Part 12

163 42 8
                                    

"Manusia itu lemah. Mudah mati." Kata kakakku Dante, sambil mengusap bibirnya yang meneteskan darah.

Bukannya kita juga bisa mati? Pikirku. Baru dua detik yang lalu aku melihat kakakku menggigit teman perempuannya yang datang ke rumahku, sendiri, hanya bersama kakakku. Tanpa menyadari bahayanya duduk di sofa ruang keluarga rumahku, bersama para vampir.

Sekarang kakak perempuan itu setengah tak sadar, sempoyongan duduk di atas sofa. Tapi kak Dante dengan tidak sabar, kembali mengangkat wajah temannya, menatapnya tanpa ampun, mengucapkan beberapa kalimat panjang. Mengacaukan ingatan.

Setelah bicara, kakakku bangkit dari sofa. Pergi keluar dari ruangan sambil menggerutu karena kemeja seragam putih SMUnya terkena noda darah. Meninggalkanku, bersama temannya yang setengah pingsan, gemetaran memeluk boneka.

"Kakak?" Setelah cukup lama akhirnya aku memberanikan diri bangkit berdiri, bicara, mengusap punggung teman perempuan kakakku pelan, "Kakak nggak apa-apa?"

Kakak perempuan itu menoleh sedikit wajahnya pucat pasi. Darahnya menghilang dari wajah. Ia seperti mau muntah, "Kamu siapa?" Tanyanya pelan. Hampir berupa bisikan.

"Aku adik kak Dante. Sebelum ini kakak dan aku ngobrol loh, tadi..." Ucapku, tadi,- sebelum kakak digigit kak Dante.

Sekilas aku melihat sebersit wajah bahagia di mata kakak perempuan itu. Tapi cahayanya kembali pudar. Cahaya orang yang sakit dan dia pasti memang sedang kesakitan. Mungkin kakak Dante menghisap darahnya terlalu banyak.

"Aku kenapa? Dante dimana?"

"Kakak nggak apa-apa. Kakak pusing ya? Kak Dante pasti lagi ambil minum." Aku menepuk-nepuk pundak kakak itu lebih pelan lagi.

Kakak ini sebenarnya cantik. Tadi dia memang kelihatan cantik kok sebelum sesakit ini. Tapi sebelum kakak itu menjawab, aku melihat matanya mulai terpejam. Nafas nya masih ada tapi tak berdaya. Kembali tak bergerak. Membuatku makin kasihan.

Aku terus duduk disamping teman kakakku selama setengah jam sampai kak Dante masuk kembali melewati pintu ruang keluarga. Sudah berganti baju ke kaos hitam kasual tapi masih dalam gerutuan yang sama.

"Kenapa masih belum bangun?" Kata kakakku sambil berdiri meletakan beberapa obat di atas meja ruang keluargaku, tepat di depan temannya.

"Kak Dante, teman kakak beneran nggak apa-apa?" Tanyaku khawatir, terus melirik teman kakakku yang masih pingsan di sofa rumahku.

"Nggak masalah. Dia pasti bangun lagi." Jawab kakakku ketus. Ia berjalan ke sofa disisi lain dan membenamkan tubuhnya disana, memainkan handphone, "Luka di lehernya nya pasti sudah sembuh sekarang. Kalaupun nggak bisa bangun. Gampang. Bisa kuantar pulang nanti."

"Kakak....kata kakak manusia mudah mati. Kalau gitu lain kali jangan minum darahnya banyak-banyak ya... Kasihan."

"Jangan dikasihani." Potong kakakku, ia meletakan handphone nya di atas meja, kesal, "Makanya kamu harus belajar untuk cari darahmu sendiri, Rona, jangan bergantung mama dan papa. Kamu harus bisa. Atau kamu yang mati."

Aku harus bisa, atau aku yang mati.

Manusia itu lemah. Vampir bisa mati tapi manusia lebih mudah mati. Aku bisa kehilangan Emir. Membunuhnya.

Aku juga membahayakan diriku sendiri. Membahayakan Emir dan keluargaku. Ini tidak sepadan dengan ledakan kembang api singkat yang kurasakan.

"Emir?" Aku berusaha mendekatkan wajahku pada wajah Emir yang ambruk di pelukanku. Dengan panik mengusap rambut dan kening Emir. Merasakan keningnya berkeringat, nafasnya yang pelan, tidak teratur, suhu tubuhnya yang berubah dingin, "Emir....." Panggilku sekali lagi. Rasa panik dan takut mulai menusukku. Menyilet perasaanku.

Disaat aku mulai menangis, aku melihat mata Emir perlahan terbuka. Emir mengedipkan nya beberapa kali. Wajahnya pucat pasi. Seketika aku memeluk Emir. Sekuat mungkin.

"Rona." Perlahan Emir mulai bangkit dari posisinya, mencoba melepaskan tubuhnya yang kupeluk. Tapi aku bertahan dan mengalihkan pelukanku dari leher Emir ke dadanya.

"Emir jangan mati. Aku sudah bilang. Aku berbahaya. Jangan dekat-dekat aku. Jangan lagi ya. Aku nggak mau Emir mati." Seruku, aku belum pernah di kuasai perasaan sekompleks ini. Secampur aduk ini. Rasa lega luar biasa yang di balut perasaan tegang, kalut dan takut.

"Aku nggak apa-apa." Ucap Emir, suaranya terdengar parau. Memotong kalimatku.

"Tapi aku benar-benar minta maaf."

"Iya, aku nggak apa-apa." Emir menunduk, mengulang kalimatnya, kembali mencoba menjauhkan kepalaku dari dadanya.

Aku buru-buru mendongak tapi tanpa sedikitpun melepaskan pelukanku dari Emir, "Tunggu. Aku masih mau dengar suara detak jantung Emir.."

"Seberapa lama?" Tanya Emir. Walaupun suaranya lemah namun nadanya tetap biasa, tenang, sopan dan anehnya; damai, "Aku masih hidup Rona."

"Aku belum pernah sebahagia ini dengar suara detak jantung." Aku memejamkan mata, menikmati detak jantung Emir. Suara kehidupan. Mendesirkan rasa lega mengobati perasaanku sesaat sebelum akhirnya aku mendongak menatap mata Emir, "Mau kuantar Emir ke rumah sakit?"

"Nggak. Nggak perluh, Rona." Emir terdiam. Mendorong lebih tegas tubuhku untuk menjauh darinya. Tatapan mata Emir tetap kosong saat ia melanjutkan berkata, "Memang sebaiknya kamu harus pulang ke rumahmu sendiri, sekarang."

PeronaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang