecewakan dengan harapan. Keluarga Cherine tak kunjung pulang hampir memakan dua minggu. Vander sudah sedikit putus asa karena rasa takut akan kehilangan sosok Cherine.
"Dia tidak akan kembali? Dia tidak mengingatku? Cherine ... aku membutuhkanmu."
Kembali Vander menutup gorden kamar tersebut. Wajahnya menunduk lemas, sebab apa yang ia harapkan tak kunjung datang. Padahal, Vander sudah berusaha keras untuk masuk ke dalam mimpi Cherine. Meminta perempuan itu segera kembali padanya. Berulangkali, sampai mungkin jiwa Cherine merasa sangat bosan bertemu dengannya.
Di dalam dunia bawah sadar Cherine, Vander mengikuti langkah perempuan itu yang semakin menjauh darinya. Akan tetapi, Cherine tidak berbicara di sana. Perempuan itu terdiam dengan wajah yang menunduk.
"Apa dia masih bersedih sekarang setelah kepergian kakeknya?" Vander bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
"Seharusnya aku menghiburmu, Cherine. Aku minta maaf. Aku pasti telah mengganggu dunia mimpimu."
Vander terduduk di samping ranjang dengan wajah yang masih menunduk. Kedua tangannya bertaut dengan pikiran yang masih berpusat pada Cherine. Perempuan yang tetap ia nantikan kepulangannya sampai detik ini. Tidak peduli apakah Cherine akan tetap kembali, atau justru sama sekali tidak.
"Sejauh apapun kau pergi dariku, aku akan tetap berusaha hadir dalam mimpimu, Cherine. Aku tidak akan membiarkanmu melupakanku. Kita harus tetap bersama sampai aku yang pergi lebih dulu darimu."
Halo, author Aster kembali🔥
Hampir satu minggu nggak ikut update,
tapi sekarang udah mulai aktif lagi, kok.Note : masih dalam project.
See you, Asterlove💗
•
•
•06 Juni 2024
🌸AsteriaJjung🌸
KAMU SEDANG MEMBACA
THE MYSTERIOUS MAN || REVISI✓
FantasySetiap kali tertidur, Cherine selalu merasa ada yang memperhatikannya. Memanggil namanya di alam mimpi, berulang kali, dan terus-menerus. Awalnya, Cherine mengira itu hanyalah sebuah bunga tidur. Tetapi, seluruh dugaannya terpatahkan saat perempuan...