Awal semester kelas VIII
"Priwiiiiitt!" Pak Dadang menirukan bunyi peluit dengan mulutnya. "Putri, kumpul! Bikin dua barisan hadap sini!"
"Mau ngapain dulu, Pak?"
"Udahlah Pak gak usah olahraga, malees!"
"Ngerjain LKS aja deh Pak!"
"Pak siang-siang gini malah disuruh keringetan, kan capeeek!"
"Eeh, disuruh baris malah ngeyel!" Pak Dadang berkacak pinggang, celana training warna merah yang dia kenakan digulung sampai selutut di salah satu kaki, baju olahraga warna kuning cerahnya dimasukkan ke celana. "Bapak hitung sampai tiga kalau belum bikin dua barisan hadap sini kalian semua disuruh lari keliling lapangan sepuluh kali!"
Masih belum ada yang bergerak, karena semua orang sudah tahu di balik tampilannya yang garang dan tinggi besar sebenarnya Pak Dadang bisa disamakan dengan beruang teddy—empuk dan lembut.
Pak Dadang mencoba taktik lain. "Kalian olahraga selama lima belas menit habis itu boleh masuk kelas."
Dalam hitungan detik para siswi berusia rata-rata 13 dan 14 tahun itu telah membentuk dua barisan dengan rapi. Pak Dadang memainkan bola voli di tangannya. "Harusnya sekarang kita belajar tentang bola voli, tapi—" seorang siswi yang membuka mulut hendak protes langsung bungkam. "—berhubung kalian malas, jadi sekarang kita main aja. Buat dua baris, sudah?"
"Udaah," jawab para siswi dengan kompak.
"Jumlahnya sama?"
Terdengar gumam suara lembut menghitung yang saling tumpang tindih. Seorang gadis dengan rambut bergelombang yang tergerai hampir menutupi mata malasnya yang terkenal mengacungkan tangan dari barisan belakang. "Pak, Ayu gak masuk jadi kurang satu."
Pak Dadang mengalihkan perhatian pada gadis itu, begitu pula siswi yang lain. "Ayu kenapa gak masuk?"
"Katanya sakit, Pak."
"Hmm." Pak Dadang manggut-manggut. "Mungkin dia dipingit supaya tambah ayu."
Beberapa orang siswi cekikikan.
"Jadi ada berapa orang tiap barisan?"
Masih gadis yang sama, dia menjawab, "Yang itu sembilan barisan yang ini delapan."
"Ya sudah, harusnya gak jadi masalah. Gini aturan mainnya: kalian pakai lapangan yang ini, dari garis batas lapangan basket sampai ujung tembok sana biar mainnya gak tabrakan sama anak laki-laki. Lapangan ini kalian bagi jadi dua wilayah, masing-masing wilayah ada satu orang yang ngejaga di belakang, jadi kiper. Sisanya kalian kejar bola ini dan harus nyetak gol di gawang lawan. Cara mainnya bola kalian pegang, gak usah ditendang atau di-dribble, tapi masing-masing orang gak boleh megang bola lebih dari lima detik jadi kalian harus saling oper. Tiap anggota regu harus saling kerja sama, ngerti?"
"Ngertii."
"Ayo kalian diskusikan dulu gimana cara ngebedain lawan dan kawan, regu mana mau di wilayah mana—"
"Yang di bawah pohon! Kita mau yang di bawah pohon!"
"Curang! Jangan gitu ah, licik!"
"Emang maunya gimana?"
"Suit aja, suit! Yang menang boleh pilih wilayahnya!"
"Oke! Tan, suit Tan!"
"Lho kok aku?"
"Kan kamu yang jago!"
"Ayoo Ra! Jangan mau kalah!"
Masing-masing kelompok mendorong jagoan mereka untuk melakukan suit menentukan wilayah: yang menang hampir bisa dipastikan akan memilih tempat yang enak, yaitu di sudut lapangan yang dinaungi pohon rindang dari green house sekolah yang letaknya satu level lebih rendah dari lapangan. Pohon itu cukup besar untuk menaungi hampir seperempat lapangan, oleh karena itu hampir semua anggota regu yang berjaga di wilayah itu pasti tidak akan terkena panas sinar matahari langsung.
KAMU SEDANG MEMBACA
[ID] tanya+ | Novel: Finished
Художественная прозаDITULIS DAN DIPUBLIKASI TAHUN 2015. ‼️Cerita ini mungkin memuat unsur misinformasi dan/atau representasi keliru mengenai kelompok minoritas Lesbian/Gay, Biseksual, Transgender Biner dan Non-Biner, Panseksual, dan orientasi seksual/identitas gender l...