Kesya melangkah dengan hati-hati menuju area parkiran yang semakin kosong, mobil-mobil di sekelilingnya tampak seperti deretan tentara yang telah lama ditinggalkan. Langit sore mulai memudar menjadi oranye kemerahan, menciptakan kontras dengan suasana tenang di sekitar. Clarissa dan Alexa, yang biasanya menemaninya, sudah lebih dulu pulang, meninggalkannya sendirian dalam keramaian yang berangsur sepi.
Di kejauhan, Kesya melihat Lucas berdiri dengan tangan terentang, melambaikan tangan dengan penuh semangat. Di sampingnya, Olivia berdiri dengan sikap agak kak. Kesya merasakan adanya jarak tak terlihat di antara mereka—meski tidak ada konflik yang nyata, ada sesuatu yang terasa asing dan dingin.
Kesya mendekat, langkahnya ringan namun penuh perhatian. Lucas mengangkat alisnya ketika melihat Kesya semakin dekat.
"Sya, mau pulang bareng gue gak?" tanyanya dengan nada ramah, tangan masih dalam saku celananya, wajahnya cerah.
"Gak, makasih," jawab Kesya dengan nada yang agak dingin namun tidak sepenuhnya menolak. "Gue mau ke tempat bimbel dulu."
Dia melanjutkan, sambil mengangkat sedikit bahunya, mencoba menunjukkan bahwa ini adalah kebiasaan sehari-harinya dan tidak ada yang istimewa dari itu. Kadang-kadang, Kesya merasa ribet berusaha untuk tidak terlihat cuek meskipun dia sebenarnya tidak suka berbasa-basi.
Olivia mengerutkan dahinya, menatap Kesya dengan rasa penasaran. "Bimbel? Lo ikut bimbel?" tanya Olivia, suaranya mengandung campuran rasa ingin tahu dan keheranan.
Kesya mengangguk dengan santai, "Iya, gue ikut bimbel," jawabnya.
"Lo gak capek? Sebenernya apa sih yang lo kejar?" tanya Lucas, suaranya mengandung keprihatinan yang mendalam.
Dia dapat melihat betapa seriusnya Kesya dalam menjalani rutinitasnya. Kesya terlihat terlalu berambisi, seolah-olah dia memaksakan dirinya untuk memenuhi standar yang sangat tinggi.
Kesya menghela napas pelan, seolah-olah merenungkan jawabannya dengan serius meskipun dia mencoba menyampaikannya dengan nada santai. "Ekspektasi orang tua," jawabnya sambil tersenyum, tetapi senyumnya terlihat sedikit dipaksakan.
"Olivia,"
Olivia yang berdiri canggung mendengar seseorang memanggil namanya. Ia menoleh dan melihat Ezhar yang tiba-tiba berdiri di sampingnya.
Dion dan Arwan, yang datang bersama Ezhar, berdiri sedikit di belakangnya, berbisik-bisik satu sama lain sambil mengamati situasi dengan penasaran.
Dengan tatapan yang seolah menganggap dunia ini hanya milik mereka berdua, Ezhar bertanya, "Kok belum pulang?"
Suaranya terdengar seperti perintah, membuat Olivia merasa tidak nyaman. Tatapan Ezhar membuatnya merasa seperti sedang berada di bawah sorotan lampu panggung, di mana semua perhatian tertuju hanya pada dirinya.
Dion dan Arwan, yang berdiri sedikit di belakang Ezhar, berbisik satu sama lain. "Si bos kan suka sama Oliv, tapi Oliv suka sama Lucas dan Lucas sukanya sama Kesya, lah si Kesya sukanya sama bos," bisik Dion dengan nada yang penuh rasa ingin tahu.
Suaranya terdengar seperti sedang menganalisis sebuah teka-teki yang kompleks, dan dia tampaknya menikmati kebingungan yang tercipta dari hubungan rumit ini.
Arwan, di sisi lain, tampak frustrasi. "Ini alasannya gue nggak mau jatuh cinta, terlalu rumit," keluhnya dengan nada putus asa, sambil menatap sekeliling dengan tatapan kosong.
Wajahnya menunjukkan keputusasaan, seolah-olah dia mencoba menjauh dari drama yang tampaknya terlalu rumit untuknya, "I don't want to get involved in such mess," ("Gue nggak mau ikut-ikutan ribet.)
KAMU SEDANG MEMBACA
Heroin Dan Dunia Fantasi Yang Memikat
Mystery / ThrillerHeroin, bukan sekadar obat terlarang. Itu adalah pelarian dari rutinitas yang monoton, dari perasaan kosong yang menyesakkan, dan dari tekanan sosial yang menghimpit. Di dunia mereka, heroin adalah jalan pintas menuju kebahagiaan semu-sebuah ilusi...