BAB 29 | Bunda

12 12 0
                                    

Tidak ada yang abadi di dunia ini, semuanya datang, lalu pergi. Kalimat itu benar, meski beberapa orang menolak meyakini. Bahkan orang yang paling dicintai dan berharap bisa selamanya, kapan pun ia bisa meninggalkanmu.

Beberapa saat lalu azan subuh usai dikumandangkan, tak berselang lama pintu rumah sederhana itu diketuk, tanda Ibu sudah balik dari musala.

Ayam bahkan belum berkokok, fajar pun masih enggan menyingsing, tapi air wajah Ibu sudah tidak baik-baik saja di dini hari, kesedihan sangat pekat terpatri di wajah wanita, yang beberapa bagiannya sudah timbul kerutan.

Asri membangunkan anak laki-lakinya yang terlelap di kamar. Tak lama sampai Izkiel membuka mata, mendapati sang Ibu yang tampak sendu.

"Ada apa, Bu?" tanya Izkiel, kantuk masih menguasai dirinya.

"Ada kabar buruk, Kiel. Ibu baru dengar tadi, habis pulang dari salat subuh ...." Asri menggantung ucapannya, membuat Izkiel jadi penasaran, kabar buruk apa yang ibunya terima.

Laki-laki yang kini berpindah posisi menjadi duduk, diam menunggu ibunya melanjutkan kalimat yang tergantung. Sementara Asri nampak menimang-nimang, apa yang akan ia sampaikan.

"Bu Erna, bundanya Seanna ... meninggal dunia di rumah sakit, tadi jam empat subuh."

Kalimat yang keluar dari mulut Asri, seperti sebuah hantaman yang membuat Izkiel kaget. Laki-laki itu tidak tahu harus berekspresi seperti apa, ia juga turut berduka. Mau bagaimanapun, dulu ia pernah memiliki hubungan dengan anak perempuannya, dan dia diterima baik oleh Bunda. Bahkan sampai setelah dia, dan Seanna tak memiliki hubungan apa-apa, atau lebih tepatnya asing, Erna masih bersikap baik kepada Izkiel. Jelas dirinya merasa sedih atas kabar yang dibawa Ibu.

"Innalilahi." Hanya itu yang bisa Izkiel ucapkan. Di pagi-pagi hari sekali, matanya jadi segar karena sebuah kabar, tak berselera kembali lelap.

"Nanti datang ke rumahnya, pagi dikuburkan," tutur Ibu sebelum berlalu dari kamar Izkiel, masih lengkap dengan air wajah yang tak seceria biasanya.

Saat matahari sudah menampakkan diri, Izkiel dan Ibu yang bersiap melayat, gegas menuju rumah yang sedang berduka. Terlihat dari bendera putih di depan rumah, ramainya orang-orang yang juga melayat, suasana berkabung sangat kental terasa.

Ibu melangkah ke dapur, menemui ibu-ibu yang lainnya, sementara Izkiel masuk ke ruang keluarga. Terlihat Ayah berusaha tegar, dan Agnesia yang sangat terpukul. Laki-laki dengan kemeja berwarna hitam dan celana senada, menghampiri anggota keluarga yang tengah ditinggalkan.

Wanita dengan gamis putih, serta kain yang menutupi setengah rambutnya, terduduk lemas di sofa. Agnesia menengadahkan kepala, menatap seorang laki-laki yang familiar baginya.

Wajah tanpa riasan, mata sembap, dan pipi masih basah oleh air mata, Agnesia tampak sangat bersedih atas meninggalnya sang bunda. Wanita itu berdiri, lantas memeluk erat Izkiel yang terdiam di tempat.

"Bunda udah nggak ada, Kiel. Bunda udah pergi selama-lamanya." Isak tangis kembali terdengar, air mata meluruh membasahi kedua pipi.

"Doakan yang terbaik buat Bunda, Kak. Doakan semoga Bunda diterima di SisiNya, dan dosa-dosanya diampuni. Yang tabah, ya ...."

Izkiel ragu, ia tak enak membalas pelukan Agnesia, apalagi di sana ada Sadewa. Jadi, ia membiarkan wanita itu terisak seraya memeluknya.

Thread Of DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang