Part 18

141 38 9
                                    

"Emir! Kamu nggak lihat Rona lagi nggak enak badan? Kenapa malah di suruh belajar? Nanti jam istirahat keburu habis." Seru Rosa, matanya melirik ke buku yang di pegang Emir, "lagian kamu beneran mau minta di ajarin Rona Matematika? Enggak kebalik?" Gerutunya dan kini mata Rosa teralih, terpincing ke arahku dengan alis bertaut, "Terus ngapain sih kamu Rona!?"

Aku tersentak. Mataku ikut mengikuti arah mata Rosa. Rosa menatap tanganku,- jemariku yang mencengkram erat bagian depan kemeja Emir tepat di kancing bajunya nomor dua terdekat dari leher tanpa aku sadar kapan aku melakukannya.

Aku buru-buru melepas cengkram an tanganku, tapi Emir kembali menarik tanganku. Memposisikan tanganku untuk memegang bagian bawah kemeja seragamnya. Gerakan itu sukses membuat pupil mata Rosa melebar dan mulutnya terbuka melongo.

Seharusnya tatapan Rosa sudah cukup membuat Emir diam, pergi. Jangan ikut campur dan bukannya malah berkata, "Rona sakit, Rosa. Biar kubawa ke UKS."

"Rona nggak akan mau. Aku sudah ajak Rona berkali-kali ke UKS dari pagi. Tapi Rona tetep nggak mau."

"Iya." Aku mengangguk lemah, setuju, "Aku nggak mau."

Emir mengernyit, mengalihkan perhatiannya padaku, "Hati-hati Rona."

Hati-hati. Lagi-lagi kata itu. Kata yang selalu keluar dari bibir Emir khusus untukku. Kata yang membangkitkan marahku. Seperti tukang sate yang dengan sengaja mengipas asap dagingnya tepat ke wajahku.

Seketika rasa laparku dengan cepat berubah jadi frustasi. Aku melepas genggaman tanganku dari kemeja Emir. Serta merta lompat menjambak rambut Emir yang tebal lurus hitam sedikit ikal dengan kedua tangan sekuat tenaga. Emir tersentak kaget, Rosa berteriak dan aku menggertakkan gigi.

"Rona!" Seru Emir ia memegang kedua pergelangan tanganku menundukkan kepala sementara aku masih menjambak rambutnya.

"Emir nyebelin!!"

"Iya. Iya. Sebentar. Jangan lompat-lompat. Nanti tanganmu sakit."

Seperti lelehan es. Kalimat Emir melunturkan rasa marahku secepat munculnya. Aku berhenti lompat. Berhenti menjambak rambut Emir. Berhenti marah.

"Aku nggak sakit! Aku cuma lapar." Seruku, buru-buru menundukkan kepala dengan wajah mau nangis. Mengabaikan mata teman-temanku sekelasku yang menonton, mengabaikan Rosa yang mulutnya ternganga sampai dagunya mau copot, dengan gerakan tangan masih membeku di udara seperti petugas dirijen di sambar petir di tengah paduan suara hendak menghentikan ku dan mengabaikan Emir yang langsung mengacak-ngacak rambutnya dalam diam menungguku selesai bicara.

Tapi sayangnya aku sudah selesai bicara. Aku nggak mau lagi dan aku nggak punya tenaga untuk berbicara. Jadi aku menyalurkan sisa energiku yang tersisa untuk mendelik pada Emir.

Tolong jangan dekat-dekat aku.

Aku tidak mau usahaku selama berhari-hari mengabaikan Emir menjadi sia-sia. Aku sudah sampai di titik terendah. Hari terberatku. Di saat rasa lapar menguasai ku. Dengan sengaja mati-matian menunggu standar keinginanku terjun bebas jatuh ke ujung bumi. Karena disaat biasa, aku tidak akan tega melukai binatang apalagi menghisap darahnya. Aku lama menunggu untuk tidak lagi berharap sesuatu yang fancy; darah kompos kadaluwarsa apalagi darah Emir yang kental, hangat, manis. Saat ini aku cuma berharap darah apapun boleh asal aku bisa kenyang. Dan sekarang, mungkin aku bisa. Karena aku memang harus bisa.

Atau aku yang mati.

PeronaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang