"Emir tadi pagi itu aku mau sarapan soto. Tapi warung soto di depan kos tutup. Terus aku mau masak mie instan tapi waktu aku turun ke dapur, antrian pakai kompor nya panjang banget. Ya udah daripada telat aku nggak jadi masak. Akhirnya aku nggak makan sampai siang. Padahal hari ini aku kuliah pagi sampai siang tanpa jeda baru istirahat jam 12 itu juga di sambung lagi 3 SKS kelas akutansi."
"Sama kamu tau kan Emir, kamarku di lantai dua gedung satu, dapur nya ada di lantai dasar pojok gedung dua. Jauh banget. Mana aku kalau naro nugget di kulkasnya ilang terus. Oh ya di kamarku yang sekarang kadang kemasukan ulet dari pohon rambutan sebelah. Terus kalau mau markir mobil kadang harus rebutan. Menurut Emir gimana ?"
Emir yang duduk lesehan di sebelahku. Meminum air mineralnya sambil melihatku yang terus bicara, "Kamu mau pindah kos lagi?"
"Nggak tau. Makanya aku tanya pendapat Emir." Aku mengangkat bahu sementara jemariku sibuk berusaha memotong daging ayam dari tulangnya dengan sendok dan garpu, yang akhirnya diambil alih Emir.
"Tapi kalaupun aku pindah, aku nggak akan minta tolong Emir lagi kok untuk nyari kosan yang baru. Aku harus bisa sendiri. Nanti aku belusukkan sendiri atau pakai jasa cari kos ekslusif."
"Ini kali ketiga dalam satu tahun kamu pindah kos." Emir mendorong meja lesehan di depannya agak sedikit maju, supaya ia bisa sedikit memiringkan duduknya ke arah ku sambil masih membantuku memotong daging ayam, "Bener alasannya cuma itu?"
"Iya." Aku mengangguk, "Beneran."
"Bukan karena orang yang tinggal di sebelah kamarmu bau darahnya nggak enak? Atau kali ini malah terlalu enak?"
"Nggak Emir." Aku menelan makananku, nyengir nahan ketawa, "Itu kan dulu waktu kali pertama. Yang tidur di kamar sebelahku itu bau darah nya memang nggak enak banget. Nggak tau dia tiap hari makan apa. Tapi beneran kayak bau limbah pabrik."
Aku sebenarnya masih ingin nyerocos bicara tapi Emir lebih dulu meletakan telapak tangannya di bibirku. Wajahnya lagi-lagi khawatir. Seperti ekspresi ibuku, keluargaku. Emir yang selalu khawatir denganku, "Suaramu terlalu keras."
"Sekarang aku ngomongnya pelan-pelan. Janji." Aku ikut memiringkan dudukku ke Emir. Tersenyum lebar, "Tapi Emir dengerin ya. Jadi Emir ingat kan yang kali kedua aku pindah kos itu karena memang letaknya agak terlalu jauh dari kampus jadi aku terlambat terus."
"Tapi yang kali ini beneran alasannya karena dapur dan ulet. Bukan karena darah." Seruku lagi-lagi suaraku berubah jadi keras lagi sampai Emir harus menepuk-nepuk lenganku supaya aku kembali menurunkan volume.
Sayangnya bukannya setuju dengan perkataan ku, Emir malah menjawab dengan hal lain, "Aku sudah bilang, jangan bahas darah di tempat umum."
"Nggak apa-apa kok. Paling kalau ada yang nggak sengaja denger kita dikira ngomongin nyamuk."
Emir menghela nafas, menarik bahuku. Menarikku yang masih sibuk ngunyah supaya aku duduk lebih dekat dengannya, "Makan makanan mu sampai habis. Jangan lupa minum. Setelah ini kita ngobrol di mobil."
Aku mengangguk nurut, tapi sebelum aku menghabiskan sisa makananku aku mendekatkan bibirku pada Emir. Bicara super pelan di telinga nya padahal aku yakin nggak ada satupun yang peduli aku dan Emir bicara apa. Karena restoran lesehan ini selalu ramai. Suaranya campur aduk berisik dengan lagu. Berisik dengan suara manusia. Berisik dengan suara sendok beradu dengan piring.
"Orang yang sekarang tinggal di kamar sebelahku, bau darah nya memang enak." Kataku pelan tapi buru-buru menambahkan karena melihat ekspresi Emir berubah agak tegang, "Tapi aku nggak akan hilang kendali kok. Darahnya harum tapi nggak seharum darah Emir. Lagian aku nggak pernah lapar. Emir kan nggak bolehin aku lapar. Padahal sebenernya aku lapar sedikit juga nggak apa-apa. Aku nggak harus selalu minum darah tepat waktu kok. Aku sudah nggak kayak dulu. Sekarang kayaknya aku lebih punya kontrol Emir. Lihat aku. Ya kan? ya kan? Aku sehat."
"Aku sebenernya malah sudah lupa rasa lapar." Tambahku jujur, itu benar karena sudah bertahun-tahun Emir membuat jadwal minum darahku tepat waktu seperti membuat time table minum obat. Ia lebih disiplin daripada aku si vampirnya, "Padahal seharusnya aku banyak latihan juga untuk nahan lapar."
"Nggak perluh, Rona. Aku nggak suka lihat kamu lapar." Emir memotong kalimatku, bibirnya tersenyum kecil singkat. Senyum pendek Emir. Bukan tawa lebar bukan cengiran bandel, tapi ekspresi tenang damai yang selalu ku tunggu-tunggu, senyum favoritku juga, "Lihat aku. Aku juga sehat Rona."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perona
FantasyIf i tell you that I love you Can I keep you forever ? This story dedicated for people who likes sweet, simple, innocent love story enjoy