Vander tidak pernah pergi dari Cherine. Sejak ia membawa Cherine ke dalam dunianya, Vander memutuskan untuk tidak mendekatkan diri pada perempuan itu. Setiap hari, Vander berdiri di samping pintu kamar Cherine. Memperhatikan setiap aktivitas Cherine, bahkan ketika Cherine seperti tengah merindukan kehadirannya.
"Cherine, setelah kau mengganti bajumu, jangan lupa untuk turun."
Suara Cathy terdengar di balik pintu kamar Cherine. Ketika langkah kaki mulai terdengar mendekat, Vander menggeser tubuhnya. Tak lama, Cherine mendorong panel pintu dan masuk dengan wajah lelahnya.
Vander merasa iba melihat perempuan itu pulang dengan wajah tanpa senyuman.
Cathy berjalan masuk mengikuti langkah putrinya. Kedua tangannya melipat di atas dada bersama helaan napas berat yang ia hembuskan dengan kasar.
"Sudah dua malam kau tidak pernah ikut makan bersama lagi. Kau ada masalah?"
Vander mengalihkan pandangannya pada Cherine yang mulai pura-pura sibuk menggantung tas, kemudian kemeja yang baru saja ia lepaskan dari tubuhnya. Ia sama sekali tidak menoleh pada Cathy yang masih menunggu jawaban darinya di sana.
"Cherine ...."
Cherine sontak menghentikkan aktivitas tangannya. Tanpa memutar balik tubuhnya, Cherine terdiam dalam beberapa detik.
"Aku sudah makan malam bersama Matthew, Mom. Kalau tidak percaya, kau bisa bertanya langsung padanya."
"Justru karena dia bilang padaku jika kau menolak tawaran makan bersamanya. Jika kau ada masalah, tolong selesaikan secara baik-baik, Cherine. Jangan seperti ini."
Cherine masih terdiam di tempatnya saat Cathy kembali melangkah pergi meninggalkan dirinya di sana. Setelah menyadari kepergian Cathy, Cherine kemudian terduduk di tepi ranjang. Menunduk dengan raut wajah penuh kesedihan.
Vander kemudian berjalan mendekat. Berlutut tepat di hadapan Cherine agar ia bisa melihat dengan jelas wajah milik Cherine.
"Aku rasa, aku sudah benar-benar gila. Dia pergi begitu saja setelah mengatakan omong kosong yang aku anggap serius." Cherine mengusap wajahnya.
"Tidak, Cherine. Telingamu saja yang salah. Tidak ada siapapun di dalam kamar ini. Anggap saja ini adalah ilusi yang dihasilkan oleh perasaan depresi. Ya, anggap saja begitu," katanya, meyakinkan diri sendiri.
****
Cherine sudah terlelap dalam setengah jam lalu. Sudah selama itu pula Vander menatap wajah Cherine dengan lekat di sampingnya. Menopang kepalanya dengan siku. Kemudian, tatapan Vander turun pada salah satu tangan Cherine yang terlentang.
Jejak yang Vander tinggalkan sudah tidak begitu kentara, tetapi perasaan bersalah dalam diri Vander masih begitu kuat sampai-sampai Vander merasa tak siap untuk bertemu dengan Cherine lagi, bahkan di dunia mimpi sekalipun.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE MYSTERIOUS MAN || REVISI✓
FantasySetiap kali tertidur, Cherine selalu merasa ada yang memperhatikannya. Memanggil namanya di alam mimpi, berulang kali, dan terus-menerus. Awalnya, Cherine mengira itu hanyalah sebuah bunga tidur. Tetapi, seluruh dugaannya terpatahkan saat perempuan...