7

43 2 0
                                    

Kanaya merias dirinya secantik mungkin. Ini adalah hari ketiga pernikahannya dan perempuan itu belum sekalipun disentuh Alaska. Pada mulanya, Kanaya berpikir kalau mereka masih saling malu-malu. Jadi, perempuan itu memutuskan untuk sedikit lebih agresif di hadapan suaminya.

Dia menggunakan baju tidur yang lebih menerawang, menunjukkan hampir keseluruhan lekukan tubuhnya. Kemudian, perempuan itu, malu-malu, berdiri di depan Alaska, suaminya yang saat ini sedang sibuk membaca buku. Sebenarnya, dia bukan membaca buku sungguhan, itu hanyalah peralihan supaya dia tidak perlu berbicara dengan Kanaya.

Perempuan itu sekarang berdiri di depannya. Perhatian Alaska teralih dari buku yang dibaca pada Kanaya.

"Ada apa?"

Kanaya bisa memahami apa kata yang diucapkan Alaska dari gerak bibir laki-laki tersebut. "Saya menggunakan baju ini, hadiah dari saudara perempuanku. Menurutmu, bagaimana?"

Untuk kesekian kali, obrolan mereka masih harus dibantu dengan ponsel karena Alaska tidak bisa memahami bahasa isyarat.

Memperhatikan istrinya yang berpenampilan sangat menarik, bukan seperti ini, sebetulnya dia cukup cantik dan juga terlihat sangat indah. Namun, itu sama sekali tidak menarik perhatian Alaska. Hanya saja, agar istrinya tidak tersinggung, laki-laki itu berikan sedikit kata-kata manis. "Iya, itu kelihatan bagus, kamu pantas menggunakannya."

Kanaya menarik kedua sudut bibir, dia bertanya lagi pada Alaska, "Kalau begitu, maukah malam ini kamu menyentuh saya?"

Alaska tertegun dengan pertanyaan itu, benar juga, mereka ini sudah menikah dan setidaknya sudah 3 hari hidup bersama. Namun, tidak ada hasrat sedikit pun dari hati Alaska untuk menyentuhkan Kanaya. Hatinya masih bersedih karena dia harus meninggalkan Arini dengan cara seperti ini. Dia benar-benar terluka, hingga sisi laki-laki yang satu itu seolah-olah hilang pada dirinya. Dia sering melihat Kanaya yang menggunakan handuk, beberapa kali juga mereka sering bersentuhan saat tidur. Ketika Alaska berusaha untuk menepis pikirannya tentang Arini, mencoba untuk menerima perempuan itu sebagai istrinya, selalu tidak bisa. Dan ini semua sangat menyiksanya karena entah sampai kapan dia bisa menahan perasaan ini.

"Saya nggak mood. Saya sudah capek di kantor, kamu bisa kan ngerti dan nggak perlu menggoda kayak begini?"

Kanaya terdiam, respon suaminya bukan seperti yang diharapkan. Kenapa, setelah berusaha seperti ini, suaminya pun masih tidak ada ketertarikan padanya? Apakah ada yang salah dari Kanaya? Apakah dia sama sekali tidak menarik di mata laki-laki itu?

"Mau sampai berapa lama lagi kamu terus berkata seperti itu?" Perempuan itu cukup sedih. Bukankah ini juga termasuk haknya sebagai seorang istri dipenuhi? Kenapa suaminya itu selalu terkesan menolak keberadaannya?

"Apa sebenarnya tujuanmu menikahi saya kalau sikapmu selalu seperti ini?"

Alaska bangun, kemudian dia berdiri tepat di depan Kanaya. Kedua tangannya memegang bahu perempuan itu dengan tatapan yang begitu lekat. Genggaman Alaska itu begitu kuat, sehingga Kanaya merasa kuku-kuku laki-laki itu bisa menancap di tubuhnya. Alaska mendekatkan wajah ke kening Kanaya, kemudian dia mulai mendaratkan bibirnya di sana.

Seketika karena perlakuan itu, jantung Kanaya rasanya nyaris melompat keluar dari tubuhnya. Padahal, kecupan itu hanya berlangsung tidak lebih dari 3 detik.

Belum selesai sampai di situ. Alaska sekarang, menurunkan bibirnya ke arah hidung Kanaya, sebelum akhirnya dia mengarahkan ke arah bibir wanita tersebut dan mulai memagutnya perlahan. Mudah bagi Alaska untuk melakukannya. Dia adalah seorang laki-laki. Sementara bagi Kanaya, hal ini adalah hal yang paling berharga. Momen yang mungkin tidak akan terlupakan seumur hidup di mana baru wanita itu pertama kali melakukannya. 



AlaskaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang