21

72 4 0
                                    

"Bukan nggak mau bantu," ujar Malik, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Aku harus minta izin Kanaya dulu."

Malik, yang selama ini dikenal sebagai pria yang bertanggung jawab, lebih peduli pada hubungannya dengan Kanaya daripada memikirkan soal Alaska. Baginya, yang terpenting adalah menjaga kepercayaan dan perasaan Kanaya.

Namun, Alaska tidak berpikir demikian. Dia sedikit memaksa dalam situasi ini. "Bilang saja padaku di mana alamatnya, aku akan menyusul. Jangan coba-coba menghalangiku untuk bertemu dengan Kanaya!" desak Alaska, sangat .

Suasana menjadi semakin tegang. Malik masih santai, sedangkan Alaska tidak mau menyerah. Mereka berdua sedang berada di titik yang berbeda, dan kelihatannya tidak ada jalan tengah yang bisa mereka temui.

Meski suasana semakin memanas, Malik masih bisa bersikap tenang. Dia tidak bisa membiarkan emosi mengambil alih dirinya, terutama dalam situasi seperti ini.

Alaska bersikap sebaliknya. Pria itu terintimidasi dengan sikap Malik. Dia mungkin merasa terancam oleh kedekatan Malik dengan Kanaya, istrinya.

"Aku tahu kalau kamu itu menyimpan rasa pada Kanaya. Tapi, jangan begini caranya!" tuduh Alaska, marah dan frustrasi. "Ingat kalau dia itu istriku!"

Namun, bagi Malik, sikap Alaska ini sangat konyol. Dia merasa Alaska tidak bisa mengontrol emosinya dan agak terburu-buru dalam bertindak. Alaska adalah orang yang cenderung berpikir dengan emosi daripada logika, dan itu membuat Malik merasa sedikit kasihan.

"Sekalipun aku sayang dengan Kanaya jauh lebih tulus dari yang kamu kira, sama sekali nggak ada niat untuk mengacaukan rumah tangga kalian," kata Malik dengan tenang, berusaha menjelaskan posisinya. Dia berbicara dengan jujur agar Alaska mengerti.

Alaska meremas kepala, frustrasi dengan situasi yang sedang dihadapinya. Dia sadar bahwa dia seharusnya tidak berkata seperti itu kepada Malik, terlebih karena saat ini dia sangat membutuhkan bantuan Malik.

Alaska jadi kepikiran, bagaimana kalau Malik tersinggung dan malah semakin menyembunyikan Kanaya?

Itu adalah hal terakhir yang tidak inginkan.

Alaska mengambil sikap yang cukup berani. "Maafkan aku," katanya dengan suara yang agak bergetar. "Aku agak pusing dan hampir putus asa."

Melihat sikap Alaska yang menyesal, Malik memutuskan untuk mencoba memaklumi.

"Aku akan bantu kamu untuk bilang ke Kanaya supaya paling nggak dia mau dihubungi kamu," kata Malik, memberikan harapan kepada Alaska.

Alaska lega mendengar kata-kata Malik. Dia akan menunggu kabar baik dari sepupunya Kanaya tersebut, berharap bisa segera berbicara dengan Kanaya dan memperbaiki masalah yang ada di antara mereka.

☘️☘️☘️

Malam ini, Kanaya bingung. Dia duduk di ruang tamu, melihat ponselnya yang mati dan ponsel satunya lagi yang hanya Malik tahu nomor itu. Kanaya kembali melamun, pikirannya melayang ke berbagai tempat.

Mbok Dayu, mendekatinya yang sejak tadi terus termenung.

"Non!" panggil Mbok Dayu, menepuk bahu Kanaya dengan lembut.

Kanaya terjaga dari lamunannya. "Ada apa, Mbok?" tanya Kanaya, bingung.

"Mbok bikinin jamu, mau?" tawar Mbok Dayu, berusaha menghibur Kanaya.

"Memangnya saya nggak merepotkan kalau Mbok sampai harus buat jamu?" tanya Kanaya, merasa bersalah.

Mbok Dayu menggeleng. "Kan malah enak. Sekalian juga nih, Mbok jadi bisa ngobrol. Soalnya kan sudah lama tinggal sendiri di rumah ini, anak-anak sibuk dengan rumah tangganya," jelas Mbok Dayu. "Mumpung ada Non Kanaya."

Kanaya mengerutkan alisnya. "Saya kan bisu, Mbok. Memangnya, nggak apa-apa kalau Mbok ngeladenin saya ngobrol?" ujar Kanaya, sedikit malu.

Mendengar kata-kata Kanaya, Mbok Dayu tergelak. "Orang Mbok 20 tahun kenal dengan Non Kanaya dan juga Den Malik, sudah hafal cara kita ngobrol gimana," kata Mbok Dayu sambil tersenyum. "Malah enak kok kuping Mbok jadi nggak berisik. Tenang ngobrol kayak begini."

Kanaya tersenyum mendengar kata-kata Mbok Dayu. Baginya, Mbok Dayu adalah salah satu orang yang bisa memahami cara berkomunikasi dengannya. Kanaya selalu merasa senang setiap kali ada orang yang bisa paham cara berkomunikasi dengannya. Baginya, itu adalah bukti bahwa dia masih bisa berkomunikasi dengan orang lain, meski dia bisu.

Kanaya mengangguk.

"Mau aku bantu nggak, Mbok?" tanya Kanaya, menawarkan bantuan untuk membuat jamu.

Mbok Dayu menolak. "Non Kanaya tunggu aja di ruang tengah. Jangan melamun di depan kayak gini. Nanti kalau kesurupan Mbok repot lho, nolonginnya," kata Mbok Dayu, berusaha menggoda Kanaya. Meski serius, terselip senyuman hangat di wajah Mbok Dayu yang menunjukkan bahwa dia senang bisa menghabiskan waktu bersama Kanaya.

Kanaya mengekeh, kemudian dia mengacungkan dua jempol. Dia bahagia dan rileks. "Oke, Mbok," kata Kanaya dengan menggunakan bahasa isyaratnya, memberikan Mbok Dayu persetujuan untuk membuat jamu.

Mbok Dayu pamit ke belakang sebentar, membuat Kanaya sendirian di ruang tengah. Dia berjalan menuju dapur, menyiapkan jamu yang tadi dijanjikannya kepada Kanaya.

Beberapa saat kemudian, Mbok Dayu kembali ke ruang tengah, membawa dua gelas jamu hangat. Aroma rempah-rempah dari jamu menyebar di ruangan, menciptakan suasana yang hangat dan menyenangkan.

"Makasih, Mbok," ucap Kanaya dengan menggunakan bahasa isyaratnya. Dia tersenyum, menunjukkan rasa terima kasihnya kepada Mbok Dayu. Kanaya menikmati jamu tersebut, dan bahagia bisa berbagi waktu seperti ini dengan Mbok Dayu.

Mbok Dayu mengangguk, menunjukkan bahwa dia menerima ucapan terima kasih Kanaya. Dia senang melihat Kanaya bahagia dan rileks, dan itu membuatnya merasa puas dan senang. Baginya, bisa membantu Kanaya adalah hal yang membahagiakan.

Mereka berdua duduk di ruang tengah, menikmati jamu hangat yang baru saja dibuat oleh Mbok Dayu. Ruangan itu hening, hanya terdengar suara mereka berdua yang sesekali menyesap jamu. Aroma rempah-rempah dari jamu memenuhi ruangan, menciptakan suasana yang hangat dan menyenangkan.

Mbok Dayu sedikit gugup. Sejak kemarin, dia sungkan mau bertanya sesuatu pada Kanaya. Namun, untuk hari ini dia mengumpulkan cukup keberanian untuk bertanya langsung pada Kanaya.

"Non, benar nggak mau bilang sama Tuan dan Nyonya Besar kalau lagi ada di sini?" tanya Mbok Dayu, sedikit ragu.

Mendengar pertanyaan Mbok Dayu, Kanaya tertegun.

"Nanti saja, Mbok. Saya lagi nggak mau diganggu siapa-siapa dulu." Kanaya terlihat sedih.

"Mbok sudah dengar sedikit dari Den Malik." Mbok Dayu mencoba jujur. "Mbok senang, Non Kanaya ada di sini, Mbok jadi ada teman. Tapi, jangan lama-lama sembunyi kayak gini, Non."

"Saya marah dengan suami saya, Mbok. Tapi, saya nggak mau mama dan papa tahu." Kanaya berujar diiringi air matanya yang mulai mengalir.

Mbok Dayu mengusap tangan Kanaya. "Biasa, Non. Kalau pengantin baru masih banyak cobaan. Seumpama masih ada jalan untuk bicara, bicarakan saja dulu."

Kanaya mengangguk sembari terisak.

"Pegang omongan Mbok, Non." Mbok Dayu meyakinkan. "Kalau besok ada kabar suami Non mencari Non Kanaya, itu tandanya dia cinta sama Non. Ribut yang kemarin itu, pasti cuma salah paham."

Meski Mbok Dayu tidak tahu apa yang terjadi, dari omongannya yang begitu meyakinkan Kanaya jadi merenungi ini.

Apa iya Alaska akan mencarinya?

AlaskaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang