Kata Kaizo, ada tiga hal yang tidak boleh diperbuat di dunia ini. Pertama, jangan pake kaos bertuliskan 'Cintai PUBGmu tanpa menghina Freefireku'. Kedua, jangan nunggu buka puasa sambil ngemil keripik, dan ketiga, jangan mengumpat di depan Beliung. Aku tak tahu kenapa.
Omong-omong, aku, Jokertu, Jugglenaut, dan Kapten Separo tidak sependapat mengenai siapa target pertama buruan kami. Jadinya, daripada ribut, padahal aku tak begitu mempermasalahkan siapa-siapanya, Kaizo meminta ... cip cap cup. Singkat cerita, Beliung terpilih.
"Duh! Kenapa Beliung, sih?" Jokertu mengomel. "Planet ini gersang."
Jugglenaut yang sedang tidak memakai power spheranya, mendongak ke atas dan membalas, "Apa kubilang! Lebih baik kita pergi ke Gur'latan untuk mengurus si Halilintar duluan."
Aku hanya mendengarkan. Karena aku sibuk memandang ke sekeliling, mencermati lekuk-lekuk bioma Windara, dan mengamati peristiwa di litosfernya. Ayahku alien. Tapi ibuku tidak. Ibuku orang bumi. Aku didewasakan di bumi. Aku jarang pergi kelayapan kemana-mana, karena ayahku melarang. Orang bumi seperti aku sangat awam pada eksoplanet, apalagi di daerah cincin luar omniverse. Fenomena badai pasir di Windara dan gunungan-gunungan pasir di samping kanan dan kiriku begitu menarik untuk dikagumi.
Perjalanan kami berhenti di sebuah lembah. Lembah itu diapit oleh gundukan pasir dan batu pasir yang membentuk dinding ngarai di sebuah dimensi tanah liat berwarna terang. Aku menyentuh permukaan ngarainya. Itu batuan sedimen, kandungan mineralnya banyak, dan gampang longsor, apalagi kalau dipegang. Aku menyentuhnya sedikit, tapi beberapa pondasinya langsung luruh ke telapak tanganku, sampai tumpah ke tanah berpasir. Akibatnya, timbul serangan debu, dan aku batuk-batuk.
Ngarainya mengarahkan kami ke dua jalan bercabang.
"Ini ... oh. Belok ke kiri." Kapten Separo, Google Maps kami, mengarahkan. Dia yang memegang petanya sedari tadi.
Kalau dihitung, kami sudah berjalan selama lebih dari sejam, tanpa aku menemukan satu pun peradaban atau tanda-tanda kehidupan.
Semakin dalam terjebak di gumuk pasir, kawasan di sekitarku kian mirip dengan Arizona. Dinding-dinding pasirnya mulai mengeras, solid, dan meninggi. Jalannya menyempit hingga tidak bisa dilalui sekaligus oleh dua orang.
Dindingnya bercorak warna seperti planet Jupiter. Benar-benar nuansa planet luar Bima Sakti. Aku kagum, dan tidak percaya aku bisa melihat benda selain empat dinding sel yang ada di lingkup pengelihatanku—sebuah kubus pengap penuh kehampaan.
Langitnya juga bagus. Satelit planet Windara mengorbit begitu dekat, besarnya hampir dua kali lipat matahari dari pengelihatan orang awam di permukaan bumi. Satelit itu sama seperti benda angkasa pada umumnya, memiliki gravitasi, tidak, dia memang mengadaptasi sistem gravitasi, tapi konsepnya lebih kompleks. Windara dan satelitnya merupakan raksasa gravitasi. Sama seperti Jupiter yang 'menendang' keluar komet-komet di Tata Surya agar tak bisa mendekati bumi, satelit Windara juga melindungi Windara sedemikian rupa.
Satelit Windara mirip Aurigae. Permukaannya penuh akan gas, berjarak amat dekat dari Windara, dan menguarkan asap dingin. Hidrogen. Kupikir dia mirip Uranus. Isinya hidrogen dan metana, tapi dilindungi lapisan peredam, agar hidrogen dan metananya tidak sekonyong-konyong meledak di udara. Dan aku yakin satelit Windara mengandung banyak hal lain, karena satelitnya juga ikut berperan aktif dalam mengatur pergantian musim Windara, dan mempengaruhi arus anginnya.
"Sampai kapan kita akan berjalan!" Jokertu mengeluh lagi. Sejak awal sampai sekarang, dia maunya pergi ke Rimbara. Jokertu punya dendam pribadi terhadap tahap satunya Rimba, dan dia sungguh ingin membalaskannya bahkan sampai kini. Dendamnya belum memudar.
Sama seperti makhluk badut tidak tahu diuntung di belakang punggungnya, Jugglenaut. Dia kerjanya marah-marah. Dia hampir secerewet Jokertu.
"Brengsek. Seharusnya aku pergi ke Gur'latan sendirian saja untuk mematahkan kaki si Halilintar?" Kata Jugglenaut.