2.3

337 36 0
                                    

"Apa yang kau inginkan?"

Gyuvin bergerak lebih dekat, tubuhnya hampir menempel pada tubuh Ricky. "Aku ingin memilikimu, Ricky," ucapnya penuh penekanan di setiap kata.

Ricky merasa jantungnya berdegup semakin kencang. Ia menatap Gyuvin dengan campuran rasa gugup dan harapan. "Gyuvin, kau-"

"Jangan khawatir," kata Gyuvin, "aku hanya ingin memastikan betapa pentingnya kau bagiku."

Gyuvin mendekat dengan perlahan, napasnya sedikit berat, matanya tak lepas dari Ricky. Ada sesuatu yang liar dan penuh gairah dalam tatapannya. Ketika akhirnya bibirnya menyentuh bibir Ricky, perasaan itu seakan meledak, membuat Ricky terkejut oleh intensitasnya. Ciuman Gyuvin bukan hanya sekadar sentuhan, itu adalah pernyataan yang kuat dan dalam, seolah dia ingin mengungkapkan segalanya tanpa kata-kata.

Ricky mencoba untuk tetap tenang, tapi detak jantungnya berdegup begitu kencang, hampir menyakitkan di dalam dadanya. Tubuhnya membeku sesaat, lalu secara naluriah, tangannya bergerak untuk merangkul punggung Gyuvin, merasakan kehangatan yang terpancar dari punggung Gyuvin yang sedikit basah oleh keringat. Jari-jari Ricky menyusuri otot-otot punggung Gyuvin, merasakan setiap ketegangan di bawah sentuhan lembutnya. "Ahh.." Desahan pelan terlepas dari bibirnya, sebuah suara yang penuh gairah dan tak bisa dia tahan.

Gyuvin, merasakan respon Ricky, semakin berani. Tangannya yang kuat bergerak lebih rendah, tangannya menelusup ke dalam kemeja dan membelai dada dan perut Ricky dengan gerakan lambat, membuat Ricky merasa seolah-olah tubuhnya meleleh di bawah sentuhan itu. Bibir mereka bertemu lagi, lebih dalam sampai saliva masing-masing membasahi dagu. Gyuvin mengeksplorasi bibir Ricky, mencicipinya dengan penuh kesabaran namun dengan keinginan yang membara. Setiap gerakan terasa begitu dalam, begitu bermakna, seolah-olah Gyuvin sedang menyalurkan semua perasaannya melalui ciuman itu.

Ricky tahu bahwa ini salah, tetapi dia tak mampu menolak apa yang sedang terjadi. Seluruh tubuhnya bereaksi terhadap sentuhan Gyuvin, menginginkan lebih.

"Emphh.." Saat tangan Gyuvin mulai menjelajah ke arah leher dan rahangnya, membelai dengan lembut tapi penuh kendali, Ricky merasakan sebuah getaran yang menjalar di seluruh tubuhnya. Ia tak bisa lagi mengendalikan desahan yang keluar dari bibirnya, sebuah suara yang begitu penuh dengan perasaan hingga membuatnya menggigil.

Namun, di tengah kenikmatan itu, kenyataan mulai menyusup masuk. Meskipun terbuai oleh perasaan yang begitu kuat, tiba-tiba merasa tersadar. Dengan susah payah, ia memaksa diri untuk memutuskan ciuman itu, menarik napas dalam-dalam, mencoba mengembalikan sedikit kewarasannya. "Gyuvin... tunggu... apa yang kita lakukan?" Ricky berusaha menjaga suaranya tetap tenang, meskipun dia tahu betapa terguncangnya dia saat ini.

Gyuvin, masih terhanyut dalam perasaannya, menatap Ricky dengan mata yang penuh dengan hasrat. "Aku tidak bisa menahan ini lagi, Ricky," bisiknya, suara rendahnya terdengar penuh tekad. "Perasaanku terlalu kuat untuk diabaikan."

Tanpa menunggu jawaban, Gyuvin kembali mencium Ricky, kali ini lebih dalam, lebih berani. Ricky merasa tubuhnya menegang, namun secara perlahan, ia mulai tenggelam kembali dalam ciuman itu, meskipun pikirannya berteriak untuk berhenti. Tangannya kembali merangkul tubuh Gyuvin, merasakan panas yang memancar dari tubuhnya. Setiap sentuhan, setiap gerakan bibir Gyuvin membuat Ricky semakin kehilangan kendali atas dirinya sendiri.

Namun, ketika ciuman itu semakin dalam dan intens, Ricky sekali lagi sadar akan realitas mereka. Dengan seluruh kekuatan yang dia miliki, Ricky memaksa dirinya untuk memutuskan ciuman itu lagi, kali ini dengan lebih tegas. "Gyuvin, kita tidak bisa melakukan ini," suaranya gemetar, namun kali ini lebih kuat, "Kita... kita saudara sekarang. Ini salah. Orang lain... teman kita, orang tua kita... mereka tidak akan pernah mengerti."

Gyuvin menatap Ricky, frustrasi dan marah, tapi juga ada rasa sakit yang jelas terlihat di matanya. "Aku tahu," katanya dengan nada rendah namun penuh emosi. "Tapi aku tidak bisa mengabaikan perasaan ini, Ricky. Kau lebih dari sekadar saudara bagiku... kau... penting."

Ricky menggelengkan kepala, mencoba keras untuk menahan air matanya. "Gyuvin, ini salah," katanya dengan nada yang lebih tegas, meskipun hatinya terasa berat.

Tapi Gyuvin tidak mau mendengar itu. Dengan cepat, dia mencoba meraih tangan Ricky, tetapi Ricky mundur, dorongan itu cukup kuat untuk membuat Gyuvin jatuh ke lantai. Dengan cepat, Ricky bangkit dari ranjang UKS, matanya penuh dengan kebingungan dan rasa bersalah. "Aku harus pergi," katanya singkat, sebelum berjalan keluar dari ruangan itu dengan langkah tergesa-gesa, meninggalkan Gyuvin yang masih duduk di lantai, menatap pintu yang kini tertutup.

Gyuvin menatap ke arah pintu dengan rasa kesal, marah pada dirinya sendiri karena tidak bisa mengendalikan perasaannya. Dia mendecak kesal, meremas rambutnya sendiri, merasa menyesal atas apa yang baru saja terjadi. "Bodoh," gumamnya pelan, merasakan kekosongan yang dalam di dadanya.

Ricky berjalan keluar dari UKS dengan langkah yang masih goyah, pikirannya dipenuhi oleh kejadian yang baru saja terjadi. Saat pintu terbuka, pandangannya langsung tertuju pada sosok Jeonghyeon yang tampak berjalan menjauh di ujung koridor. Sesuatu dalam diri Ricky merasakan dorongan kuat untuk mengejar Jeonghyeon, untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti.

Jeonghyeon mungkin sudah melihat atau bahkan mendengar apa yang terjadi di dalam UKS. Pikirannya dipenuhi oleh perasaan bersalah yang menusuk. Bagaimana jika Jeonghyeon salah paham? Tapi kemudian, Ricky sadar-mereka tidak memiliki hubungan apa-apa. Mengapa dia begitu peduli dengan apa yang Jeonghyeon pikirkan?

Ricky menatap punggung Jeonghyeon yang semakin jauh, hatinya terasa semakin berat. Namun, seiring detik berjalan, sebuah perasaan yang aneh muncul di dalam dirinya, membuatnya ragu untuk bertindak. Jika Jeonghyeon benar-benar tahu, apa yang seharusnya dia katakan? Ricky merasakan sebuah kekosongan yang dalam di dadanya, perasaan yang sama seperti ketika dia meninggalkan Gyuvin di UKS.

Jeonghyeon semakin jauh, dan Ricky tahu bahwa setiap detik yang berlalu adalah kesempatan yang hilang. Tapi langkahnya tidak bisa bergerak maju. Akhirnya, dengan napas panjang, dia memilih untuk berbalik, berjalan ke arah yang berlawanan dengan Jeonghyeon. Meninggalkan segalanya-perasaan bersalah, kebingungan, dan ketidakpastian-di belakangnya.

Saat ia melangkah, pikiran Ricky terus berputar-putar. "Kenapa ini harus terjadi?" gumamnya pelan, hanya cukup keras untuk dirinya sendiri dengar. Ia merasa terjebak dalam kebingungan antara apa yang benar dan apa yang dia inginkan. Hubungan antara dirinya dan Jeonghyeon memang bukan apa-apa, tapi mengapa rasa bersalah ini begitu menyiksa? Mengapa hatinya seolah terpecah belah?

Jejak langkahnya terdengar di sepanjang koridor yang sepi, dan Ricky terus berjalan, tak tahu ke mana arah yang dituju. Hanya saja, ia tahu ia harus menjauh, menjauh dari segalanya, dari Gyuvin, dari Jeonghyeon, bahkan mungkin dari dirinya sendiri.

To Be Continued...

- 13.08.2024 -

BE MY BROTHER | GYUICKY FT. JEONGRI ♡Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang