10

29 2 0
                                    

Kanaya merenungi pernikahannya dengan Alaska. Dia merasa seolah-olah sedang terjebak dalam kegelapan, seorang diri dan kesepian. Air mata mulai jatuh dari matanya, mengalir perlahan menuruni pipi. Kesedihan yang tidak bisa ditahan.

Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamar. Itu Ismi, pembantu rumah tangga mereka. "Nyonya, boleh saya masuk?" tanyanya dengan suara lembut. Namun, Ismi lupa bahwa Kanaya kadang-kadang tidak memakai alat bantu dengarnya, dan suaranya tidak terdengar jika dia tidak memasangnya.

Ismi mengambil ponsel dan mengirimkan pesan ke Kanaya.

"Nyonya, ada tamu," tulis Ismi di pesan itu.

Saat air mata masih mengalir di pipinya, Kanaya melihat ponselnya berkedip. Dia mengambilnya dan melihat ada pesan masuk.

"Siapa?" balas Kanaya.

"Saya kurang tahu, Nya. Tapi, dia bilang namanya Malik," balas Ismi.

"Malik?" Kanaya kaget.

Setelah membaca pesan itu, Kanaya bergegas keluar dari kamar.

Dengan langkah yang pasti, perempuan itu turun ke lantai bawah. Dia bisa merasakan jantungnya berdebar-debar di dadanya, seolah-olah dia sedang merasakan sesuatu yang sangat penting.

Dan benar saja, itu Malik, sepupunya. Dia berdiri di pintu depan.

"Kamu ke sini?" tanya Kanaya, menatap Malik dengan rasa takjub dan kebingungan. Dia tidak pernah berpikir bahwa dia akan melihat Malik di rumahnya.

Malik tersenyum, menunjukkan gigi-giginya yang putih dan rapi. "Aku ganggu kamu atau nggak?" tanyanya, matanya menatap Kanaya dengan kehangatan dan kebaikan.

Kanaya menggeleng. "Duduk." Perempuan itu menunjuk ke sofa yang ada di ruang tamu.

Malik duduk, menatap sekeliling rumah dengan tatapan penasaran. Dia memperhatikan hiasan-hiasan yang ada, memperhatikan cara Kanaya mengatur rumahnya. Kemudian melihat lukisan-lukisan yang dipajang di dinding, dan matanya tertuju pada satu lukisan yang tampaknya sangat familier.

Malik menunjuk lukisan itu, wajahnya tampak terkejut. "Kamu memajang itu?" tanyanya, matanya tidak bisa melepaskan pandangan dari lukisan itu.

Kanaya mengangguk, membenarkan pertanyaan Malik.

"Itu lukisan maestro, aku harus pasang." Kanaya, mengedipkan mata ke arah Malik. Dia tahu bahwa lukisan itu adalah hasil karya Malik, dan dia merasa bangga bisa memajangnya di rumah.

Malik menggaruk kepala, tampak tersipu. "Ah, itu kan hanya lukisan biasa," katanya, mencoba untuk merendahkan nilai lukisannya. Namun, dia tidak bisa menutupi senyum bangganya.

Tiba-tiba, Ismi muncul di ruang tamu, menanyakan minuman apa yang harus dia buat untuk tamu Kanaya.

"Nggak usah repot-repot," kata Malik, tampak sungkan.

Kanaya mencebik, merasa kesal. Kenapa Malik masih berpikir kalau ini bukan rumahnya? Bukankah dia sudah menjadi bagian dari keluarga ini?

"Buatkan teh dengan madu," perintah Kanaya kepada Ismi.

"Baik, Nya," jawab Ismi, lalu pergi ke dapur untuk membuat teh. Kanaya dan Malik ditinggalkan di ruang tamu, duduk dalam hening sambil menatap lukisan yang dipajang di dinding.

"Dia bisa bahasa isyarat?" Malik penasaran.

"Iya, dia bisa." Senyum Kanaya mengembang.

Di dapur, Ismi sibuk membuat teh. Dia memilih teh yang berkualitas baik, lalu mencampurnya dengan madu murni. Sesuai dengan keinginan Kanaya.

Lima menit kemudian, Ismi kembali ke ruang tamu dengan dua cangkir teh.

"Ini tehnya, Tuan," kata Ismi, memberikan teh kepada Malik.

"Makasih," kata Malik, menerima cangkir teh dengan senyum yang hangat.

"Sama-sama, Tuan," balas Ismi, lalu dia pergi meninggalkan mereka berdua.

Setelah Ismi pergi, Kanaya melanjutkan percakapan mereka. "Kamu ada apa ke sini?" tanya Kanaya, penasaran ingin tahu alasan kedatangan Malik.

"Aku cuma mau menengok kamu, sekalian bawa bakso ikan buatan ibuku," jawab Malik, tersenyum.

Mendengar kata 'bakso ikan', wajah Kanaya langsung semringah.

"Bakso ikan Tante Nadia itu yang paling enak!" seru Kanaya, tampak sangat antusias. Dia selalu suka bakso ikan buatan ibumya Malik, dan dia merasa sangat senang bisa makan bakso itu lagi.

Mendengar reaksi Kanaya, Malik tertawa renyah. "Aku tahu kamu pasti akan suka," kata Malik. "Coba ibuku buka bisnis, sudah pasti dia akan jadi penjual nomor satu."

Kanaya mengacungkan jempol, mengungkapkan kegembiraannya mendengar tentang bakso ikan. Selanjutnya, mereka terlibat dalam percakapan basa-basi, berbicara tentang hal-hal kecil dan sehari-hari. Mereka tertawa dan berbagi cerita, menikmati kebersamaan mereka.

Namun, suasana berubah ketika Malik bertanya tentang sesuatu yang membuat Kanaya terkejut.

"Suamimu sakit?"

"Sakit?" Kanaya bingung. Dia melihat hari ini suaminya sehat. Apa maksud Malik?

AlaskaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang