Part 6

41 24 0
                                    

Di pinggir lapangan basket, Kesya dan Zio duduk di bawah naungan pohon rindang yang memberikan keteduhan dari sinar matahari yang terik. Suasana sekeliling mereka relatif tenang, jauh dari keramaian kantin dan kerumunan siswa yang sedang menikmati jam istirahat mereka. Hanya suara angin yang lembut membisik di antara dedaunan dan sesekali teriakan dari lapangan basket yang terdengar.

Zio terlihat frustrasi, wajahnya memerah karena kemarahan yang sulit ditahan. "Tadi pagi Lucas sakaw dan lo malah bawa dia ke UKS. Di mana otak lo!" ucap Zio dengan nada yang bergetar menahan emosi.

Kesya, dengan ketenangan yang kontras dengan kemarahan Zio, menyeringai tipis sebelum menyeruput minumannya dari botol yang ada di tangannya. "Yang paling deket itu cuma UKS, lagian gak ada perawat yang jaga. Gue tau jadwal anak PMR ditugasin di UKS," jawab Kesya dengan nada santai.

"Kalau gue bawa ke gudang, halaman belakang sekolah, ataupun toilet, itu gak mungkin. Lucas gak akan kuat, dan orang-orang juga bakalan menggila kalau liat Lucas dikira sakit biasa padahal dia lagi sakaw," lanjut Kesya, menjelaskan dengan tenang sambil memiringkan kepalanya.

Zio berdiri dengan tangan terlipat di dada, wajahnya menunjukkan tanda-tanda frustrasi yang mendalam. Dia menggerakkan kakinya ke arah samping, seolah berusaha menenangkan dirinya, tetapi jelas bahwa kemarahannya belum mereda. Kesya, di sisi lain, tetap duduk dengan santai di atas kursi kayu yang terletak di bawah pohon, matanya tajam menatap Zio sambil menjaga ketenangan.

"Tapi tetep aja itu bahaya, kalau ada yang liat lo lagi ngasih Lucas barang itu gimana?" tanya Zio dengan nada frustrasi, suaranya meluap-luap. Dia memandang Kesya dengan mata yang penuh dengan kemarahan dan kekhawatiran.

Kesya menarik napas panjang, mengatur pernafasannya dengan cermat seolah merenungkan setiap kata yang akan diucapkannya. Angin sepoi-sepoi yang menyentuh wajahnya menambah kesan tenang dalam suasana tegang itu

"Gue udah baca situasi, Zio. Itu tempat yang lebih aman daripada tempat lain yang bisa gue pikirkan. Kalau gue bawa Lucas ke tempat yang lebih tersembunyi, bukannya itu malah bisa menimbulkan kecurigaan?" jawab Kesya dengan nada tenang dan penuh keyakinan, matanya tetap menatap Zio tanpa berkedip.

"Sya, gue nggak tau susunan otak lo gimana. Itu resikonya gede banget loh," ujar Zio dengan nada marah, tangannya mengacak-acak rambutnya yang sudah mulai berantakan. Wajahnya memerah, dan matanya menunjukkan campuran antara kemarahan dan ketidakpastian.

"Gue paham lo mau ngebantu Lucas, tapi kalau lo salah langkah, itu bisa berakibat fatal."

Kesya hanya mengangkat bahu, ekspresinya tetap tenang meskipun Zio jelas menunjukkan ketegangan. "Inilah masalah lo, lo gampang banget panikan. Perbaiki itu karena itu yang bikin lo selalu ragu melakukan sesuatu."

Suaranya penuh dengan keyakinan, seolah dia sudah menimbang semua kemungkinan dan memutuskan apa yang terbaik.

Kesya menatap Zio dengan tatapan serius, seperti sedang menganalisis setiap kata yang diucapkan.

"Kalau Lucas berada di luar lebih lama, semuanya bakal kacau. Lo ngerti kan, dia lagi sakaw. Rasa sakit yang dia rasakan bisa bikin dia kehilangan kendali. Dan lo tahu apa yang terjadi kalau dia lepas kendali?" Kesya mengajukan pertanyaan retoris, menekankan betapa kritisnya situasi tersebut.

"Segala sesuatu akan terungkap—pengedar, bandar kecil, bahkan pengguna lain. Kita bisa kehilangan kontrol atas semua ini. Pemeriksaan urin akan menyapu bersih, dan banyak pelajar yang udah terjun bebas ke dalam dunia narkoba. Kalau Lucas ketahuan, itu bakal jadi bencana besar untuk kita semua."

Dia mengalihkan pandangannya ke arah lapangan basket, seolah mencari penegasan lebih lanjut di luar situasi saat ini.

"Maksud gue, kita nggak bisa cuma mikirin risiko langsung aja. Kita harus mikirin dampak jangka panjang. Lo tahu gimana kompleksnya dunia ini. Kalau Lucas nggak dibantu dengan cara yang tepat, kita semua bisa kena imbasnya. UKS adalah tempat yang terdekat dan paling mungkin aman, meskipun risikonya tinggi." Kesya menambahkan dengan tegas, mencoba memberikan penjelasan logis di balik keputusan yang diambilnya.

Zio mendengarkan dengan seksama, meskipun ekspresinya masih menunjukkan ketegangan. "Tapi, masih ada kemungkinan bahwa tindakan lo bisa membuat semuanya jadi lebih buruk. Apa lo nggak mikirin kemungkinan itu?" tanya Zio, suaranya penuh dengan keprihatinan.

"Tentu aja gue mikirin kemungkinan itu," jawab Kesya. "Tapi kadang-kadang, kita harus membuat keputusan cepat dalam situasi darurat. Gue udah pertimbangkan semua faktor—keamanan Lucas, dampak potensial, dan tempat yang paling memungkinkan untuk menjaga privasi sambil meminimalkan risiko. Gue tahu ini bukan pilihan ideal, tapi dalam situasi seperti ini, kita harus mengambil langkah yang paling memungkinkan untuk mengendalikan keadaan."

Di bawah naungan pohon rindang, Kesya dan Zio duduk dalam keheningan yang menegangkan setelah perdebatan mereka. Suasana di sekitar mereka tenang, hanya terdengar gemericik daun dan suara jauh dari lapangan basket yang mulai sepi seiring berjalannya waktu istirahat.

***

Di kelas pelajaran matematika, suasana terasa tegang dan penuh kebingungan. Meja-meja disusun rapi, dan cahaya matahari yang masuk melalui jendela kelas membentuk pola-pola di lantai. Di depan, guru matematika berdiri dengan penuh perhatian di depan papan tulis, menulis dengan cepat deretan simbol dan rumus yang sulit dimengerti.

Di belakangnya, siswa-siswa duduk dengan wajah-wajah yang tampak lesu dan kebingungan, menatap papan tulis seolah-olah berharap semua rumus itu bisa menghilang begitu saja.

Clarissa, yang duduk di samping Kesya, mencoba mengamati penjelasan guru sambil sesekali melirik catatannya. Dengan raut wajah yang penuh kebingungan, dia mencondongkan tubuhnya sedikit ke arah Kesya dan berbisik, "Sya, do you understand?" (Sya, lo paham?)

Kesya, yang tampaknya lebih tenang dibandingkan yang lain, memandang papan tulis sejenak sebelum berbalik ke Clarissa. Dengan nada santai namun penuh perhatian, dia menjawab, "Kind of," (Lomayan), Kesya mengangguk sambil menggulirkan pulpen di tangannya.

Clarissa, masih dengan ekspresi frustrasi, menggigit ujung pensilnya dan berkata, "I feel the same. I only understand row, column, and rectangular matrices. But when it comes to transpose matrices, I give up. It's no longer about x and y. It's just... hard to explain,"

"Sama sih, gue cuma paham matriks baris, kolom, dan persegi panjang. Tapi kalau udah ketemu soal transpose matriks, gue nyerah. Ini bukan lagi masalah x dan y. Tapi entahlah, susah aja gitu jelasinnya."

Kesya mengangkat bahunya dan mengarahkan pandangannya kembali ke papan tulis. Dia menghela napas, "I get what you mean. Matrices can be tricky, especially when you start dealing with transposes. It's like the more you learn, the more complex it gets." (Gue ngerti maksud lo. Matriks bisa rumit, apalagi saat mulai berurusan dengan transpose. Rasanya semakin banyak yang lo pelajari, semakin kompleks aja.)

Clarissa mengangguk dengan lesu, matanya tidak lepas dari papan tulis yang penuh dengan rumus yang tampaknya semakin membuat bingung. "Yeah, it feels like we're going in circles. It's like, I get one part and then the next part just doesn't make sense." (Ya, rasanya kita muter-muter aja. Kayak, gue paham satu bagian, terus bagian selanjutnya nggak masuk akal.)

Di meja depan, seorang siswa menunduk dengan frustasi, sementara yang lainnya saling berbisik dengan penuh kebingungan.

Guru masih terus menulis dengan tekun, sesekali menjelaskan dengan sabar, tetapi sepertinya penjelasannya tenggelam dalam kebisingan kekacauan di antara para siswa.

Clarissa menoleh kembali ke Kesya, "Do you have any tips for understanding matrix transposes?" (Lo ada tips buat ngertiin transpose matriks, nggak?)

Kesya berpikir sejenak, "Well, one thing that might help is to remember that a transpose just flips the matrix over its diagonal. So, if you have a row matrix, it becomes a column matrix and vice versa. Maybe draw it out and see how the elements switch places."

(Yah, satu hal yang mungkin membantu adalah ingat bahwa transpose cuma membalik matriks di sepanjang diagonalnya. Jadi, kalau lo punya matriks baris, itu jadi matriks kolom dan sebaliknya. Mungkin gambar aja dan lihat bagaimana elemen-elemen itu berpindah tempat.)

Clarissa mengangguk pelan, tampaknya sedikit lebih terbantu dengan penjelasan tersebut. "Thanks, Sya. Gue bakal coba deh."

Kesya tersenyum tipis, "No problem. We can work through it together after class if you want." (Nggak masalah. Kita bisa kerjain bareng setelah kelas kalau lo mau.)

Heroin Dan Dunia Fantasi Yang MemikatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang