"Rona, mau sampai kapan kamu bergantung dengan ayahmu?" Ibuku dengan jengkel menuang sekantung darah ke mug bergambar sapi favoritku di atas meja makan.
Aku menunduk malu, buru-buru menarik segelas darah yang baru di sajikan untuk meneguknya pelan, "Iya ibu."
"Sekantung darah kadaluwarsa itu harganya juga masih mahal. Ayahmu kerja jadi dokter bukan untuk repot-repot menyuplai kamu dengan kantung-kantung darah."
"Kamu bukan bayi lagi, kamu harus berusaha cari darah manusia untukmu sendiri!" Tambah ibu, dengan kesal beliau membanting pintu kulkas, sampai kulkas nya bergetar saking kuatnya ibu menutupnya.
Aku meringis, disamping ku, Elgar, langsung terang-terangan menatapku sinis begitu ibu melangkah keluar dari dapur sambil ngomel
"Apa susahnya hisap langsung darah manusia?" Tanyanya ketus. Elgar memang mirip bapak-bapak paruh baya kebanyakan beban hidup padahal umurnya masih anak usia dini, "Apa sampai sekarang kakak masih belum bisa menghapus memori orang lain? Kakak nggak lupa latihan kan setiap hari?"
"Ha?" Aku tersentak sedikit sebelum buru-buru menjawab, "A..aku latihan setiap hari kok."
Sedetik adikku menyipitkan mata padaku, tapi hanya diam saja sampai ia membuang muka untuk menghabiskan roti sarapan miliknya.
Aku juga langsung membuang muka. Pelan-pelan meminum kembali segelas darah dari ibuku. Darah ini warnanya gelap, rasanya sedikit apek, kalau di bayangkan seperti makan tahu yang sudah seminggu di kulkas. Makanya, adikku selalu kelihatan jijik setiap kali aku meminum sekantung darah dari ibu. Karena katanya kalau aku sudah pernah mencicipi darah manusia segar maka sekantung darahku rasanya akan kayak kompos. Tapi bukannya aku tidak mau senormal ibu,ayah, Dante dan Elgar, lebih tepatnya aku yang tidak bisa.
Tidak seperti adikku yang sedari kecil langsung bisa menguasai kemampuan dasar vampir. Adikku bisa menghapus memori jangka pendek orang yang dia pandang matanya. Begitu juga dengan seluruh keluargaku,-seluruh vampir. Berdasarkan cerita mereka, mereka cuma perluh berlatih beberapa kali dan langsung bisa.
Disisi lain, sampai umurku enam belas, aku masih belum bisa. Padahal menghapus memori adalah kemampuan paling dasar seorang vampir. Sedasar bernafas dan berjalan. Seharusnya semua vampir normal, bisa.
Oleh karena kemampuan dasar saja aku tidak bisa maka otomatis aku juga tidak bisa menghisap darah manusia tanpa menimbulkan bahaya. Karena siapa juga yang tidak histeris kalau darahnya tiba-tiba dihisap dan aku tidak bisa menghilangkan ingatan mereka selama dalam prosesnya?!
Sebenarnya vampir bisa menghilangkan ingatan seseorang secara acak. Jadi aku bisa saja minta bantuan keluargaku untuk menghilangkan ingatan orang yang baru kugigit, tapi ayah ibuku apalagi kakak adikku benci sekali di repotin ide itu.
Masalahnya, untukku menghilangkan memori itu susah sekali. Aku sudah berlatih siang malam, diam-diam mencoba kemampuanku ke semua orang yang kukenal, tapi semua berakhir gagal. Beda jauh dengan adikku, yang di usianya dua tahun sudah bisa menghapus ingatan pengasuhnya tanpa latihan. Sampai para pengasuh adikku yang dulu setiap tiga bulan ganti itu tidak ada satupun yang curiga; alasan kenapa mereka mendadak terserang penyakit anemia dan darah rendah semenjak bekerja di rumahku.
Tidak jauh beda dari Elgar, kak Dante bukan cuma langsung menguasai tapi juga bisa seperti ayahku, mengendalikan orang lain tanpa sadar dalam jangka waktu pendek. Kalau di banding saudaraku, aku malah lebih mendekati manusia. Tapi manusia biasa masih bisa hidup cuma dari makan dan minum, sementara aku lebih butuh darah di banding nasi, aku bisa mati lemas kalau aku tidak minum kantong darah donor minimal tiga hari sekali.
Sampai-sampai aku memaklumi ibuku yang jadi gampang senewen dan ayahku yang menggerutu terus di depanku. Makanya daridulu setiap aku pura-pura menghilang, ngumpet di bawah tempat tidur, aku tidak pernah di cari. Aku juga pernah pura-pura tenggelam selama lima menit di depan mereka, di danau dan keluargaku bodo amat.
Padahal walau aku vampir, angka harapan hidupku sama seperti manusia. Aku juga bisa mati. Aku masih bisa mati dengan cara-cara normal. Tapi yang paling menyakitkan itu kalau mati kehausan. Kering karena tidak minum darah.
Sekarang, belum sembuh mentalku karena di judesin adik dan ibuku, kakak Dante ikutan muncul di ruang makan. Ia adalah saudaraku yang paling sering di bilang mirip denganku, berambut lurus sedikit ikal dan berwajah kanak-kanak.
Kak Dante langsung duduk sejauh-jauhnya dari kursi makan tempatku duduk dengan wajah sebel. Darah donorku memang selain rasanya tidak enak. Baunya juga tidak enak,-bagi mereka. Kalau bagiku ya biasa saja, aku kan tidak boleh banyak pilih-pilih.
"Sampai kapan kamu mau minum darah sampah kayak begitu? Ayah ibu harusnya lebih tegas untuk belajar menyapih kamu."
Adikku yang tidak mau kalah ikut menambahkan sambil menyentak tanganku jijik, "Iya! Kakak Rona kayak anak bayi yang masih minum pakai dot."
Gerakan adikku tanpa sengaja membuatku menjatuhkan segelas darahku. Cecerannya meleleh merembes ke baju seragamku. Dari putih abu abu bersih hingga berubah jadi merah darah seperti aku habis ditembak rentetan peluru kaliber 9. Efek nya sukses membuat dua saudaraku mau muntah dan membuatku menjerit sekuat tenaga dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perona
FantasyIf i tell you that I love you Can I keep you forever ? This story dedicated for people who likes sweet, simple, innocent love story enjoy