"Ini dimana?" Aku menoleh kanan kiri, ketika Emir membelokkan mobilnya ke jalan yang asing untukku setelah kami sepuluh menit berkendara.
"Jalan menuju rumahku."
"Kenapa aku harus ke rumahmu? Katanya Emir nggak akan minta balas jasa apa-apa? Emir mau ngelakuin apa?" Aku berjengit, buru-buru memundurkan punggung ke jendela mobil sementara tanganku sudah siap membuka handlenya.
"Menurutmu melakukan apa?" Emir melirikku sesaat.
Wajahku seketika merah padam, "Yang porno?"
"Nggak. Ibuku ada di rumah."
"Ini jebakan kan?!"
"Apa aku telepon ibuku untuk yang buka gerbang nanti?"
"Tapi buat apa aku ke rumahmu?"
"Karena aku nggak tau harus kubawa kemana kamu untuk kuajak bicara di tempat yang aman."
"Rumahmu terus aman?"
"Apa rumahmu lebih aman?"
Aku menggeleng, rumahku sarang vampir, membawa Emir kesana sama saja kayak bawain Elgar oleh-oleh martabak.
"Gimana kalau ibumu dengar?"
"Ibuku jarang naik ke lantai dua. Rencana tempat kita bicara nanti."
"Tapi emang apa lagi yang Emir mau tau?"
"Banyak. Aku harus tau banyak tentang vampir yang ku donori darah secara cuma cuma kan?"
"Nggak akan lagi dan nggak akan cuma-cuma." Bantahku panik, "Aku masih bisa kalau harus bayar darah Emir sekedar pakai uang sangu ku. Aku bisa gantiin ngerjain PR Emir, beliin Emir makanan, minuman, apa aja yang masih bisa kubeli tapi jangan yang aneh...."
"Tapi aku nggak butuh itu."
"Aku juga nggak bisa di beri cuma-cuma."
"Ya, bisa di pikirkan nanti." Jawab Emir dan ia tau-tau membelokkan mobilnya ke sebuah rumah dengan pagar tinggi dari kayu.
"Setuju." Aku segera menyahut menambahkan, tapi mataku melirik canggung ke pintu gerbang rumah yang tampaknya rumah Emir, "Tapi bener janji asal jangan yang aneh-aneh."
"Iya, sebentar aku buka gerbang rumah dulu."
"Nggak. Aku nggak mau." Tolakku tegas, jariku sudah membuka handle pintu mobil, "Aku nggak pernah main ke rumah laki-laki, sama sekali. Aku mau pulang. Tapi aku bisa pulang sendiri."
Mendadak Emir menjulurkan tangannya, dengan cepat menutup kembali pintu mobil di sampingku dengan suara detum keras, "Tolong tunggu sebentar. Aku nggak tau cara untuk bilang ini bagaimana. Tapi, wajahmu masih pucat Rona. Kamu belum benar-benar kelihatan sehat. Kamu harus minum darah lagi kan?"
Seketika, aku bisa merasakan denyut nadiku meningkat. Tangan Emir masih menjulur di depanku dan wajahnya hanya berjarak beberapa Senti dari wajahku. Wajah yang daridulu kupercaya tidak akan melakukan hal tidak baik di sekolah. Siswa teladan, pintar, baik, sopan. Kesayangan guru. Seorang Emir.
"Hati-hati ya? Jangan sampai kamu sakit lagi." Ujar Emir, dan hal itulah detik-detik terakhir yang kuingat sebelum Emir mendadak mengambil jaket dari jok belakang, menyelubungi wajahku dan wajahnya, mengumpan dirinya sendiri dalam permainan berbahaya.
Aku mengerjapkan mata, merasakan kembali insting liarku menari. Menguasai diriku seperti binatang menjijikan. Tanpa bisa kucegah aku menggapai leher Emir. Membenamkan gigiku disana. Menikmati aliran darah Emir yang rasanya luar biasa dan bagian yang paling ku benci,-aku kehilangan kendali. Tanganku mulai bergerak lebih kasar, kali ini menarik kemeja Emir mendekat, menggigit lengkuk leher Emir lebih dalam. Memeluk lehernya seakan Emir adalah milikku.
Sampai aku benar-benar terlena hingga aku merasakan tangan Emir menarik pipiku pelan, "Rona."
Seperti orang mabuk, aku mendongak, terpesona pada aroma darah Emir dan ledakan kembang api dalam tubuhku. Aku belum pernah merasa seperti ini, setengah tak sadar menyembulkan kepalaku dari jaket Emir yang seharusnya menutupi wajahku. Aku mendongak perlahan meneliti lengkuk leher Emir, jakun, dagu, hidung, hingga mataku sampai pada matanya.
Anehnya bibir Emir tersenyum namun tatapan matanya kosong, aku membuka mulutku untuk berbicara tapi detik selanjutnya, tubuh Emir rubuh menimpaku dan tak bergerak lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perona
FantasyIf i tell you that I love you Can I keep you forever ? This story dedicated for people who likes sweet, simple, innocent love story enjoy