3

104 4 0
                                    

Alaska berusaha untuk mengontrol dirinya agar dia tidak kelihatan begitu bodoh karena lupa kalau Kanaya itu menggunakan alat bantu dengarnya. Meskipun tidak sempurna mendengarnya, setidaknya dia masih bisa menangkap apa yang dikatakan. Apalagi, perempuan itu juga cukup cerdas untuk membaca gerak bibir. Dia menegakkan tubuhnya, menepis rasa kesal barusan karena sok tahu, berpikir kalau Kanaya tidak mendengar apa yang dia katakan.

"Kalau begitu, bagus. Jadi saya nggak harus repot belajar bahasa isyarat ataupun masih sibuk ngetik di HP buat ngomong sama kamu."

Sebetulnya, kata-kata Alaska cukup menyakitkan bagi Kanaya, dan dia menyadari sikap Alaska berbeda dari yang pertama mereka bertemu. Alaska yang tampak santun, dan lembut, kini telah menunjukkan sifat yang asli. Dia dingin bahkan seperti menolak keberadaan Kanaya. Diajak bicara pun, sikapnya sungguh tidak mengenakkan.

Sebetulnya, ada perasaan kecewa di hati Kanaya, tetapi perempuan itu coba memaklumi. Mungkin ini karena mereka masih sama-sama lelah melewati rangkaian acara pernikahan. Menghadapi tamu yang begitu banyak, membicarakan hal-hal tidak penting bahkan cenderung berat. Kanaya coba berpikir kalau wajar saja seseorang akan jadi bad mood.

"Ya sudah kalau begitu saya akan tidur." Kanaya mengetikkan pesan.

Alaska hanya mengangguk dengan senyum tipis. Tangannya tetap berada di kantung, dia berbalik lagi menatap pemandangan kota yang terpampang dari balik jendela hotel.

Kanaya naik ke tempat tidur pelan-pelan berbaring kemudian menarik selimut. dia berusaha memejamkan mata, tetapi tidak bisa tidur

Kenapa ya belum genap 24 jam dia jadi istrinya Alaska sudah ada perasaan berbeda?

Seperti sekarang, terlihat sangat menonjol perbedaan di antara keduanya dan kata-kata suaminya barusan. Apakah itu sudah termasuk dalam penghinaan?

Meski tidak diucapkan secara langsung, bahasa tubuhnya mengesankan kalau dia meremehkan kekurangan Kanaya. Ini memang apa salahnya kalau menjadi sosok yang tidak bisa bicara? Bukankah memang manusia itu ditakdirkan untuk tidak sempurna?

Kanaya mungkin ditakdirkan untuk memiliki kekurangan dari sisi yang ini, dan dia juga tahu orang lain di luar sana juga pasti punya kekurangan. Hanya saja mungkin tidak tampak.

Terus memikirkannya, Kanaya merasa kelelahan sendiri hingga akhirnya dia tertidur lelap. Lalu bangun disambut hari dan menyadari Alaska malah tidur di sofa, tidak berbaring di sampingnya.

Adzan subuh berkumandang, Alaska masih tidur. Sebagai seorang istri, Kanaya pikir sudah kewajibannya untuk membangunkan suami. Dia menepuk perlahan suaminya tersebut.

Alaska sedang tidur lelap, dia baru bisa masuk ke alam mimpi sekitar pukul 02.00 pagi. Sepanjang malam dia hanya memikirkan Arini dan membayangkan bagaimana sakitnya hati perempuan itu. Terlalu memikirkannya sampai-sampai terbawa ke alam bawah sadar dan ketika sedang tidur, beberapa kali dia menggumamkan nama Arini. Untung saja suasananya gelap, Kanaya tidak bisa melihat gerak bibirnya dan juga tidak mendengar terlalu jelas.

Kanaya mengguncang lebih keras supaya Alaska bangun untuk melaksanakan salat subuh. Laki-laki itu terjaga dan matanya melebar. Sepertinya Alaska salah mengenali karena dia tiba-tiba memeluk Kanaya.

"Arini, kamu di sini. Kamu di sini menemani saya." Alaska memeluk begitu erat.

Kanaya tidak mendengarnya karena dia belum memasang alat bantu dengar. Namun, yang dia rasakan adalah pelukan Alaska di pagi itu begitu hangat sehingga dia membalasnya. Perempuan itu merasakan cinta yang begitu besar dari pelukan Alaska. Sementara itu, laki-laki yang sedang diberi perhatian tersebut malah sebenarnya sedang menggumamkan nama kekasihnya yang hingga saat ini belum bisa dia lupakan.

Setelah puas menumpahkan kesedihannya memeluk Kanaya, Alaska melepaskan pelukan tersebut. Hatinya benar-benar lega.

Ketika tahu bahwa itu adalah Kanaya bukan Arini, seketika senyum di wajah laki-laki itu pudar. Kanaya masih menatapnya dengan tulus. Dia pikir sudah salah menilai, Alaska tidak mencintainya, buktinya pagi-pagi seperti ini saja dia sudah dapat pelukan yang begitu hangat.

"Kamu kenapa bangunin saya?"

Kanaya mengurutkan alis, karena suasananya gelap jadi dia agak susah untuk memahami apa yang Alaska katakan.

Kali ini, Alaska yang mengalah. Dia mengambil ponsel, kemudian mengetikkan kata-kata yang tadi dan berikutnya, kedua orang itu berkomunikasi dengan ketikan di ponsel.

"Sudah subuh, saya bangunkan kamu supaya kamu salat."

Alaska meremas kepalanya, kemudian mengecek jam di ponsel. Rupanya, sudah hampir pukul 05.00. Dia bergeser dari tempatnya, meninggalkan Kanaya begitu saja, pergi ke kamar mandi.

Kanaya terdiam di tempat. Barusan, perempuan itu mendapatkan perlakuan yang begitu hangat, sekarang sudah diabaikan seperti ini lagi. Apakah suaminya itu menderita kepribadian ganda?

Berikutnya, Kanaya menunggu Alaska untuk salat berjamaah. Dia berharap suaminya bisa menjadi imam di salat pertama mereka sebagai pasangan suami istri.

Namun, Alaska begitu lama di kamar mandi sehingga Kanaya takut kesiangan. Perempuan itu salat sendiri, akhirnya baru Alaska keluar. Dia langsung mulai salat tanpa bicara apa-apa dengannya.

Kanaya termenung sendiri. Apakah begini rasanya menjadi pasangan pengantin baru yang menikah tanpa pacaran?

Satu sama lain di antara mereka masih saling kikuk begini. Apakah dia harus sedikit agresif di depan suaminya?

Namun, jika dilakukan itu, apakah Alaska tidak akan memandang rendah pada dirinya?

AlaskaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang