BAB 25 | Pilihan Terakhir

20 18 0
                                    

Sesuatu memang harus dibiasakan untuk terbiasa, dan awalnya pasti akan selalu menyakitkan, seperti ada sesuatu yang memaksa diri untuk kembali, tetapi logika berkata bahwa kenyataannya memang harus menjauh.

Setelah sebuah pesan panjang yang dikirim Izkiel dua Minggu yang lalu, Seanna memutuskan untuk benar-benar menjauh dari laki-laki itu, mungkin ia memang sudah kelewatan, tingkahnya sudah membuat Izkiel risi. Ruang obrolan mereka yang biasanya selalu saja ada pesan receh, kembali senyap dengan pesan terakhir sebuah emoji jempol berwarna kuning, sebagai jawaban terakhir Seanna.

Izkiel
Lo harusnya sadar diri kalau gua nggak mau sama lo, jangan maksain diri lo buat jadi seperti apa yang gua inginkan, karena gua tetap nggak bakalan mau. Lo pernah nanya ke gua, 'kan, gua risi atau nggak. Iya, gua risi, banget malahan. Seharusnya kita nggak usah ketemu waktu itu, seharusnya gua nggak nerima lo lagi di hidup gua. Hidup gua udah tenang tanpa kehadiranlo, dan sifatlo yang buruk, tapi lo malah datang lagi, ngeganggu, ngespam nggak jelas. Lo harus ingat, gua bakalan lebih bahagia tanpa lo. Jadi, mau lo nangis darah sekalipun nyariin gua juga, gua nggak peduli. Karena yang gua harapkan bukan lo. Semoga lo ngerti, lo gunain otaklo buat mikir, jangan cuma mikirin diri sendiri, dan egois.

Rasanya begitu menyakitkan, membaca pesan yang langsung diketik oleh seseorang yang selama ini diharapkan, mereka bisa kembali seperti dulu. Segala bayangan tentang betapa manisnya jika mereka seperti sediakala, pupus begitu saja. Dari saat itu, Seanna belajar itu melepaskan yang memang tidak bisa ia miliki lagi. Seanna memilih melangkah ke arah depan, meski rasanya ingin sekali menengok ke belakang, tetapi lagi-lagi jika mengingat betapa derasnya air mata, ia membaca pesan itu, Seanna merasa sedikit lega bisa melangkah pergi, dari seseorang yang gemar menggores hatinya.

Aktivitas menonton drama Korea-nya harus terjeda, saat ponsel yang ia letakan di samping tempat tidur berdering. Tangan Seanna terjulur malas mengambil ponsel, matanya membulat saat melihat sebuah nama yang tampil di layar ponsel.

"Ibunya Izkiel ...?" Seanna tertegun.

Hari sudah malam, bahkan sudah nyaris jam dua belas malam, Seanna tidak bisa menerka alasan apa yang menyebabkan wanita bernama Asri, sampai meneleponnya. Setelah menghela napas, dan memejamkan mata sejenak, jari lentik Seanna berhasil menekan tombol terima panggilan.

"Halo, Bu," ucap Seanna.

"Nak Anna, maaf mengganggu waktunya malam-malam begini. Ibu nggak tahu harus hubungin siapa lagi." Asri bersuara dengan nada pelan.

"Iya, Bu, ada apa?" Dalam benaknya, Seanna sudah menduga-duga berbagai kemungkinan.

"Izkiel nggak bisa ditelepon, kayaknya hp dia mati. Ibu cuma khawatir, udah tengah malam belum pulang, kalau bisa direpotkan, Nak Anna bisa tolong hubungin Izkiel?"

Tidak langsung menjawab, Seanna terdiam. Selalu ada saja hal yang membuat ia dan Izkiel harus bertemu, padahal jika dibiarkan sedikit lebih lama lagi, Seanna yakin hatinya akan baik-baik saja.

Namun, untuk menolak wanita bernama Asri, juga Seanna tidak enak. Memang, hubungannya dengan Izkiel sudah kandas, tetapi ini tidak ada sangkut pautnya dengan perasaan, Seanna hanya perlu berbicara pada Izkiel, kalau Ibunya meminta ia pulang ke rumah. Seharusnya tidak akan masalah.

"Oh ... iya bisa, kok, Bu. Anna coba bicara sama dia, ya, nanti kalau udah ketemu. Ibu tenang aja di rumah," jawab Seanna menyanggupi.

Thread Of DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang