Rimbara terlihat normal.
Tidak ada lapisan es dan gletser. Tidak ada sungai magma yang meletup-letup, atau gunung vulkanik aktif.
Planet ini seratus persennya terdiri dari pohon. Bisa dibilang, planetnya diisi penuh oleh hutan hujan tropis setengah tundra basah.
Dan, satelit Rimbara yang bentuknya sebelas dua belas dengan matahari beredar di lingkaran elips.
Pesawat pinjamanku melesat tak begitu jauh dari satelitnya. Besar satelitnya tidak melebihi Jupiter, tapi tak juga sekecil Merkurius.
Ya. Aku meriview aspek-aspek kehidupan di Rimbara, karena biasanya, orang yang menganalisis keadaan bioma dan astrofisika dari planet tujuanku ialah Kapten Separo.
Sekarang, aku tidak datang dengan Kapten Separo. Aku sendirian, aku tidak punya pengalaman berkelana ke cincin luar Omniverse, perutku keroncongan karena lapar, dan aku gugup. Aku hampir muntah. Aku tidak enak badan.
Aku mengelus kepalaku ketika pesawat ini kukurangi daya dorong dari jet turbonya. Semestinya begitu. Kalau kata Ayah, sebaiknya seorang pengemudi kapal luar angkasa mengecilkan propelernya ketika mencapai zona eksosfer planet untuk menghindari kebakaran moncong pesawat. Meski pesawat punyanya alien jauh lebih sempurna daripada pesawat buatan manusia, tapi kadang, mereka sering mengganti sparepart dari sisi orbital module dan descent modulenya di bengkel setiap sebulan sekali. Tapi tidak jika pilotnya mahir, seperti Ayah.
Jujur saja, aku setengah bodoh. Aku tak benar-benar tahu Ayah seorang penjahat buruan TAPOPS. Aku dengan polosnya, selalu mengidolakan Ayah—aku diajarinya cara menukik di angkasa raya di dalam roket fuel dan oksidator tanpa harus mengobankan tangki avtur pesawat luar angkasaku terbakar api oksidasi, aku diguruinya bagaimana agar tidak merusak kompartemen orbidal module dan descent module pesawat supaya kami tidak rutin menservis pesawat kami ke bengkel, dan ada banyak ilmu-ilmu terapan lain.
Tapi, sekali pun aku mengetahuinya; mengetahui bahwa Ayah nyatanya penjahat buruan TAPOPS, aku tidak mengubah niatku untuk membenci pembunuh Ayah. Bersalah atau tidak, penjahat atau superhero, Ayah tetap tidak pantas dibunuh. Seberapapun hebat kejahatannya, dia seharusnya diadili melalui proses peradilan. Dari apa yang aku tahu, Ayah dibunuh di medan laga. Dia tak dipenjarakan, diseret ke pengadilannya TAPOPS, dan dijatuhi hukuman. Dia meninggal tak sesuai pada protokolnya. Itu memicu kemarahanku.
Menyentuh kokpit, mengendalikan kemiringan lateral pesawat, mendaratkannya tanpa bantuan orang, mengingatkan aku pada Ayah.
Bingkai kaca di depan Kokpit menampilkan keadaan luar planet Rimbara. Jika dilihat dari sini, permukaan planetnya berwarna hijau kekuning-kuningan. Itu gas. Meteor, potongan es beku, komet, asteroid, atau reruntuhan bintang mati lain yang tertangkap oleh gaya tarik Rimbara dan berputar-putar mengitarinya. Cincin luar Rimbara bidang edarnya tak sejelas Saturnus. Sungguh. Bentuk alirannya abstrak. Tak begitu indah dipandang mata, namun setidaknya cincinnya menjadi aksesori tambahan bagi visual Sang Eksoplanet.
Karena aku merendahkan kecepatan pesawatku, aku dapat melihat keadaan di eksosfer Rimbara dengan lebih puas. Aku mengaggumi segalanya, karena aku sendiri pun jarang berkelana kemana-mana sebelum Ayah tiada. Dan lagi pula, aku tak punya cita-cita untuk menyusuri planet hutan belantara seperti Rimbara. Planetnya tak berperadaban modern. Alien-aliennya primitif, berbentuk bukan seperti manusia, dan tidak ada wisata mencuci mata lain selain hutan tumbuhan epifit!
Alarm di kokpitku berbunyi. Aku menengok ke arah persediaan tangki bahan bakar. Avturnya hampir habis. Kukira aku sudah memastikan pesawat luar angkasa ini berada dalam keadaan prima. Bukankah tadi, tangki bahan bakarnya terisi penuh?
![](https://img.wattpad.com/cover/373384255-288-k365854.jpg)