"Sepi, ya." Janis mengedarkan pandangan ke sekitar kafe.
"Yaiyalah, kita datang barusan paling baru buka. Lagian sekarang bulan puasa."
"Sepi, ya," gumam Janis.
Aku menaikkan pandanganku dari Cola float padanya. "Kamu mikir apa?"
"Hmm, nggak kok." Tapi senyum yang bermain di bibirnya berkata sebaliknya.
Aku mulai merasa tertarik. "Kenapa sih?"
Janis menatapku langsung. "Baru kali ini aku ngerasa betul-betul cuma berduaan denganmu."
Well, itu bukan jawaban yang kuharapkan. Jantungku sepertinya tiba-tiba merasa lebih bersemangat memompa darah. "Masa, sih. Kan tiap kita jalan bareng juga cuma berdua," kataku sambil menopang dagu, melihat jauh ke kanan mengagumi pagar tanaman. Hmm, butuh di-trim sedikit.
"Nggak pernah benar-benar sendirian, kan." Janis sengaja menggeser posisi duduknya agar kaki kami bersentuhan di bawah meja. Aku mematung. "Selalu ada banyak orang. Banyak stranger. Kita berduanya kapan?"
Astaga Tuhan. "Kamu beda seratus delapan puluh derajat gini."
Janis tertawa. "Dibandingkan dengan...?"
"Yaah," aku menimbang-nimbang. "Dibandingkan kencan sebelumnya?"
Tawa Janis menghilang. "Tan..."
Aku meringis saat menyadari apa yang baru kulakukan. "Sori, sori. Bukan maksudku ngungkit itu, it's just..."
Ringisanku tambah dalam saat aku tidak bisa menemukan kata yang tepat untuk melanjutkan dan Janis menaikkan alis menatapku, menunggu. "Ah, nevermind."
Janis mendesah. "Aku sadar kok Tan. Cuma... yah, mungkin aku beda 180 derajat justru karena terakhir kali akunya... gitu."
Aku menepuk-nepuk punggung tangannya di meja. "It's okay, precious sinnamon roll baby. It's okay."
Janis tertawa lepas. "Kamu ingat."
"Iyalah, gimana gak inget? Perasaan itu baru-baru ini deh."
Tawa Janis mereda menjadi sebuah senyuman, kemudian dia membalikkan tangannya di atas meja, telapak beradu dengan telapakku, dan tangan kami bergenggaman. Napasku seolah terhenti.
"Untuk yang waktu itu," katanya singkat.
Samar-samar aku merasakan kepalaku mengangguk sekali, perlahan. Rasanya seolah ada gelembung sihir yang melingkupi kami. Kemudian, tentu saja, gelembung itu harus dipecahkan oleh sang waitress yang kembali dengan pesanan kami—atau lebih tepatnya, pesananku.
"Permisi kak, ini kentang gorengnya." Ia meletakkan seporsi besar kentang goreng di antara kami berdua, tepat di samping banana split. "Pesanannya sudah semua, ya."
"Yap," sahutku sementara Janis melongo melihat kentang goreng di hadapannya. "Makasih mbak."
"Ini... ini satu porsi?" tunjuk Janis setelah waitress itu pergi.
"Iya," jawabku kalem, mengambil satu kentang goreng dengan potongan paling besar dan mencolek sambal, diam-diam merasa geli melihat reaksinya. "Kenapa?"
Janis membuka mulut, berusaha berkata-kata. "Ini tuh... ini gede banget Tan!"
"Masa?" aku berpura-pura tak acuh. "Nggak ah, biasa aja. Aku kalau ke sini bisa makan dua porsi."
Bola mata Janis membulat. "Sendirian?"
"He-eh." Aku melahap dua kentang goreng sekaligus. "Mau?"
![](https://img.wattpad.com/cover/44105735-288-k929515.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
[ID] tanya+ | Novel: Finished
Художественная прозаDITULIS DAN DIPUBLIKASI TAHUN 2015. ‼️Cerita ini mungkin memuat unsur misinformasi dan/atau representasi keliru mengenai kelompok minoritas Lesbian/Gay, Biseksual, Transgender Biner dan Non-Biner, Panseksual, dan orientasi seksual/identitas gender l...