Tanpa diberitahu, aku sudah tahu apa yang menghalangi pandanganku. Itu jelas telapak tangan, karena teksturnya terasa seperti telapak tangan.
Aku jarang bisa mengendalikan keterkejutanku. Tanganku hendak menangkap pangkal dari pemilik tangan itu, tapi si pelaku keburu melepaskannya ketika tubuhku memutar.
Dari arah lorong, aku mendengar desingan pawana dari segala arah. Anginnya bukan berasal dari barrier puting beliung di lingkaran luar istana Windara. Anginnya konstan, dan tidak karu-karuan. Angin menerbangkan sebentang viscose di langit-langit ruang tahta, hingga salah satu kail penopangnya lepas. Mulanya, viscose itu digantung di sebelah lampu kristal, menjuntai ke bawah dan melilit pilar pada podium tahta, namun sebab kail penopangnya lepas, fabriknya berkibar ke arah luar balkon.
"HA HA HA HA HA!" Dia tertawa, suaranya tercampur oleh suara amukan badai angin. Suaranya dierupsi oleh anginnya sendiri. Suaranya renyah. Dia seperti pria yang dilahirkan untuk tertawa. Dia atlet tertawa? Aku terkejut. Kenapa dia tertawa? Akulah penjahatnya, tertawa ialah bagian dari dialog di naskah sekenarioku.
Rasanya, sosok di belakangku hilang secepat kedatangan serangan angin ribut di sekitar ruang tahta. Aku menelisik, mataku mencari ke segala sisi dengan panik luar biasa, tapi aku tak berhasil menangkap presensinya.
Angin berhembus dari puluhan titik berbeda, meresik ke seantero ruangan. Karena anginnya kencang, kaca pada pintu ruang tahta berkerisik, dan ujung-ujungnya pecah. Kapten Separo, Jokertu, Jugglenaut dan aku mundur teratur. Kami saling memunggungi, agar tak satu pun dari kami meninggalkan titik buta.
"Itu Beliung." Kapten Separo memberitakan. Iya. Aku tahu. Aku tidak punya tersangka lainnya kecuali Beliung. Aku yakin rahang mereka terjatuh ketika mereka menyaksikan dua tangan datang dari kegelapan, dan menutupi wajahku, lalu sedetik setelahnya, si pelaku hilang, kemudian angin serupa badai tropis mendadak menyerang istana Windara.
Mataku tidak berhenti mencari. Aku dan penjahat-penjahat itu berotasi, tidak menyerah untuk menemukan keberadaan Beliung.
Aku tidak tahu dia petarung yang cepat. Aku tidak membaca banyak soal Beliung di tablet pemberiannya Kaizo. Aku pikir aku hanya perlu mewaspdai kecepatan Halilintar saja, bukan Beliung. Aku belum bertemu dengannya, sekali pun tidak.
Kaizo bilang aku direkrut karena regu TAPOPS lainnya tidak mampu mengurusi masalah ini. Aku mulai percaya pada Kaizo. Aku tahu kenapa dia bilang, misiku harganya setara kematian.
Meskipun aku belum bertarung, aku telah merasakan marabahaya mengintaiku dari kejauhan.
Terjangan angin datang dari luar, merayap di antara kaki-kaki kami, menyulut waspadaku semakin gencarnya. Aku merasakan kakiku menggigil. Aliran anginnya menerpa seperti gerakan ular melata. Gerakannya berkelok-kelok, tidak berpola. Tiupan anginnya diiringi oleh kaca kolase pada ventilasi yang mulai berderak-derak, lalu pecah berkeping sebelum akhirnya pecahan-pecahannya berhamburan di permadani.
Tidak ada yang bicara. Kami berkonsentrasi menyelidiki darimana segalanya berasal. Dimana Beliung bersembunyi, dan bagaimana dia akan menerkam.
Ada sebuah keheningan sesudah insiden pecahnya kaca kolase di dinding. Aku curiga.
Jokertu berhenti bersiaga, tubuhnya menegak. Sedangkan Kapten Separo tidak. Matanya setia menginvestigasi sampai dia memperoleh kepuasan.
Dan menurutku ini lebih menegangkan. Keheningan bermakna gerilya. Aku takut aku lengah. Aku takut aku tidak sengaja menciptakan celahku sendiri. Angin bisa membunuh tanpa terlihat, bukan? Leherku dapat diincar dengan mudah, tanpa aku mengetahuinya. Sabetan angin bisa memotong kepalaku.
"Apa ini? Dia kabur karena takut denganku?" Jokertu menurunkan tangannya yang tadinya bersiap-siap mengayunkan kartu-kartu judi. Dia melonggarkan kewaspadaannya.
![](https://img.wattpad.com/cover/373384255-288-k365854.jpg)