Suasana di ruangan itu jadi agak tegang ketika Salim bertanya pada Alaska seperti sebuah interogasi, karena dia menyadari menantunya itu tidak becus menjaga putrinya.
Cinta pertama bagi Kanaya adalah ayahnya, dan mungkin dia yang kemarin agak kekanakan dalam bertindak sampai nekat memilih pergi dari rumah ini tanpa izin pada Alaska, membuat dua keluarga besar ini heboh.
Wiratmaja memang berteman dengan Salim, tetapi untuk urusan yang satu ini dia tidak berani banyak bicara. Jabatan ayahnya, Kanaya itu jauh lebih tinggi. Dia harus merendah agar tidak dipecat sebagai besan.
"Papa, nggak perlu ngomong kayak gitu di suasana kayak gini!" Vena memarahi suaminya. "Anak-anak ribut dalam rumah tangga itu kan biasa saja, Pa. Kita juga nggak lebih mudah yang kayak gitu."
Salim menghela napas panjang. Dia agak kesal, makanya tadi lepas kendali.
"Papa, minta maaf kalau sudah marah tadi."
Kanaya bangun mendekati ayahnya lalu memeluk erat. Setelah itu, Kanaya mengarahkan tangan sang ayah ke bagian perutnya.
"Belum ada rasa apa-apa, tapi di sini sudah ada anakku." Wanita kesayangan Salim tersebut tersenyum lebar.
Salim begitu bahagia. Putri satu-satunya sekarang sudah akan menjadi seorang ibu. Di umurnya yang orang anggap mungkin tidak muda lagi untuk menikah, Salim bahagia anaknya bisa tersenyum bahagia begini.
Alaska meraih tangan Salim kemudian menciumnya. "Pa, maaf kalau saya ada salah. Tapi, saya janji untuk sekarang sampai nanti, Kanaya dan anak kami akan saya jaga sepenuh hati."
"Papa pegang omongan kamu itu!"
🍒🍒🍒
Malam harinya, ketika mereka sudah benar-benar berdamai dan orang tua mereka tidak akan ikut campur lagi dalam urusan mereka, mempercayakan keduanya untuk menyelesaikan masalah.
Dan... sebagai laki-laki normal yang merindukan istrinya, malam itu Alaska ingin menggoda Kanaya.
"Kanaya..." Alaska dengan lembut menarik sedikit baju perempuan itu, mendekatkan wajahnya ke pundak istrinya. Dengan perlahan, dia mencium dan menggigit pelan bagian itu, seolah ingin meninggalkan jejak cinta yang tak terhapus.
Kanaya bergidik, merasakan sensasi hangat yang langsung menjalar ke seluruh tubuhnya. Sejenak, dia merasa bulu kuduknya meremang, merasakan getaran yang menggema hingga ke hati terdalam.
Tatapan matanya tampak sendu, seolah tersimpan banyak pertanyaan yang ingin dia tanyakan. Ada kekhawatiran, ada kerinduan, ada cinta yang terpendam.
Alaska, melihat reaksi istrinya, tersenyum lembut. Dia tahu, ada banyak hal yang ingin ditanyakan Kanaya.
"Boleh saya tanya satu hal padamu?"
Kanaya mengangguk.
"Selama kamu pergi dari rumah ini, apa yang kamu pikirkan?"
Kanaya terdiam, memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaan barusan.
"Kamu berpikir kalau akan meninggalkan saya?"
Kanaya menggeleng. "Saya pergi karena saya nggak sanggup melihat kamu yang lebih dulu pergi dari saya."
Alaska mengusap wajah Kanaya, tatapan pria itu jatuh lembut di atas kedua mata istrinya.
"Mulai hari ini, jangan pernah berpikir lagi kalau saya akan meninggalkan kamu."
Kanaya tersenyum, kemudian dia ingat dengan apa yang dikatakannya tadi siang.
"Soal Arini ...." Kanaya menggantung ucapannya sejenak, "saya nggak bersungguh-sungguh meminta kamu untuk menjauh dari dia, apalagi sampai memutuskan silaturahim. Tapi, tolong jaga kepercayaan saya."
Mereka saling tatap untuk sejenak.
"Jangan pernah menduakan saya lagi, meskipun kamu masih mencintai dia."
Alaska menggeleng. "Nggak ada cinta lagi untuk Arini dan saya juga tahu kok kalau kamu nggak benar-benar serius soal ancaman tadi siang. Tapi, saya memang berjanji nggak akan lagi menemui Arini kecuali kamu izinkan."
Kanaya mengukir senyum. Wajahnya benar-benar bersinar seperti rembulan. Alaska mengusap wajah istrinya itu lembut, memberi rasa nyaman lebih dulu pada Kanaya.
"Kamu merindukanku?" tanya Alaska.
Kanaya mengangguk.
Alaska menempelkan bibirnya di bibir Kanaya, diam sebentar belum mulai dengan sentuhan yang lebih dalam dan romantis.
Seperti oasis di tengah padang pasir, dagaga Alaska atas kerinduannya pada Kanaya terbayar. Begitu juga sebaliknya. Semua bisa terbayar.
"Aku mau menghabiskan waktu denganmu malam ini," ujar Alaska.
Kanaya mengiyakan.
Keduanya menghabiskan waktu bersama jauh lebih mesra dan hangat dari yang sebelumnya. Alaska memperlakukan istrinya dengan begitu lembut dan kelihatan sekali cinta yang begitu besar dari setiap tindakannya.
"Kanaya, kamu itu milikku ...." Alaska membisikkan kata cinta di telinga Kanaya, mengabaikan kalau itu mungkin tidak bisa didengarnya. "Tetaplah bersamaku begini, selamanya ...."
Kanaya terbuai dengan bisikan itu. Dia yakin itu adalah kata-kata yang indah. Jika saja bisa baginya bicara, sudah pasti dia kan menggaungkan nama Alaska malam ini ratusan kali.
Dia... pria yang malam ini membawa Kanaya terbang melayang ke langit, membuainya dengan sentuhan manis melebihi gula kapas.
Malam itu, mereka berdua merasakan kehangatan cinta yang tak terkatakan. Cinta yang tulus, cinta yang mendalam. Cinta yang membuat mereka merasa, bahwa mereka adalah satu. Satu dalam cinta, satu dalam jiwa.
☘️☘️☘️
Enam bulan kemudian, Kanaya ada jadwal rutin pemeriksaan kandungan dan seperti biasa dia akan selalu ditemani Alaska. Untuk kali ini dokter bilang berat badan Kanaya sudah pas untuk ukuran ibu hamil usia kandungan 6 bulan. Tidak terlalu gemuk, tidak terlalu kurus juga. Detak jantung bayinya kuat. Meski sudah kesekian kali mendengar, baik Kanaya atau Alaska selalu merasa takjub setiap kali mendengarnya.
"Kamu yakin nggak mau tanya ke dokter dia laki atau perempuan?" Alaska membuka percakapan ketika mereka menuju mobil usai pemeriksaan di dokter kandungan.
Kanaya tidak mau. "Saya belum mau tahu dia laki-laki atau perempuan sekarang. Mungkin, nanti kalau dia sudah dekat mau lahir baru akan cek."
"Kenapa harus kayak gitu?" Alaska penasaran.
"Karena saya suka berkhayal tentang dia. Kalau laki-laki akan gimana dan perempuan akan gimana."
Itu memang benar, setiap malam Kanaya sering berkhayal jika anak dia laki-laki. Mungkin itu akan tampak seperti Alaska kecil. Si paling dingin, tetapi sebenarnya sensitif juga introvert. Dia juga memikirkan bagaimana harus bersikap sebagai seorang ibu ketika memang benar memiliki anak seperti itu.
Kemudian yang kedua adalah ketika dia berkhayal anaknya nanti adalah seorang perempuan. Dia bisa berbicara seperti anak-anak normal lainnya. Anak gadis Kanaya nanti akan jadi orang yang cerewet, suka bernyanyi, tertawa dengan riang dan selalu percaya diri untuk tampil di mana pun. Tidak seperti ibunya yang dulu sering mengurung diri dan mudah menyerah hanya karena kekurangannya ini.
"Saya nggak mau imajinasi tentang bagaimana anak kita nanti itu rusak hanya karena saya sudah tahu tentang siapa dia."
Alaska mengangguk. Pria itu membungkuk lalu bicara dengan bayi dalam kandungan Kanaya. "Mamamu itu unik, kan. Makanya, papa jadi jatuh cinta."
Kanaya tidak melihat gerak bibir Alaska karena dia membungkuk. Namun, tiba-tiba gerakan bayi dalam perutnya begitu kuat, malah sampai menendang.
"Apa yang kamu bilang?" tanya Kanaya.
"Rahasia." Alaska menggandeng Kanaya agar mereka berjalan lebih cepat menuju mobil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alaska
RomanceSetelah Kanaya pergi, Alaska baru sadar kalau dia jatuh cinta pada istrinya yang tidak sempurna itu. Bahkan, sebenarnya setelah malam pertama mereka benih-benih cinta sudah tumbuh di hati Alaska