Part 7

160 44 6
                                    

Kadang definisi orang yang ramah itu bisa samar. Takaran nya beda antara satu orang dan orang lain. Tapi ramah bagiku ya yang seperti Emir. Selama ini aku kan tumbuh di antara dua saudara laki-laki yang judes. Elgar dan kakakku Dante. Mereka itu adalah titik kutub terbalik dari Emir.

Dulu, hampir satu setengah tahun yang lalu. Saat pertama kali aku melihat Emir, Emir sudah berkacamata formal, rambut hitam tebal lurus sedikit ikal, rapih dan berpakaian sopan bersih. Dari penampilannya saja sudah dapat dinilai ia tidak urakan, bukan biang onar, anak rajin, kalem dan pintar.

Emir berdiri di depan pintu kelas, berjalan minggir begitu aku melewatinya hendak pulang sekolah tapi tau-tau ia menarik tasku. Begitu aku menoleh bingung kebelakang, aku melihat Emir yang belum kukenal sedang menutup resleting tasku yang terbuka. Seingatku, Emir cuma bilang kalau tas ku terbuka dan tidak ada kata lain selain itu.

Dasarnya Emir memang perhatian makanya sejauh ini obrolanku dengan Emir tidak jauh-jauh dari mirip obrolan guru tua BK yang peduli dengan anak didiknya, misalnya menyuruhku untuk hati-hati, jangan lupa mengumpulkan tugas matematika, kamu butuh bantuan apa? Yang begitu-begitu-, Dan bukan cuma aku yang di perlukan begitu, Emir dengan alami peduli dengan semua orang. Ia lebih dari walikelas di banding walikelasku.

Karena siapa lagi yang di mintai tolong untuk bicara dengan guru kelas ketika kelas kami butuh sesuatu. Siapa lagi yang akan bantuin kami mengerjakan tugas ketika ada tugas mendadak super susah saat kelas kosong, siapa lagi yang PR nya bisa kami contekin dan minta di ajarin saat kami nggak bisa? Hanya Emir dan dia doang yang tampaknya walaupun nggak sambil senyum tapi tulus membantu semua orang.

Makanya Emir selalu di nobatkan sebagai ketua kelas. Ia ketua kelas dua tahun berturut-turut dari kelas sepuluh sampai sebelas. Walaupun ganti warga tetap saja Emir yang dipilih.

Tapi bisa juga karena nggak ada yang mau jadi ketua kelas. Jadi jabatan itu absolute di limpahkan pada Emir, tumbal kelas kami yang paling amanah mengemban tugasnya, -figur pemimpin sesungguhnya.

Itu semua salah sedikit dari banyak alasan kenapa aku tidak mau menghisap darah Emir lagi. Aku nggak tega melihat Emir yang sedikit-sedikit selalu di mintai tolong guru, sedikit-sedikit di mintain tolong teman sekelas dan di repotin ini itu, mendadak kena penyakit anemia, darah rendah gampang pingsan seperti para pengasuh adikku yang dulu rutin di hisap darahnya oleh Elgar.

Terutama, aku juga khawatir badannya yang berotot berubah layu karena nutrisi darahnya kuambil, -sebenarnya sih aku tidak tau uji sainstifik efek penghisapan darah pada otot bahu, karena aku tidak berpengalaman. Tapi intinya aku tidak mau merasa seperti penjahat,-si Vampir melawan Emir-Clark Kent si pahlawan super.

Maka dari itu selesai presentasi, aku ijin ke ruang UKS. Seharian disana. Buru-buru mau pulang begitu jam pulang sekolah berbunyi. Tapi baru aku membuka pintu UKS, aku melihat penampilanku di kaca samping pintu.

Mataku kelihatan sayu, ada lingkaran hitam di bawahnya, kulitku pucat. Aku kelihatan sakit untuk manusia tapi orangtuaku,-keluargaku pasti tau, kalau aku bukannya sakit.

Aku nggak bisa pulang dalam keadaan begini padahal keberhasilanku sepuluh hari lalu sudah di rayakan. Masa' aku kembali lagi jadi vampir ngerepotin yang nggak bisa apa-apa?

Akhirnya aku membalas pesan teman-temanku, terutama Rosa, yang khawatir untuk meminta mereka pulang lebih dulu sebelum berjalan ke kelas untuk mengambil tas. Tidak tau harus melakukan apa selanjutnya. Aku nggak berniat menjebak Emir apalagi dekat-dekat dengannya. Tapi juga tidak menargetkan mangsa lain,-terutama teman-teman sekolahku. Membuatku makin benci jadi diriku sendiri. Aku memang penakut. Vampir pengecut.

Tepat seperti kata keluargaku.

Aku benci diriku yang tidak bisa apa-apa ini. Benci karena aku orang yang stagnan. Tidak suka perubahan. Tidak tertarik pada adrenalin junkie. Hidupku datar. Sederhana. Semudah suka memakai baju yang sama bertahun-tahun walaupun baju itu sudah usang dan seharusnya kuganti sejak lama. Seaneh suka makan satu jenis coklat,- jenis-jenis makanan yang sama setiap hari tanpa merasa bosan.  Aku bisa hanya makan malam dengan lauk ikan selar selama sebulan berturut-turut tanpa merasa bosan. Ibukulah yang memasakkan itu setiap hari sampai mau muntah saking enek nya melihat ikan selar.

Kalau orang bertanya-tanya apa ada orang yang bisa hanya membeli satu jenis Snack tanpa tertarik mencoba yang lain di minimarket, ada. Itu aku. Snack yang kusukai hanya yang sejenis rice crispy coklat dan keripik kentang rumput laut.

Sebanyak semenarik apapun kantung Snack di aisle supermarket, aku melewati mereka. Aku tidak tertarik mencoba rasa Snack baru. Anehnya selera lidahku stuck di usia sepuluh tahun.

Awalnya, kukira vampir memang normal begitu. Atau memang ada manusia yang seperti itu. Tapi enggak juga. Ayah ibuku,-,keluargaku tidak. Mereka menghisap darah orang secara random, serandom mencomot permen di jalan. Semudah itu. Seberani itu. Kebanyakan orang yang darahnya mereka hisap adalah orang asing. Orang yang tidak betul-betul di kenal.

Karena keluargaku bilang, terutama saudara-saudaraku; lebih baik menghindari menghisap darah orang yang dikenal. Mereka tidak suka terlalu attach dengan mangsanya. Harusnya memang begitu, manusia normal kan tidak berteman dengan nasi. Tidak berteman dengan sumber makanan mereka.

Sementara manusia, manusia-manusia yang pernah kukenal. Justru makhluk yang paling mudah berubah. Beberapa sifat mereka berubah-ubah setiap saat. Suka mencoba hal baru, tertarik pada orang yang berbeda-beda dalam waktu cepat. Bahkan pendapat mereka bisa berubah-ubah dari satu waktu ke waktu lain dalam topik yang sama.

Kini aku memejamkan mata, kepalaku pening, langkah kakiku tinggal satu jengkal menuju pintu kelas. Namun ketika membuka nya, pemandangan yang kulihat, pemandangan yang paling tidak kuharapkan.

Aku masih berharap seandainya hidupku tetap stagnan. Damai, aman, tidak apa-apa hanya dengan kantong darah kadaluwarsa rasa kompos dari kulkas. Tapi itu sulit terwujud, karena satu-satunya orang yang sekarang kulihat masih ada, berdiri di dalam kelas hanya, Emir.

PeronaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang