Part 19

223 39 5
                                    

Hebatnya, aku benar-benar berhasil melewati hari ini. Bel pulang sekolahku berdering seperti lentingan tanda kemenangan. Melentingkan ketakutanku.

Sekuat tenaga aku bangkit berdiri. Berpamitan dengan Rosa yang masih memandangku dengan ekspresi aneh.

Seharian ini aku memang aneh. Aku yang biasanya, tidak seperti ini. Aku tidak moody, judes, pelit bicara apalagi galak. Beda jauh dari vampir pada umumnya karena kalau bisa memilih, aku lebih suka coklat daripada darah. Lebih suka matahari cerah merona daripada malam gelap dingin. Aku adalah pelangi, bunga-bunga, warna cerah dan lolipop di tengah rumah hantu,-keluargaku.

Aku rindu diriku yang dulu. Di saat aku masih minum darah kadaluwarsa. Bergantung pada papa mama. Teenyata tidak apa-apa di bilang vampir lemah, payah. Asal aku tidak perluh berburu.

Seandainya saja aku yang dulu juga tau, rasa aman itu juga salah bentuk kemewahan. Karena sekarang aku merasa sangat tidak aman. Aku tidak aman untuk orang lain, tidak aman untuk diriku sendiri. Aku berbahaya untuk dekat dengan manusia tapi juga tidak punya nyali untuk pulang kerumah.

Seperti pengecut akhirnya aku memilih duduk di lantai beton di gedung belakang sekolahku. Sendirian di bawah pohon. Menggores pasir didekatku dengan ranting pohon. Menggambar deretan binatang yang ku susun berantai. Ku eliminasi satu persatu sesuai dengan tingkat kemungkinan aku menggigitnya.

Rusa masih masuk dalam jejeran pertama. Tapi aku sangsi menemukan rusa liar di kotaku tanpa harus datang ke penangkaran atau kebun binatang. Kucing lebih available tapi aku suka kucing. Aku nggak akan pernah membunuh kucing. Burung mungkin bisa, tapi seberapa banyak burung yang harus kugigit sampai kenyang? Kalau ayam... Terus bedanya aku dengan dukun yang nyuci keris apa?

Aku terus menggores dan menggores sampai begitu aku sadar, aku sudah mengeliminasi semua nya.

Aku tidak punya pilihan.

Dan kalaupun ada pilihan, aku tidak suka pilihannya.

Mataku kembali basah. Aku duduk menekuk lutut keatas. Melipat tanganku. Membenamkan wajahku kesana. Putus asa. Menangis.

Aku tidak menghitung berapa lama aku duduk diam menangis sampai aku merasa hembusan angin menyentuh kulitku. Gemerisik daun bertemu daun. Aroma lembab, kayu dan rumput bercampur dengan darah manusia.

Aku tersentak bangun. Pupil mataku melebar. Mulutku terbuka. Aku hafal aroma ini hingga aku bisa membayangkan bagaimana rasanya darah itu mengalir. Membasahi bibirku. Darah hangat, kental manis serupa ledakan kembang api.

Darah Emir.

Naluriku menjerit. Memaksaku melompat bangun. Aku berdiri. Setengah berlari. Mencari sumber aroma ini. Separuh diriku berharap aku tidak akan pernah menemukan Emir. Tapi Emir ada. Aku menemukannya. Agak terlalu mudah. Karena Emir hanya berjarak beberapa meter di dekatku selama ini duduk. Di balik tembok besar. Berlawanan arah dari tempatku sebelumnya.

Emir berdiri di tengah lorong sepi. Ia tidak menatapku. Matanya menatap jauh melewati deretan pohon, melewati lapangan, menembus jauh melampaui yang aku tau. Dengan wajah tenang kosong sementara jemarinya yang berdarah jatuh dengan santai ke samping tubuh.

Aku mematung menatap Emir. Entah kenapa aku tiba-tiba teringat kak Dante. Aku pernah berada dalam posisi yang sama dengan kak Dante. Bertahun-tahun lalu saat kami berdua sama-sama tidak sengaja melihat kecelakaan beruntun di jalan.

Kak Dante waktu itu, nyaris membuka pintu mobil, mendatangi korban kecelakaan, Nyaris menggigitnya di tengah kerumunan manusia kalau bukan karena aku menarik tangan kak Dante sekuat tenaga mungkin semua itu sudah terjadi.

"Manusia itu lemah mudah mati." Ujar kak Dante lagi-lagi mengulang kalimat yang sama. Wajahnya keras. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, tampak kepayahan, "Manusia tidak tau, kalau vampir itu ada. Bukan cuma satu. Banyak. Dengan darah seharum itu. Sebanyak itu berceceran. Seandainya mereka tau. Seandainya mereka lebih hati-hati...."

Seandainya Emir tau. Seandainya Emir lebih hati-hati.

Karena bukan cuma aku yang harus berhati-hati.

"Emir!" Panggilku, aku berjalan lebih dekat. Perlahan. Memberi kesempatan Emir untuk berubah pikiran. Berlari kabur. Menjauh dariku.

Emir menoleh. Bibirnya tidak tersenyum tapi tatapan mata nya tetap tenang. Damai. Kedamaian yang kubutuhkan sekarang, "Rona.."

Langkahku tinggal sejengkal. Aku menahan nafas. Menatap Emir dengan pandangan bertanya-tanya. Apa memang karena wajahku, fisikku? Atau karena ada alasan lain? Apa Emir punya perasaan untukku? Apa boleh aku memanfaatkan hatinya untuk kepentinganku? Atau apa aku sebanding dengan apa yang akan Emir beri? Apa yang Emir cari ? Apa darahnya, konsekuensinya sebanding dengan akibatnya?

Padahal seharusnya Emir tau, aku sudah memperingatkannya; ia memberiku hidup tapi aku menawarkannya mati.

"Padahal aku sudah berkali-kali bilang ke Emir." Aku menelan ludahku, bibirku Kelu, "Aku berbahaya."

"Aku tau." Jawab Emir, mendadak bibirnya tersenyum, bukan senyum lebar. Bukan senyum bahagia. Bukan cengiran lucu. Hanya senyum kecil yang anehnya membuatku merasa aman.

"Aku sudah memperingatkan Emir." Bisikku. Aku bergerak semakin dekat. Mengangkat jemariku. Menyentuh jemari  Emir yang berdarah dan membawanya ke bibirku, "Jangan sampai Emir menyesal."

PeronaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang