1 - Janis part 4

508 39 10
                                    

"Buu," panggilku. "Aku pergi dulu yaa."

"Ke mana?" ibuku mendongak dari tumpukan kertas di lantai kamarnya.

"Reading Lights."

"Oh, ngapain?"

"Main?"

"Kapan pulang?"

"Sekitar sore atau magrib?"

"Jangan kemalaman ya."

"Oki. Daah."

"Daah, tiati."

"Yoo."

Aku berjalan keluar rumah sambil mengirim SMS pada Cass. otw rl.

Cass membalas layaknya jenderal perang. Selalu waspada dan laporkan keadaan setiap lima menit sekali.

Tapi aku bukan prajurit teladan. eeh termasuk waktu aku di jalan?

Cass menjawab, Ya nggaklah.

good, karena aku baru aja ngelewatin tai ayam dan aku ga yakin kamu pengen dengar soal itu.

***

Janis terakhir kali mengontakku setengah jam yang lalu, mengatakan dirinya sudah di jalan. Sekarang aku duduk dengan gugup di meja yang berada di pojok seni Reading Lights. Ini adalah bagian lukisan-lukisan untuk dijual digantung dan dipamerkan dengan nominal harganya tercetak jelas di pigura. Salah satu lukisan yang dipamerkan bahkan tidak lagi memiliki catatan nominal harga digantikan tulisan Sold. Aku memilih meja ini, dan bukan sofa yang biasa kutempati, karena kalau—kalau—memang benar ini adalah kencan, aku tidak ingin percakapan kami didengar tanpa sengaja oleh Mbak Andien, supervisor tempat ini. Dilemaku masih membuatku maju-mundur soal Janis dan aku tidak ingin ada orang lain yang tahu.

Kedengarannya buruk sekali.

Detak jantungku meningkat saat aku melihat Janis berjalan melewati tempat parkir menuju pintu masuk. Ia mengenakan kardigan berwarna krem di atas sundress selutut berwarna persik. Aku mulai berpikir bahwa Janis mengenakan baju terusan dengan rok yang agak mengembang untuk menutupi pinggulnya—atau, lebih tepat ketiadaan pinggul. Janis melenggang santai memasuki Reading Lights, langsung menemukanku dari balik rak buku. Ia tersenyum. Aku melambai canggung.

"Hei," sapanya, menjatuhkan tas di salah satu kursi. "Kok mojok? Sofanya kosong tuh."

Aku tersenyum kecut. "Gak apa-apa, biar ada privasi aja."

Aku cukup yakin Janis sedang dalam mood yang baik karena ia mengerling dan berkata, "Privasi, ya?"

Janis melepas kardigannya. "Aku ambil menu dulu, ya."

Kemudian ia melenggang pergi dan aku mengeluarkan ponsel, mengetik cepat-cepat pada Cass. lapor sir, subjek tampaknya jelas2 flirting dengan prajurit.

Bagus, Prajurit, balas Cass. Bertahan dan rayakan kenyataan bahwa ternyata kamu laku.

Dasar sial.

"Jadi," Janis kembali dengan dua buah menu serta sebuah senyum manis. "Makasih kamu udah nyanggupin ajakanku."

Aku balas tersenyum. "Bukan masalah, aku toh nganggur juga."

Janis mengangguk. "Soooo..." jarinya yang dimanikur sempurna menelusuri garis-garis kayu di atas meja yang divernis. Ia menatapku malu dari balik bulu matanya. "I must admit, undanganku itu sebenarnya impulsif dan aku sama sekali nggak menyangka kamu bakal nerima."

"Itu hal baik atau buruk?"

"Baik." Janis tertawa kecil. "Cuma aku jadi menghabiskan tiga malam bolak-balik di tempat tidur, gelisah, deg-degan menanti hari ini. Dan sekarang kita di sini tapi aku bahkan nggak tau mau ngomong apa."

[ID] tanya+ | Novel: FinishedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang