11

24 1 0
                                    

"Oh ...." Malik tampak ragu, seakan-akan dia ingin menarik ucapannya. Seharusnya tidak dia katakan soal Alaska.

"Tunggu. Kenapa kamu tanya gitu?" Kanaya tampak terburu-buru saat dia menggunakan bahqsa isyaratnya.

"Kenalanku, staf di kantor papamu bilang kalau satu bulan belakangan ini suamimu jarang ke kantor." Malik menjelaskan, meski terlihat ragu-ragu di wajahnya.

Hanya saja, Malik pikir akan lebih baik Kanaya tahu yang sebenarnya daripada dia selalu dibohongi Alaska seperti ini.

Kanaya seolah-olah membeku. Kata-kata Malik seakan-akan seperti petir yang menyambar, membuatnya terkejut dan tidak bisa bergerak. Dia merasa dunianya runtuh, dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Malik melihat perubahan reaksi Kanaya, dan dia merasa khawatir. "Kanaya?" panggilnya, suaranya penuh kekhawatiran.

Kanaya terkejut ketika dia dipanggil.

"Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" tanya Malik.

Kanaya menggeleng, mencoba untuk menunjukkan bahwa dia baik-baik saja. Namun, matanya tampak kosong, dan dia tampak jauh dari baik-baik saja.

Untuk sementara, Kanaya memutuskan untuk menutupi situasi sebenarnya tentang Alaska.

"Oh, aku lupa. Alaska beberapa hari ini ada masalah dengan pencernaannya. Dia jadi agak kurang sehat." Kanaya berusaha untuk memberikan penjelasan yang masuk akal.

Malik tampak ragu, tetapi dia mencoba untuk percaya pada apa yang dikatakan Kanaya. "Kamu yakin dengan apa yang barusan kamu omongin?"

"Yakin." Kanaya mencoba untuk tersenyum. "Jangan khawatirkan aku ataupun Alaska."

"Kanaya ...." Malik menyentuh jemari perempuan itu. "Kamu dan aku sudah bersama sejak kecil. Apa kamu lupa, kalau aku selalu bisa tahu setiap kali kamu berbohong?"

Kanaya menarik jemarinya, menghindar agar Malik tidak menyentuhnya lagi.

Malik menghela napas. Mereka bukan lagi anak kecil seperti dulu. Kanaya juga bukan lagi sekadar sepupunya, tetapi dia adalah istri dari pria lain.

"Maafkan aku." Malik kelihatan menyesal karena sudah berani menyentuh Kanaya sembarangan.

Kanaya menggoyangkan tangannya cepat. Ini bukan salah Malik. Dia juga hanya refleks menghindar tadi. Apa yang dilakukan Malik mungkin hanya sekadar bentuk perhatian. Namun, Kanaya sudah dewasa sekarang.

"Malik, kamu suka muffin?" Kanya mengalihkan topik.

"Suka."

Kanaya tersenyum semringah. "Kalau begitu kebetulan sekali, aku baru saja membuat muffin. Kamu harus mencobanya."

Malik mengangguk.

Kanaya menyuruh Malik menunggu sebentar, dia akan ke dapur mengambil muffin itu. Dan tanpa Malik tahu saat Kanaya berbalik, ada air mata tang menetes.

Di dalam hati, Kanaya merasa marah dan sedih. Dia telah dikhianati, dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kanaya kehilangan kepercayaannya pada Alaska.

Kanaya akan mencari tahu sendiri tentang kondisi Alaska. Dia tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan dan kemarahan, dan dia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Tunggu saja besok," kata Kanaya dalam hati, berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan mencari tahu kebenaran.

****

Malam telah turun, dan suasana di kamar tampak begitu hening. Lampu tidur yang menyala lembut menciptakan bayangan yang panjang di dinding, dan suara hembusan angin malam terdengar lembut dari luar jendela.

"Alaska, boleh saya tanya sesuatu ke kamu?" Kanaya mengajak bicara suaminya.

Alaska, yang sedang asyik dengan bukunya, menoleh dan tampak acuh tak acuh. "Kamu mau tanya apa?" jawabnya, suaranya datar.

Kanaya merenung sebentar, pikirannya dipenuhi dengan omongan Malik. Dia merasa bingung dan tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Dia mencoba untuk mengumpulkan pikirannya, mencoba untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi.

Dia menarik napas dalam-dalam, menahan diri agar bisa tetap tenang. "Kerjamu di kantor gimana?" tanya Kanaya, mencoba untuk memulai percakapan.

Alaska heran. Namun, dia tidak peduli. Dia hanya mengangguk dan melanjutkan membaca bukunya, seolah-olah tidak ada yang salah.

Kanaya mencoba memancing sekali lagi, berharap bahwa Alaska akan mengungkapkan sesuatu. "Papa, apa pernah sekali-sekali ke perusahaan?" tanya Kanaya, matanya menatap Alaska dengan penuh harapan. Dia berharap bahwa Alaska akan memberikan jawaban yang dia cari, dan dia berharap bahwa dia akan bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi.

"Lancar dan aku jarang ketemu dengan papamu," jawab Alaska dengan tenang, seolah-olah tidak ada yang salah.

"Besok apa kamu akan ke kantor lagi?" tanya Kanaya, mencoba untuk mendapatkan lebih banyak informasi.

Alaska sadar bahwa Kanaya curiga padanya. Namun, dia tetap tidak peduli. Dia merasa bahwa ini mungkin merupakan kesempatan yang baik untuk membicarakan masalah pernikahan mereka dan berpikir bahwa mungkin akan lebih baik jika mereka berakhir.

"Hm!" balas Alaska, suaranya datar.

Alaska tidak peduli. Dia merasa lelah dan ingin tidur. Pria itu berbaring di tempat tidur, memalingkan wajahnya dari Kanaya. Dia begitu tenang, seolah-olah tidak merasa ada yang perlu dikhawatirkan.

Kanaya merasa sakit hati. Dia tahu telah dikhianati. Perempuan itu telah kehilangan sesuatu yang penting. Yaitu sebuah kepercayaan. Harapannya untuk bersama Alaska seakan pupus.

☘️☘️☘️

Pagi itu, Kanaya bangun lebih awal dan mempersiapkan sandwich untuk sarapan. Meski hatinya berat dan penuh kecurigaan, dia berusaha tetap sabar dan menjaga sikapnya agar tidak terlihat bahwa dia tahu Alaska berbohong.

Alaska turun tangga, tampak segar dan siap memulai hari.

Kanaya menyambutnya dengan hangat. Meski hatinya sakit, dia berusaha untuk tetap bersikap normal. "Kamu akan berangkat kerja pagi ini?"

Alaska telah belajar secara otodidak tentang bahasa isyarat, sehingga Kanaya tidak perlu lagi menggunakan ponsel untuk berkomunikasi dengannya. Dia mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Kanaya.

"Aku akan buatkan sarapan dan kopi untukmu," ucap Kanaya dengan semangat. Meski hatinya pedih, dia berusaha untuk tetap bersemangat dan mencari perhatian suaminya.

Namun, Alaska langsung menolak. "Nggak usah," katanya, suaranya datar. Dia tidak tertarik dengan usaha Kanaya.

"Saya mau langsung berangkat."

"Tapi, saya sudah siapkan sarapan dan kopi untukmu, sudah tinggal seduh." Kanaya setengah memohon. Dia hanya mencoba untuk menjadi istri yang berbakti, berusaha untuk merawat suaminya sebaik mungkin.

Alaska hanya melihat jam tangannya dan tampak tidak peduli. Dia meraih tangan Kanaya dan mencium keningnya sebagai tanda perpisahan. "Saya harus pergi," katanya, dan kemudian memanggil sopir untuk menyiapkan mobil.

Kanaya berdiri diam di tempat, mencoba untuk menahan rasa sakit yang dia rasakan. Air mata mulai menetes dari matanya, dan dia merasa seolah-olah hatinya telah hancur.

"Alaska, maafkan aku yang mulai hari ini nggak bisa lagi percaya denganmu," bisik Kanaya dalam hati, air matanya jatuh membasahi pipinya. Hatinya tidak sekuat yang dipikirkan.

Kanaya menyeka air matanya yang masih menetes, lalu beranjak dari tempatnya. Dia berusaha untuk l kuat saat hatinya merasa hancur.

Dia memberi tanda kepada sopir untuk menyiapkan mobil. Sopirnya tampak bingung, tidak mengerti apa yang terjadi.

"Nyonya mau ke mana?" tanya sopir tersebut.

"Ikuti GPS Tuan!" perintah Kanaya dengan ketikan di ponselnya. Dia ingin tahu ke mana suaminya pergi setiap hari.

AlaskaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang