Alaska merasa bingung dan frustrasi dengan sikap Kanaya yang berubah. Kanaya, wanita yang biasanya hangat dan penuh cinta, kini terlihat dingin dan menjaga jarak darinya. Sesuatu yang sangat berbeda dari biasanya.
"Kamu kenapa harus tanya kayak gitu?" tanya Alaska, mencoba mencairkan suasana yang terasa begitu tebal. Namun, Kanaya hanya diam, matanya menatap ke arah lain, seolah mencoba menghindari kontak mata dengan Alaska.
Bagi Kanaya, kepercayaan adalah hal yang sangat berharga. Setelah seseorang berbohong padanya, sulit baginya untuk kembali percaya sepenuhnya. Satu kebohongan kecil bisa merusak hubungan yang telah dibangun. Dan itu yang terjadi antara dia dan Alaska.
Kanaya tidak bisa lagi menaruh kepercayaan penuh pada suaminya. Kebohongan Alaska telah merusak kepercayaannya. Meski Alaska berusaha memperbaiki hubungan mereka, Kanaya masih merasa waspada. Ia memilih untuk diam, memalingkan wajahnya dari Alaska, berusaha menutupi perasaan dan pikirannya.
Alaska cukup kecewa. Dia merasakan bagaimana dinding yang dibangun Kanaya membuatnya merasa terisolasi. Dia mencoba untuk menembus dinding itu.
"Kanaya, apa saya yang menyusul kamu sampai ke sini juga masih kamu ragukan?" tanya Alaska, suaranya hampir berbisik.
Kanaya masih diam. Dia menatap ke arah lain, seolah mencoba untuk menghindari pertanyaan Alaska. Dia merasa tidak siap untuk berbicara tentang apa yang dia rasakan, tentang bagaimana kebohongan Alaska telah merusak kepercayaannya.
Alaska merasa putus asa. Dia merasa seperti berjalan di jalan buntu, tidak tahu harus berbuat apa untuk memperbaiki hubungan mereka. Namun, dia tahu dia harus berusaha. Dia tahu dia harus berjuang untuk mendapatkan kembali kepercayaan Kanaya. Dan dia siap melakukan apa pun untuk itu.
Kanaya, dengan matanya yang sembunyi, memilih untuk diam. Bibirnya rapat, seolah terkunci oleh beban perasaan yang begitu berat. Dia tidak mau menjawab pertanyaan Alaska. Pria itu mencoba untuk membaca apa yang tersirat di balik tatapan dingin Kanaya.
Ya ... ini adalah salahnya. Alaska merasa menyesal. Dia adalah orang pertama yang merusak kepercayaan dalam hubungan mereka.
Jika Kanaya tidak tulus mencintainya, pasti perempuan itu akan langsung mengadukan ini pada ayahnya. Dan dalam hitungan detik, Alaska bisa saja digeser oleh ayah Kanaya.
"Papa saya pasti butuh kamu untuk di perusahaan karena saya bisu, nggak bisa jadi pemimpin di sana. Saya nggak akan bicarakan ini dengan papa dan kamu nggak perlu takut dicopot dari posisi sekarang."
Alaska cukup terkejut karena Kanaya masih mengira kalau ini soal jabatan di perusahaan.
"Kamu mau saya mundur dari posisi sekarang, oke saya mundur!"
Kanaya mengerutkan alis.
"Kamu mau saya lakukan apa lagi?" tantang Alaska. "Oke, saya lakukan!"
Kanaya tetap mengatup rapat mulutnya.
Alaska putus asa. Dia berdiri di depan Kanaya, matanya menatap istrinya dengan penuh penyesalan dan kesedihan, seolah-olah telah kehilangan segalanya, dan tidak tahu bagaimana untuk mendapatkan kembali kepercayaan dan cinta Kanaya.
"Sebut saja, Kanaya. Apa yang kamu mau saya lakukan untuk kamu!" desak Alaska, suaranya penuh dengan keputusasaan. Dia merasa seolah-olah dia telah mencoba segala cara, namun tidak ada yang berhasil. Dia merasa seolah-olah dia telah berjuang sekuat tenaga, namun tidak ada yang cukup baik untuk Kanaya.
Namun, Kanaya hanya diam. Dia memandang Alaska dengan tatapan kosong, seolah-olah dia tidak merasa apa-apa. Dia tidak menjawab, dan itu membuat Alaska merasa semakin frustrasi.
"Kamu mau menyuruh saya lompat ke tengah jalan juga sekarang, oke!" seru Alaska, suaranya penuh dengan emosi. Dia merasa seolah-olah dia akan melakukan apa saja untuk mendapatkan kembali cinta dan kepercayaan Kanaya, bahkan jika itu berarti dia harus merisikokan hidupnya sendiri.
Namun, sekali lagi, Kanaya hanya diam. Dia tetap tidak menjawab, dan itu membuat Alaska merasa semakin putus asa. Dia merasa seolah-olah dia telah kehilangan segalanya, dan dia tidak tahu bagaimana untuk mendapatkan kembali apa yang telah dia hilangkan.
Dalam hatinya, Alaska berharap bahwa Kanaya akan memberinya kesempatan kedua. Dia berharap bahwa Kanaya akan memaafkannya dan memberinya kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya. Namun, dengan setiap detik yang berlalu, harapan itu semakin memudar, dan Alaska merasa semakin putus asa.
Alaska marah lagi, padanya. Mereka bertengkar di saat Kanaya sedang sensitif-sensitifnya karena perubahan hormon dalam tubuhnya. Alaska menyugar rambut.
"Apa pun saya lakukan untuk kamu, Kanaya. Kalau memang itu mau kamu. Saya akan korbankan apa saja, asal kamu mau maafkan saya."
Alaska menatap Kanaya. Alisnya menurun dan sekarang dia berlutut di depan Kanaya. "Apa saja, Kanaya ... saya lakukan untuk kamu. Mau kamu apa, akan saya turuti."
"Sebagai ayahnya, saya mau anak kita ini sempurna. Dia harus cantik seperti ibunya kalau perempuan, kalau laki-laki mungkin dia harus karismatik seperti kakeknya, pintar kayak kamu ...."
"Semua kayak saya dan keluarga saya. Kamu nggak mau ambil bagian?"
"Ada." Alaska menyahut cepat. "Kalau laki dia pasti ganteng kayak papanya."
Kanaya bisa tersenyum sekarang.
"Please, Kanaya." Alaska memohon. "Jangan marah lagi dengan saya. Saya tahu kelakuan saya kemarin salah, nggak seharusnya saya mengabaikan kamu."
Kanaya belum percaya sepenuhnya, tapi untuk kali ini dia mau Alaska melakukan sesuatu untuk bisa membuatnya kembali.
"Kalau saya mau kamu menjauhi Arini dan jangan pernah lagi ketemu dengan dia dalam kondisi apa pun, apa kamu mau?"
Alaska tertegun. Mana menyangka dia kalau sang istri bisa membuat permohonan seperti ini. Alaska memang sudah tidak ada perasaan lagi pada Arini. Dia tahu kalau istrinya adalah orang yang harus dia pilih untuk menjalani sisa hidup bersama. Apalagi, mereka sekarang sudah akan menjadi orang tua. Ada anak Alaska yang tumbuh dalam rahim Kanaya. Namun, memutus komunikasi dengan Arini begitu saja juga bukan hal mudah.
Setidaknya, Alaska harus mengingat bahwa salah satu hal yang membuatnya kembali pada Kanaya adalah karena Arini juga yang memintanya kembali.
"Kalau kamu nggak sanggup untuk menjauhi Arini, ya udah nggak apa-apa. Saya juga nggak akan marah."
"Oke!" Alaska menjawab cepat. "Kalau itu mau kamu, aku akan jauhi Arini. Aku akan hapus kontak dia dan aku nggak akan ketemuan lagi dengan dia."
Kanaya tidak bersungguh-sungguh meminta yang tadi. Dia tahu Arini juga wanita yang baik. Hanya saja, suaminya yang plin-plan ini harus Kanaya beri pelajaran sedikit. Ke depannya, kalau memang Arini butuh bantuan atau ada kesulitan, Kanaya justru malah siap membantu. Mereka bisa jadi sahabat setelah masalah ini lewat.
Alaska memegang wajah Kananya lagi. "Jadi, gimana?" tanyanya. "Kamu mau kan pulang dengan saya dan kita mulai lagi semua dari awal?"
"Nggak segampang itu." Kanaya masih mengeluh.
"Apa lagi?" Alaska nyaris gila kalau begini.
"Saya lapar." Kanaya melirik ke perutnya. "Saya belum makan apa-apa dan dari pagi muntah terus. Belikan saya makanan."
Alaska mengekeh. "Oh, tunggu." Hampir saja dia kira Kanaya merajuk hal lain lagi.
"Saya akan belikan bubur untuk kamu."
"Beli bubur, jangan pakai daun bawang, tapi bawang gorengnya dibanyakin, kuahnya harus pisah, dengan sate telur puyuh, tapi maunya yang matang sempurna, nggak boleh mentah atau ada gosongnya!"
Alaska menggaruk kepala. Sebelumnya, dia panggil Malik untuk menerjemahkan itu karena terlalu rumit untuk dipahami. Setelah tahu semuanya baru dia menjawab, "Ya ... saya cari."
Alaska cemberut, tetapi demi membujuk Kanaya, rela memenuhi permintaan istrinya itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Alaska
Roman d'amourSetelah Kanaya pergi, Alaska baru sadar kalau dia jatuh cinta pada istrinya yang tidak sempurna itu. Bahkan, sebenarnya setelah malam pertama mereka benih-benih cinta sudah tumbuh di hati Alaska