Tadinya, Alaska kira dia bisa menikmati momen indah sebagai pasangan pengantin baru, menghabiskan waktu berdua dengan istrinya. Meskipun belum sempat mendatangi tempat-tempat yang romantis, setidaknya mereka saat ini sudah berada di hotel mewah, tempat yang bisa dibilang cocok untuk memadu kasih.
Namun, sayang, pikiran Alaska selalu kacau. Jangankan menyentuh Kanaya, duduk berdua bicara dengannya saja sudah membuat laki-laki itu gusar. Terlebih, dia malah memikirkan Arini dan rasanya begitu tidak tahan untuk bertemu dengan perempuan itu.
Alaska tidak bisa menghabiskan waktu lebih lama lagi dengan Kanaya. Daripada dia semakin menunjukkan ketidaktertarikannya pada Kanaya, lebih baik mereka pergi.
Selesai sarapan, Alaska tidak bisa menebak apa yang dilakukan Kanaya. Perempuan itu memunggungi dia.
Alaska memanggilnya, "Kanaya."
Tidak ada jawaban.
Sekali lagi dia menyebut nama wanita yang telah menjadi istrinya tersebut, "Kanaya!"
Alaska memutar mata, kemudian dia mengerling ke sekitar dan ternyata alat bantu dengar milik Kanaya ada di nakas. Dia tidak menggunakannya.
Alaska mendekati perempuan itu, lalu menepuk bahunya.
Kanaya menoleh karena tepukan tersebut. Kemudian, dengan bahasa isyarat, Alaska memberi tanda. Dia menyuruh wanita itu agar memasang alat bantu dengar.
Segera, Kanaya memasangnya. "Ada apa?" Seperti biasa, cara berkomunikasi mereka tentu saja tidak sama seperti pasangan lainnya.
Alaska pelan-pelan mengatakan, "Ayo kita pulang, kemasi pakaianmu segera. Saya ada urusan, jadi nggak bisa lama-lama lagi di sini."
Kanaya mengernyitkan alis, dia bertanya-tanya dalam hatinya. Bukankah masih ada jatah 5 hari lagi untuk mereka bersama? Ya, mau tidak sempat keluar kota, tetapi setidaknya bisa manfaatkan waktu ini untuk nikmati waktu berdua.
Alaska berkata, "Sudahlah, kamu jangan banyak pikiran. Siap-siap segera, saya akan kemasi barang saya sendiri." Alaska mengatakannya. Kemudian, dia meninggalkan Kanaya, mengambil tas miliknya, memasukkan pakaian yang sengaja dia siapkan hanya sedikit. Kelihatannya, memang dia sudah merencanakan untuk tidak akan lama-lama berbulan madu dengan istrinya.
Kanaya sempat bingung. Namun, dia kembali memfokuskan pikirannya. Mau bagaimana lagi? Jika sang suami sudah berkata harus pulang, ya sudah. Sebagai istri, dia hanya bisa menuruti.
Kanaya juga membereskan pakaiannya, kemudian merapikan sprei, juga meninggalkan uang tip di bawah lampu kamar untuk petugas hotel yang bersih-bersih nanti.
Setelah semuanya siap, Alaska memesan taksi karena mereka semalam tidak bawa mobil, lalu mereka turun ke lobi. Hanya 5 menit menunggu, taksi sudah siap dan mereka segera pulang.
Tadinya, niat Alaska mau langsung pulang ke tempat tinggal mereka, sebuah rumah yang dibangun di pusat kota dengan lokasi agak jauh dari rumah orang tua Kanaya ataupun Alaska. Tujuannya apalagi coba, kalau bukan mereka mau tenang membina rumah tangga sendiri. Namun, sepertinya rute kali ini tidak bisa langsung ke sana, karena Kanaya membaca pesan dari Malik. Saudara sepupunya itu ada di sana, di rumah orang tua Kanaya, dan karena mereka sudah sangat akrab dari kecil, jadi Kanaya mau ke sana. Dia mau bertemu dengan Malik, sekalian juga melepas rindu dengan orang tuanya.
Alaska tidak banyak bicara, dia mengiyakan saja apa kata istri. Yang penting, dia tidak mengadu macam-macam. Kanaya dan Alaska tiba di rumah Salim. Vena, ibunya Kanaya, menyambut kedatangan putrinya dengan hangat. Keduanya begitu antusias membicarakan soal perjalanan bulan madu. Kanaya menceritakannya penuh rasa bahagia. Walaupun dia tidak menyebutkan bagian-bagian detail tentang perjalanan mereka. Namun, pelukan tadi pagi membuat senyumnya bisa merekah cukup lama sepanjang hari ini, sehingga keluarganya berpikir kalau perjalanan mereka itu sangat romantis.
Malik muncul ketika mereka sedang bicara di ruang tamu. Malik berdiri tepatnya di belakang Salim.
Kanaya melambaikan tangan, Malik membalasnya. Kemudian, perempuan itu minta izin pada Alaska supaya dia bisa mengobrol dengan sepupunya itu.
Alaska menjawab dengan sebuah lengkungan tipis di bibir.
Mereka bertiga, Alaska, Vena, dan juga Salim, masih berada di ruang tamu. Vena menyesap teh-nya, kemudian dia menatap Alaska dengan tatapan penuh kebahagiaan. "Kanaya kelihatan bahagia hari ini, kalian pasti sudah melewati masa bulan madu yang cukup baik, meski baru 1 hari."
Mendadak, lidah Alaska kelu ketika mereka membahas itu. Dia hanya mengangguk perlahan dan beralih dengan ikut meminum teh yang sudah disajikan. "Syukurlah, Kanaya bahagia. Mama harap kalian bisa begini terus selamanya. Kalau dia sudah menemukan pasangannya, teman hidup yang setia, kami berdua jadi nggak perlu khawatir lagi."
Ingin sekali Alaska mengatakan bahwa mereka telah memilih orang yang salah. Alaska tidak mencintai Kanaya dan pernikahan yang dipaksakan orang tua Alaska karena bisnis keluarga Kanaya yang maju pesat.
"Bagaimana kalau kalian segera punya anak?" Vena berseloroh. "Sepertinya itu bisa membuat keluarga kita semakin harmonis."
Vena jadi membayangkan bayi mungil yang lahir dari rahim Kanaya. Pasti akan sangat cantik, lihat saja Alaska begitu bersinar dan tampan. Perempuan itu yakin, cucunya juga akan mengambil garis wajah seperti wajah ayahnya.
Kembali, Alaska hanya tersenyum simpul. "Ya, semoga saja Kanaya bisa melahirkan cucu untuk kalian."

KAMU SEDANG MEMBACA
Alaska
RomanceSetelah Kanaya pergi, Alaska baru sadar kalau dia jatuh cinta pada istrinya yang tidak sempurna itu. Bahkan, sebenarnya setelah malam pertama mereka benih-benih cinta sudah tumbuh di hati Alaska