Part 20

138 39 7
                                    

.....................

"Emiiiiiiiiiirrrrr." Aku melompat, dari belakang mengalungkan tanganku pada leher Emir yang sedang duduk di bagian teras depan perpustakaan umum kampus, "Coba tebak siapa?!" Celetukku sambil nyengir di samping telinga Emir.

"Ronanya Emir?" Sela seseorang yang duduk di samping Emir. Rambutnya cepak pendek berwajah asing, memakai kaos polo putih dan berjaket, menatapku antara penasaran dan tertarik. Berbanding terbalik dengan Emir yang sama sekali tidak bereaksi. Hanya bergerak sedikit untuk membetulkan posisi kacamatanya.  Bahkan tidak berusaha pura-pura kaget.

Aku menoleh, memperhatikan orang itu dari balik leher Emir, "Kamu, Reza temen sefakultasnya Emir kan?"

"Kok tau?" Reza nyengir kecil, "Emir pernah cerita ya?"

"Kamu juga, kok bisa tau namaku Rona?" Aku balas bertanya.

"Jadi bener kamu Rona? Ronanya Emir?"

Mataku membulat. Ini pertama kalinya aku mendengar istilah Ronanya Emir. Biasanya cuma teman Emir. Atau mantan teman satu SMU Emir.

"Kamu terkenal di antara teman-teman Emir di fakultas sistem informatika." Tambah Reza, "Anak perempuan yang sering pergi berdua dengan Emir."

Keningku berkerut tapi lenganku memeluk leher Emir semakin erat disaat Emir tak goyah. Tetap fokus pada tugasnya di laptop, tanpa komentar, tanpa menoleh kebelakang menatapku, apalagi menatap temannya, "Oh... soalnya aku temen Emir."

"Yakin?"

"Yakiinn."

"Terus kamu disini ngapain? Kalian janjian?"

Aku melepaskan pelukanku, duduk di lantai beton di samping Emir. Menyenderkan kepalaku di bahu Emir. Menikmati aroma kemeja biru Emir yang harum dan aroma darahnya yang manis. Sekaligus menonton kesibukan Emir di laptopnya, menyusun skrip coding yang aku yakin untuk tugas kampus sebelum menjawab pertanyaan Reza, "Iya soalnya aku mau makan malam sama Emir."

"Berdua?" Alis Reza seketika terangkat, "Kalian selalu makan malam berdua, setiap hari?"

"Iya, kan aku harus mastiin Emir makan yang banyak. Makan makanan yang sehat. Minum air putih. Tidur yang cukup."

"Eh yakin beneran kalian nggak pacaran?" Mata Reza menatapku dan Emir bergantian makin tak percaya, "Anjir lah, nggak mungkin."

Nggak mungkin.

Aku ketawa. Padahal ini pertama kalinya aku melihat Reza. Tapi pertanyaan yang di lontarkan Reza pasaran. Kurang kreatif. Aku pernah mendengar pertanyaan itu lebih dari seratus kali.

Emir juga pasti sama. Tapi bedanya ia sudah tidak mau menanggapi lagi pertanyaan yang sama sedangkan aku masih mau untuk menjawab nggak.

"Bukan pacar tapi Emir itu manusia favoritku didunia." Tambahku bangga. Darah favoritku, aroma favoritku, rasa favoritku, sumber makanan favoritku.

Reza buru-buru mengatupkan bibir, wajahnya sedikit mulai merah canggung dan ia buru-buru menyentak pundak Emir agak keras,  "Oii Mir... Denger tuh. Di kode keras."

Emir akhirnya menoleh pada temannya, disaat yang sama aku menambahkan berkata, "Aku nggak kenal siapa-siapa disini. Keluargaku kan diluar kota. Aku kuliah disini sendirian. Kalau nggak ada Emir siapa yang bantuin aku? Bantuin aku belanja. Servis mobil. Ngerjain tugas. Betulin laptop. Belanja bulanan. Hari ini aja, aku mau minta Emir untuk..... " Suaraku terhenti karena tepukan pelan tangan Emir di puncak kepalaku, Aku menoleh, Emir menatapku dengan wajah kalem, salah satu hal favoritku juga, "Oh, kenapa? Emir denger ceritaku barusan nggak?"

"Ya." Emir akhirnya berbicara, "Aku bakal dengar ceritamu sampai kamu selesai cerita Rona. Tapi jangan disini."

Aku menggigit bibir, mengernyit kan wajah, meringis lucu, melirik Reza. Wajah Reza kini bukan lagi canggung tapi berharap bisa menggali lobang lalu menghilang lompat ke bawah tanah.

"Reza, kata Emir aku kalau ngomong, di pancing sedikit keluarnya kebanyakan. Terlalu banyak informasi."

"Iya sih. Emang." Reza mengangguk-angguk setuju. Menahan segala kecanggungannya dengan tidak menatapku lagi.

"Iya kan? Makanya aku butuh Emir. Kalau nggak ada dia, siapa yang ngerem kalau aku ngomongnya kebanyakan. Bener kan Emir?"

"Sudah Rona." Ucap Emir dengan sabar.

"Tuh liat, Reza.  Gimana hidupku tanpa Emir?"

PeronaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang