Tanpa bicara, Alaska memeluk Arini.
"Alaska, apa yang kamu lakukan!" Arini kaget dengan pelukan itu.
Alaska tetap memeluk erat Arini. "Aku merindukanmu ...."
"Alaska!" Arini berontak ingin melepaskan pelukan tersebut. "Aku mohon, jangan begini kalau istrimu tahu ...."
"Tolong Arini, aku tersiksa. Aku merindukanmu ...." Suara Alaska terdengar begitu pilu hingga tenaga Arini seakan hilang, membuat dia hanya bisa membiarkan laki-laki itu memeluk jauh lebih erat dan lebih dalam.
***
Arini memandang lembut ke sosok laki-laki yang berdiri di depannya. Alaska, suami Kanaya yang malah berada di di rumahnya.
"Kamu nggak seharusnya di sini." Suara Arini hampir berbisik.
Alaska, dengan wajah pucat dan mata yang tampak lesu, hanya bisa menatap Arini. Dia tahu dia salah, dia tahu dia seharusnya tidak berada di sini. Namun, apa daya, hati dan rasa cintanya pada Arini membuatnya tidak bisa berpaling.
"Alaska, kamu harus pergi," ucap Arini lagi, kali ini suaranya lebih keras, penuh dengan penekanan. Dia berusaha membuat Alaska paham kalau keadaan saat ini tidak memungkinkan bagi mereka untuk tetap berdua.
Mereka berdua saling pandang, tatapan mereka penuh dengan rasa yang sulit diungkapkan. Cinta, penyesalan, dan rasa takut tercampur menjadi satu.
"Aku nggak tahan lagi," ucap Alaska akhirnya, suaranya hampir tak terdengar. Dia terlihat lelah, berjuang dengan perasaannya yang terbelah
Arini hanya bisa terdiam, menatap Alaska yang tampak begitu rapuh di depannya.
Alaska berdiri di depan Arini, matanya menatap intens ke dalam mata Arini. Wajahnya tampak serius, suaranya bergetar saat dia berbicara, "Aku mau membawamu pergi."
"Alaska ...." Suara Arini bergetar, penuh dengan kesedihan dan kelemahan. Dia merasa seperti berada di tepi jurang, bingung dan takut.
Alaska melangkah maju, mendekati Arini. Tangannya perlahan-lahan mengangkat wajah Arini untuk menatapnya. "Perusahaan papa sudah mendapatkan bantuan dana, aku nggak perlu lagi mempertahankan rumah tangga dengan Kanaya."
Arini menatap Alaska, matanya memohon dan penuh dengan air mata yang ditahan. "Pulanglah, Alaska." kata-katanya hampir bisu, namun cukup kuat untuk menghantarkan pesannya.
"Aku nggak mau!" Alaska menegaskan. Matanya nanar, penuh dengan penolakan dan ketakutan. Dia takut kehilangan Arini, takut harus kembali ke rumah dan menjalani hidup tanpa Arini.
Arini hanya bisa diam, menatap Alaska.
Alaska tampak putus asa, dia bersimpuh, memegang kaki Arini seperti orang yang kehilangan akal. "Arini, aku mohon." katanya. Ada getaran emosi yang menggulung-gulung dalam dirinya.
"Pulanglah." Arini mengulangi kata-katanya, kali ini suaranya lebih kuat, meskipun dia harus menahan air mata yang menggenang di mata.
"Kamu nggak peduli lagi denganku?" tanya Alaska. Dia merasa seolah-olah dunianya runtuh, dan dia tidak tahu bagaimana caranya untuk membangunnya lagi.
"Aku peduli." Arini akhirnya mengumpulkan keberanian untuk berkata, suaranya hampir tercekat oleh air mata yang berderai di pipinya. Dia merasa seolah-olah hatinya sedang dirobek. Alaska adalah pria yang dicintainya. Bukan hanya karena dia tampan dan kaya raya. Namun, juga karena kasih sayangnya begitu tulus.
Arina meraih tangan Alaska dan membantunya berdiri, memohon agar dia tidak bersimpuh lagi.
Alaska merasakan lembutnya tangan Arini yang menggenggam tangannya, seolah-olah mendapatkan kembali harapannya. Dia merasa telah menemukan kembali cintanya yang hilang, dan Alaska tidak ingin melepaskannya lagi.
"Kalau begitu, biarkan aku di sini."
Arini diam, menatap Alaska dengan ragu. Tidak tahu apa yang harus dilakukan. Gadis itu bingung dan takut.
Arini tidak bisa membiarkan Alaska tinggal, tetapi dia juga tidak bisa menolaknya.
Alaska terus memohon, matanya nanar, penuh dengan harapan dan rasa takut kehilangan. "Arini, aku mohon," katanya lagi.
Arini harusnya meminta Alaska pergi, tetapi dia juga tidak bisa menolak cintanya. Setelah pergumulan yang begitu panjang, Arini mengangguk pelan. Dia membiarkan Alaska tinggal, menyerah pada perasaannya dan berharap bahwa semuanya akan baik-baik saja.
*
Sore itu, langit berwarna jingga lembut, memberikan nuansa hangat dan nyaman di rumah.
Kanaya duduk di ruang tamu, menunggu suaminy pulang. Matanya terpaku pada pintu depan, menunggu sosok yang dia cintai muncul dari balik pintu.
Ismi datang menghampiri Kanaya dengan piring berisi buah potong. "Nyonya Kanaya, mau makan buah?"
Kanaya menoleh, tersenyum lembut pada Ismi dan mengangguk. "Terima kasih, Ismi."
Deru mesin mobil terdengar dari kejauhan, membuat Kanaya langsung menegakkan badannya. Matanya berbinar. Dia berdiri, menaruh piring di meja dan berjalan ke arah pintu.
Mobil berwarna hitam muncul dari balik pintu gerbang, berhenti tepat di depan pintu rumah. Alaska turun dari mobil, saat dia melihat Kanaya.
Kanaya bergegas menghampiri Alaska, senyumannya lebar. "Selamat datang pulang, sayang," katanya, mengambil tas kerja dari tangan Alaska dan memberikan pelukan hangat. Alaska membalas pelukan itu, hanya sekejap. Semata agar sikap dinginnya ini tidak kentara.
Setelah menyambut Alaska di pintu depan, Kanaya mengikuti suaminya masuk ke rumah. Mereka berdua berjalan melalui lorong panjang, melewati ruang keluarga dan dapur, menuju tangga yang mengarah ke lantai atas.
"Kamu sibuk kerja hari ini?" tanya Kanaya. Dia hanya berusaha untuk basa-basi dengan suaminya agar hubungan mereka lebih hangat.
Mereka sampai di kamar, tempat yang paling intim dan pribadi dalam rumah.
"Hemh," jawab Alaska, suaranya rendah dan lelah. Dia melepaskan dasi dan mulai membuka kemeja kerjanya, menunjukkan otot-ototnya. Membuat Kanaya tanpa sadar menelan saliva.
"Mau saya buatkan apa?" tanya Kanaya.
"Nggak usah," jawab Alaska dengan nada yang agak ketus.
Sementara Alaska melepaskan kemejanya, Kanaya masih berdiri di pintu kamar, memperhatikan suaminya. Dia bisa melihat ketegangan di otot-otot Alaska, dan dia bisa merasakan kelelahan yang menyerang suaminya.
Alaska menoleh, menatap Kanaya. Dia mengerutkan alisnya. Ada sesuatu di mata Kanaya yang membuatnya merasa tidak nyaman, seolah dia bisa melihat melalui dirinya.
Kanaya merasa bingung, mencari ide lain untuk membantu suaminya. "Kamu mau mandi air hangat?" tanyanya, berharap bahwa itu bisa membantu.
"Nggak," jawab Alaska dengan singkat, membuat Kanaya merasa semakin bingung dan khawatir.
"Ada yang bisa saya bantu untuk kamu?" tanya Kanaya lagi, suaranya penuh dengan keinginan untuk melayani suaminya. Dia hanya ingin jadi istri yang berbakti.
Namun, Alaska mulai merasa jenuh. Keberadaan Kanaya membuatnya seakan tidak bisa bernapas. Perempuan itu selalu mengerubungi Alaska dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dia inginkan.
"Ada," jawab Alaska akhirnya, membuat mata Kanaya berbinar-binar. Dia berharap bahwa suaminya akhirnya akan memberinya kesempatan untuk membantu.
Namun, jawaban Alaska justru membuat hati Kanaya hancur. "Kalau bisa, kamu cukup diam. Jangan ajak saya ngomong terus!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Alaska
RomanceSetelah Kanaya pergi, Alaska baru sadar kalau dia jatuh cinta pada istrinya yang tidak sempurna itu. Bahkan, sebenarnya setelah malam pertama mereka benih-benih cinta sudah tumbuh di hati Alaska