17

57 3 0
                                    

Alaska berada di kantor sekarang. Kebetulan dia harus bertemu dengan ayahnya sendiri karena urusan bisnis dan Wiraatmaja malah menanyakan juga kabar Kanaya.

Alaska bersandar di kursinya, mendongakkan kepala.

"Kanaya minta cerai." Sontak omongan Alaska itu membuat Wiraatmaja terkejut.

"Kanaya minta cerai?" Dia bertanya. "Kamu berbuat apa sampai dia marah kayak gitu!"

"Aku nggak ngapa-ngapain, apa yang dia mau aku turutin. Tapi, pilihan dia sudah bulat. Dia nggak mau meneruskan rumah tangga ini denganku."

Wiraatmaja mengepal tangan di meja. "Kamu ini gimana! Kalau pisah dari Kanaya, jabatanmu juga terancam!"

Alaska menyimpulkan senyum. "Papa cuma mikirin soal perusahaan?"

"Apa lagi yang lebih penting dari itu?"

Alaska nyaris tidak percaya kalau orang tuanya bisa sesempit itu pikirannya.

"Aku kira karena Papa bersahabat baik dengan Papa Salim, Papa akan lebih memikirkan soal Kanaya."

Wiraatmaja diam menerima sindiran anaknya itu.

"Papa nggak bisa campur dengan urusan asmara kalian. Tapi, kalau urusan perusahaan, biar bagaimanapun juga itu masih ada kaitannya dengan keluarga kita. Wajar bukan kalau Papa harus tanya begitu?"

Ya ... sepertinya Alaska tidak bisa menampik kalau orang tuanya hanya fokus pada harta dan juga jabatan di perusahaan.

"Kamu selingkuh atau melakukan kekerasan padanya?"

Alaska menggeleng. Tidak ada dari keduanya yang dia lakukan. Sekalipun masih mencintai Arini, Alaska tidak pernah berselingkuh. Kecuali dia hanya mendatangi perempuan itu sekadar untuk berbicara santai, tanpa melakukan hal di luar batas.

"Kalau nggak ada dari dua hal itu yang kamu lakukan. Kenapa Kanaya sampai nekat mau cerai?" Wiraatmaja, bertanya dengan nada penuh kebingungan dan kekhawatiran. Dalam penampilannya yang berwibawa, tampak kerutan di dahi dan kerisauan dalam matanya.

"Tanyakan saja ke dia!" balas Alaska, suaranya penuh kejengkelan. Dia merasa terpojok dan tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu. Wajahnya tampak tegang, matanya menunjukkan kebingungan yang mendalam.

"Kamu ini gimana, sih! Apa kamu nggak peduli sama sekali dengan perasaan istrimu?" Wiraatmaja mempertanyakan sikap Alaska. Dia merasa frustrasi dengan sikap putranya yang tampak acuh tak acuh.

Alaska sendiri bingung dengan perasaannya. Dia merasa terjepit antara cinta dan rasa bersalahnya pada Kanaya, serta tekanan dari ayahnya yang berharap dia bisa mempertahankan posisinya di perusahaan.

"Sudahlah!" tangkis Alaska, mencoba mengalihkan topik pembicaraan. "Papa ke sini bukannya mau bahas soal perusahaan? Jangan khawatir soal itu. Kerja sama kita tetap lancar dan keuntungan sudah pasti besar."

"Cepat kamu bujuk istrimu itu jangan sampai dia terus marah. Lakukan apa pun supaya dia nggak mau berpisah denganmu!" Wiraatmaja mendesak. Dia merasa khawatir dengan kemungkinan perceraian yang bisa mengancam posisi Alaska di perusahaan.

"Papa melakukan ini karena memikirkan soal perusahaan?" tanya Alaska, mencoba memahami motif di balik kekhawatiran ayahnya.

"Ya, tentu saja!" jawab Wiraatmaja. "Karena kamu bisa dicopot dari posisi ini dan nasib kita juga akan terancam."

"Kalau cuma karena perusahaan, nggak usah khawatir. Kanaya sudah bilang denganku kalau dia nggak akan sangkut pautkan masalah perceraian ini dengan posisiku sekarang. Lagi pula, memang kinerjaku bagus, membawa keuntungan bagi perusahaan aku masih bisa pegang posisi ini." Alaska menjawab dengan tenang.

AlaskaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang