Setelah Kanaya pergi, Alaska baru sadar kalau dia jatuh cinta pada istrinya yang tidak sempurna itu. Bahkan, sebenarnya setelah malam pertama mereka benih-benih cinta sudah tumbuh di hati Alaska
Malik tersenyum ketika Kanaya mendekatinya. "Kenapa kamu jadi ke sini? Nanti suamimu marah."
Kanaya mengibaskan tangan, dia bilang, "Suamiku nggak akan marah, dia kan lagi ngobrol dengan papa. Biasanya kalau orang yang sama-sama suka bisnis pasti nyambung kalau ngobrol mereka. Kalau sudah asyik ngobrol, nggak akan ingat apa-apa."
Malik tertawa. Pria itu kemudian mengajak Kanaya ke taman di rumah itu. Keduanya lanjut berbincang.
"Iya juga ya, makanya Om Salim itu jarang cocok ngobrol denganku karena aku ini nggak tertarik dengan urusan bisnis," lanjutnya.
Kanaya mengerucutkan hidung dan bibir. "Tapi itu malah keren, ada satu orang yang punya bakat seni di rumah ini. Kalau semuanya ngobrolin soal bisnis, aku bakal bosan."
Malik tersenyum, "Kayaknya cuma kamu yang suka melihat lukisanku."
"Selalu," Kanaya mengacungkan dua jempol. Perempuan itu duduk, asisten rumah tangganya mendatangi lalu menawarkan minuman pada mereka.
Malik yang selalu hafal dengan kesukaan saudara sepupunya itu langsung meminta agar dibuatkan jus nanas.
Kanaya bertepuk tangan kegirangan, karena apapun kondisinya Malik selalu paham dengan seleranya. Sembari menunggu minuman, Malik menggoda Kanaya kembali.
"Mama dengan papa kamu tadi sempat membicarakan soal anak, itu tandanya kamu nggak boleh lagi rajin-rajin minum nanas."
Kanaya masih berkilah, "Itu cuma mitos, nggak akan ada pengaruhnya."
Malik tertawa mendengar itu.
Saat duanya sedang asyik mengobrol, Alaska berdeham. Malik menoleh, kemudian dia berusaha untuk bersikap ramah dengan menjabat tangan laki-laki yang sudah menjadi suaminya Kanaya.
Kanaya melambaikan tangan. Dia tersenyum semringah, terutama ketika jus nanas yang dimintanya sudah disajikan.
Alaska menunjukkan ekspresi yang sulit ditafsirkan, lalu dia beralih pada Malik mengajaknya bicara.
"Kalian akrab ya?"
"Tentu," Malik menjawab, "Antara aku dengan dia itu sudah sangat dekat sejak umurku masih 3 tahun."
"Kalian seumuran?"
Malik menggeleng. Dia melirik Kanaya, "Saudaraku lebih tua 2 tahun dariku."
Di pandangan Alaska, sepertinya Kanaya jauh lebih kekanak-kanakan daripada Malik.
"Aku harus pulang." Alaska seakan tidak suka untuk berbasa-basi lagi di sana. Malik hanya mengangguk. Tentu saja dia tidak bisa meminta Alaska untuk membiarkan Kanaya berada di sini lebih lama.
Bergegas, Malik ke hadapan Kanaya, tujuannya supaya perempuan itu bisa melihatnya, agar mereka bisa berkomunikasi.
"Tunggu di sini sebentar ya, aku mau ambilkan sesuatu untukmu."
Kanaya mengangguk. Malik pergi sebentar ke dalam rumah dan tidak lama kemudian dia kembali dengan sebuah lukisan yang sudah dibingkai rapi untuk Kanaya.
Itu adalah lukisan pemandangan di salah satu desa yang pernah mau dikunjungi Kanaya. Sudah melihatnya melalui foto-foto di media sosial Malik dan perempuan itu benar-benar kagum. Dia selalu berpikir bisa datang ke desa itu dengan gunung menjulang tinggi berwarna biru, sawah yang luas membentang, juga burung-burung berterbangan, suasana yang sangat nyaman. Kanaya yakin, jika dia berada di sana satu hari saja, pasti akan sangat bahagia.
"Terima kasih."
"Sama-sama."
Alaska memperhatikan kedua orang itu. Malik paham bahasa isyarat dan Kanaya jauh lebih cepat paham saat Malik yang mengajak bicara.
Wow, keduanya memang benar-benar akrab!
Alaska yakin, jika mereka bukan saudara sepupu, sudah pasti Malik itu akan menikahi Kanaya. Terlihat sekali dari perlakuannya juga caranya menatap, pria itu menyimpan perasaan pada Kanaya.
Sebelum Alaska mengajak Kanaya pulang, terlebih dahulu Malik bicara dengannya. "Aku titip saudaraku, tolong jaga dia baik-baik. Kalau ada apa-apa hubungi saja aku, aku pasti akan membantumu."
"Membantumu?" Alaska mengerutkan alis. "Aku dengar kamu di sini malah tidak bergabung dengan perusahaan sama sekali. Kesibukanmu hanya berpetualang dan juga melukis, sepertinya omonganmu itu terbalik. Harusnya aku yang bilang, kapan-kapan kalau kamu butuh bantuanku, bilang saja ya. Sebagai suaminya Kanaya, aku akan membantumu."
Kanaya memperhatikan kedua laki-laki itu, dia belum bisa menangkap 100% obrolan mereka. Namun, sudah bisa dipastikan kalau omongan itu bukan obrolan santai.
Malik tidak mau Kanaya jadi kepikiran, jadi dia berusaha untuk tetap tersenyum. "Suamimu sungguh baik."
Kanaya mengukir lengkungan bukan sabit di bibirnya. Syukurlah kalau begitu. Dia kira tadi mereka sempat berdebat sengit.
Alaska meraih tangan Kanaya, mengajaknya menuju mobil. Sebenarnya laki-laki itu sedang tidak sadar dengan apa yang dilakukannya, ketika Kanaya membalas genggamannya lebih erat, tiba-tiba saja Alaska melepaskan.
"Maaf, saya nggak sengaja gandeng kamu kayak gitu." Dia membukakan pintu mobil, karena kebetulan sopir ayahnya akan mengantar mereka kali ini, lalu gantian masuk dari sisi yang lain setelah Kanaya duduk.
Sudahnya, sepanjang perjalanan pria itu diam saja.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.