Kerumunan malam di arena balapan liar semakin memanas dengan suara mesin yang menderu dan teriakan para penonton yang bersorak. Lampu-lampu jalanan berkelip-kelip, menciptakan efek neon yang menyala-nyala di malam yang gelap. Di tengah-tengah kerumunan, Kesya berdiri dengan tenang, matanya terpaku pada Ezra yang baru saja menyelesaikan balapan.
Ezra, yang dengan mudah meraih kemenangan, dikelilingi oleh kelompok teman-temannya yang terdiri sebagian besar dari cewek-cewek yang berusaha mendapatkan perhatiannya. Namun, jelas terlihat bahwa perhatian Ezra hanya tertuju pada Olivia, yang berdiri di sampingnya dengan senyum bangga.
"Lo gak mau ngasih selamat ke dia?" pancing Alexa, berusaha mengalihkan perhatian Kesya.
Suaranya penuh dengan nada penasaran dan sedikit candaan, tetapi juga mencoba menyentuh sisi yang lebih pribadi dari Kesya.
Kesya, dengan tatapan tajam dan senyum tipis, hanya menjawab dengan tatapan kosong. Di sekeliling Ezra, para cewek-cewek yang berusaha mendekat tampak sangat bersemangat, tapi Ezra tetap fokus pada Olivia, menjadikannya pusat perhatian di tengah kerumunan.
Tiba-tiba, Zio muncul dari balik kerumunan, wajahnya menunjukkan campuran antara panik dan marah. Dia memegangi lengan Kesya dengan cengkeraman yang kuat, seolah mencoba menariknya dari situasi yang membingungkan ini.
"Sya, lo ngapain disini?" tanya Zio, nada suaranya campur aduk antara kekhawatiran dan frustrasi.
Kesya menoleh, heran dengan kehadiran Zio. "Zio, lo ngapain disini?" tanya Kesya dengan nada tenang.
Zio, dengan wajah yang semakin tegang, mencoba menahan emosinya. "Harusnya lo jawab pertanyaan gue, bukannya malah lo tanya balik ke gue!" suaranya naik, penuh dengan kemarahan yang terpendam.
Dia merasa bingung dengan dirinya sendiri—mengapa dia begitu khawatir tentang Kesya, padahal dia tahu betul bahwa Kesya adalah sosok yang kuat dan keras kepala.
Clarissa, yang melihat ketegangan antara Kesya dan Zio, berusaha meredakan situasi dengan canggung. Dia sedikit menyenggol lengan Alexa, berharap bisa mengalihkan perhatian.
"Zi, tenang, kita cuma nonton doang kok," ucap Clarissa dengan nada kikuk, seolah ingin meyakinkan Zio bahwa mereka hanya berada di sini untuk bersenang-senang.
Alexa, menambahkan dengan nada panik, "Iya, kita cuma nonton doang. Lagian Kesya juga belum pernah nonton balapan liar secara langsung. You know, just for fun."
Zio, yang masih terlihat tidak sabar dan cemas, mengabaikan penjelasan mereka, "gue anterin pulang," katanya dengan nada tegas, suaranya bergetar penuh tekad.
Cengkraman tangannya terasa semakin kuat, menandakan betapa seriusnya dia tentang masalah ini. Kesya, meskipun merasa tidak nyaman dengan tindakan Zio, mencoba melepaskan genggaman tangannya.
"Gue bisa balik sama mereka," ucap Kesya, suaranya dingin dan tegas, berusaha untuk tetap tenang meskipun cengkraman Zio terasa menekan.
Zio, yang tak ingin mendengar argumen lebih lanjut, memperkuat cengkramannya. "Lo harusnya nurut sama gue, ini bukan tempat lo!"
Clarissa, berdiri tegak di samping Zio, tidak menunjukkan rasa takut. Dia merangkul Kesya dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya menunjuk ke arah Zio dengan nada berani.
"Kesya kesini bareng kita, pulang pun harus bareng kita," ucapnya, suaranya menenangkan namun penuh keyakinan.
Tidak ada rasa gentar di matanya, dan dia tidak berniat mundur dari keputusan tersebut.
Zio, yang marah dan frustrasi, berbalik menatap Clarissa dengan tajam. "Kalian itu temenya apa bukan sih? Kenapa malah ngajak dia ke tempat beginian? Harusnya dia tetep diem di dalam rumah kacanya," tanyanya, nada suaranya tinggi dan penuh kemarahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heroin Dan Dunia Fantasi Yang Memikat
Mystery / ThrillerHeroin, bukan sekadar obat terlarang. Itu adalah pelarian dari rutinitas yang monoton, dari perasaan kosong yang menyesakkan, dan dari tekanan sosial yang menghimpit. Di dunia mereka, heroin adalah jalan pintas menuju kebahagiaan semu-sebuah ilusi...