Orang-orang sangat bisa memberitahu seribu kali, bahwa di dunia ini masih banyak yang lebih menderita, luka sekecil itu tentu tidak sebanding dengan orang-orang di luaran sana. Namun, apakah mereka pernah berada di posisi yang tengah Seanna alami?
Mungkin benar, masalah Seanna tidak sebesar seperti bertahan hidup di tengah peperangan, atau kota yang sedang dilanda kelaparan, tapi jangan lupakan satu hal, Seanna tetaplah Seanna, gadis berumur tujuh belas tahun yang rapuh, dan selalu dipaksa bungkam, untuk tak mengeluarkan apa yang sedang ia rasakan.
"Ayah ... jangan marahin Bunda terus." Seanna kecil berumur empat tahun, mendongak menatap pria berstatus orang tua kandungnya.
PLAK! Hening, sunyi sebelum sedetik setelahnya, tangisan anak kecil terdengar nyaring menggema di seluruh ruang tamu.
"Anak kecil nggak usah ikut campur urusan orang tua. Erna! Ini contoh kamu gagal mendidik anak kamu! Masih kecil aja udah nggak punya etika!"
Di atas bantal, Seanna masih menangis sesenggukan, tangannya memukul-mukul dada yang terasa sesak, apakah ia telah gagal menjadi anak baik untuk orang tuanya, kenapa ia selalu dicap buruk? Seanna benci menjadi selalu salah.
Bahkan ketika beberapa tahun silam, Seanna mencoba menceritakan mengenai pelecehan yang telah ia alami pun, Bunda nampak tak mengindahkan. Saat Seanna mogok makan, dan menjadi pendiam, ia hampir saja dibawa ke ustaz untuk di rukiah.
Bersamaan dengan air mata yang terus mengalir, Seanna bertanya-tanya, tidak bisakah ia didengar sekali saja? Katanya orang tua adalah rumah terbaik untuk anaknya, tetapi nyatanya suara lelaki dari telepon yang sudah tersambung, jauh lebih menenangkan.
"Aku nggak pantas untuk apa pun, ya, Mas?" tanya Seanna masih sesenggukan.
"Siapa yang bilang kamu nggak pantas? Kamu temanku yang paling baik. Apa? to the point aja, mau bakso atau martabak?"
Meski rasa kesedihan masih setia menyelimuti, Pratama berhasil membuat kedua ujung bibir Seanna tertarik tipis. Pratama masih sama, selalu sama, kata-kata yang dia keluarkan sederhana, tapi bisa membuat hati Seanna merasa lega. Oh, iya, laki-laki bernama Pratama itu memang jauh sekali dari kata pelit, sejak dahulu Pratama loyal ke teman-temannya, mulai dari membayari angkot, jajan, sampai ikan cupang untuk hadiah ulang tahun. Karena Seanna bukan pencinta ikan, dan tidak bisa merawatnya, alhasil ikan cupang berwarna biru harga lima ribu di depan sekolah, mati setelah tujuh hari berada di toples bekas sosis.
Seanna menghela napas panjang. "Pengen hidup tenang, Mas," jawabnya.
Lima detik tidak ada jawaban dari seberang telepon. Hening, sedikit kontras dengan kondisi rumah, masih ada keributan dari adu mulut orang tuanya, atau sekadar Agnesia yang bersenandung.
"Na ...."
"Dunia memang tempatnya bising. Kita nggak bisa mengatur dunia buat diam, dan mengerti kita. Maka dari itu, kitalah yang bisa mengendalikan diri untuk tetap tenang, di tengah dunia yang berisik. One thing you have to remember, you have me, Na."
Deretan kalimat yang Pratama terlontar, bak pelukan hangat yang mampu mendekap Seanna, meski ia hanya berupa kata-kata. Pratama selalu bisa memulihkan suasana hati Seanna, selalu bisa menjadi tempat Seanna bergantung, kala dunianya sedang tak berotasi baik.
Mungkin ini salah satu alasan, kenapa hubungan persahabatan mereka bertahan lama, karena Pratama yang tidak pernah mengabaikan, tapi juga tidak mau ambil pusing setiap keluhan Seanna, karena laki-laki itu tahu, yang dibutuhkan Seanna hanya penyemangat, dan sebuah jawaban yang bisa menjawab segala kekhawatirannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Thread Of Destiny
RomanceIni bukan kisah cinta Romeo dan Juliet yang romantis, atau Jack dan Rose yang menyayat hati. Ini tentang Izkiel dan Seanna, dua insan yang dipertemukan ketidaksengajaan, hubungan mereka awalnya semanis cokelat, cinta remaja pada umumnya. Namun, kian...