-Epilog-

3.4K 340 55
                                    

Di hamparan halaman belakang yang luas, gazebo taman menghadap langsung pada kolam berenang.

Seorang anak balita berlarian mengelilingi luasnya halaman sembari memegang kincir angin ditangannya.

Tawa riang menyapa telinga, menghangatkan hati siapa saja yang mendengar. Mungkin semua orang akan berpikir untuk melindungi anak itu agar tawanya tidak pernah hilang.

Namun, itu bukan kemungkinan jika yang mendengar adalah pria paruh baya yang duduk menyaksikan anak itu. Sebelum si anak menangis ia akan lebih dulu merangkulnya dalam pelukan hangat.

Pandangannya mengabur, anak itu jatuh tersungkur di bawah kakinya. Kincir anginnya sudah patah tak berbentuk, anak itu mengambil napas dalam sebelum meraung kesakitan karena lututnya terluka.

Wiratama– pria yang duduk di gazebo, merunduk kesulitan meraih tubuh si kecil –Sagara. Kakinya lumpuh, menyisakan hati yang kembali hidup setelah insiden 5 tahun lalu.

Sagara menangis memeluk tubuh Wiratama yang setia mengelus punggung belakangnya, menenangkan cucu satu-satunya.

Raungan menyakitkan itu menular sampai ulu hati Wiratama, ia tidak tega. Matanya melihat lutut si anak, meniup lembut mengusir rasa sakit agar anak itu berhenti menangis.

"Udah kakek tiup, gak sakit lagi, kan?" Tanya Wiratama.

Sagara mengusap matanya yang masih penuh oleh air mata, hidungnya pun tak berhenti mengeluarkan liquid kental. "Gak, tapi mau di tiup lagi..."

Tangisan kembali keluar saat ucapannya selesai, Wiratama mau tak mau meniupnya lagi.

"Cucu kesayangan kakek masa nangis lagi."

Matanya mengerjap mendengar penuturan sang Kakek, perasaannya menghangat entah karena apa sebabnya.

"Kakek sayang sama Saga?" Tanya sagara ditengah isakannya memastikan.

"Sayang dong, sayang banget."

Mendengar itu Sagara malah cemberut, rasa sayang kakeknya adalah kebohongan, pikirnya. Sagara berpikir cara kakek menyayanginya itu salah.

"Kakek bohong. Kok Saga gak di panggil sayang kayak Papa sama Papi." Sagara menyilangkan lengannya, membuang muka enggan menatap wajah Wiratama.

Wiratama sendiri terkekeh mendengar celotehan cucunya, "Jadi kalo sayang harus ada nama panggilannya, ya?" tanyanya mencoba mengikuti pemikiran anak balita tersebut.

Sagara mengangguk membenarkan pernyataan sang Kakek, "Iya, kata Papi biar so sweet."

"Sawi aja gimana? Sagara-Wiratama, udah so sweet belum?"

"So sweet, hehe Kakek Sawi"

Kakek dan cucu itu akhirnya bermain bersama, tidak ada lagi jarak diantara mereka. Perasaan sayang keduanya tersampaikan hingga ke hati masing-masing, meninggalkan kenangan indah di setiap momentnya.

.

..
...
..
.

Sagara terbangun di tengah malam setelah mendapat mimpi itu.

Setelah kembali ke tahun 2023, setiap hari Sagara selalu bermimpi tentang hal yang ia lewatkan.

Alvin berkata itu hal yang wajar, sebab Sagara sudah melewatkan masa tumbuh kembangnya pada takdir baru ini. Sehingga ingatan-ingatan asing itu selalu muncul di alam bawah sadarnya.

Namun, kali ini berbeda, ia memimpikan seseorang yang tidak ingin Sagara tahu keadaannya. Sejak insiden itu, Sagara memilih untuk membenci pria tua yang hampir merenggut nyawanya.

Napasnya masih tersenggal, keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Perasaan tidak nyaman menumpuk, membuat Sagara tidak bisa kembali tertidur.

Pikirannya melayang mengingat kasih sayang yang di berikan Wiratama. Tubuh bongsornya bergetar membayangkan hal itu.

Ia turun dari tempat tidur, pergi menuju kamar orang tuanya. Untung saja pintu tidak dikunci jadi Sagara bisa leluasa masuk.

Sagara menyelinap di antara Hakham dan Gallen. Merasa terusik karena pergerakan seseorang, lantas keduanya terbangun mendapati anak semata wayangnya sudah berbaring memeluk tubuh Gallen.

"Kenapa pindah, Saga?" ucap Gallen dengan mata terpejam, namun jemarinya sibuk mengusap kepala anaknya sementara Hakham mengusap punggungnya, memberikan kenyamanan.

"Saga mimpi..." cicitnya pelan.

Gallen membuka matanya perlahan, memandang raut Sagara yang sulit diartikan. "Mimpi apa, Saga?" tanyanya lembut, penuh perhatian.

Sagara menggeser tubuhnya lebih dekat, mencari kenyamanan dalam dekapan Papanya. "Mimpi Kakek sayang sama Saga." cicitnya pelan.

Gallen tersenyum tipis mendengar kata-kata Sagara. "Kakek sayang banget sama Saga. Papi aja gak pernah dimimpikan Kakek setelah dia meninggal," ucapnya lembut.

Kenyataan yang begitu menohok, Sagara terdiam dalam dekapan Gallen. "Jadi, Kakek beneran sayang sama Saga?"

Lagi, Gallen mengangguk. "Kakek gak benci sama Saga, Pa?"

"Ngomong apa sih, Kakek paling sayang sama kamu."

Itu sahutan dari Hakham, meski matanya terpejam ia senantiasa menyimak percakapan Sagara dan Gallen.

Kini ia mendekap keduanya, tidak membiarkan Papa dan anak itu berbicara lagi. Langit malam masih panjang, Hakham tidak mau Sagara kurang tidur.

Rasanya begitu menyenangkan mengetahui takdir hidup yang Sagara perjuangkan berubah menjadi lebih baik. Lega sekali saat mendengar pernyataan bahwa Wiratama menyayanginya.

Kasih sayangnya selama belasan tahun terbalaskan, meski terlambat Sagara tetap bersyukur setidaknya ia pernah mendengar langsung dari Wiratama.

.
.
.
______

Haii... setelah aku pikir-pikir sepertinya harus ada extra chapter.

Karena jujur aku kepikiran, si Yaya dikit banget cuy partnya. Padahal pas bikin outline si Yaya perannya banyak banget, tapi pas di eksekusi dan revisi dia malah jadi jarang nongol.

Maaf ya Yaya...

Nanti lah aku pikirin extra chapter bakal gimana.

Thank yang udah baca

Love youu❤

______

Young Papa | Hajeongwoo ft Junghwan✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang