Makasih untuk Re karena ngasih izin buatku untuk pake konsep "utang cerita" meski kebelit-belit sama ngomongin kuliah filsafat. U da MVP fam. More or less.
---------------
Di luar dugaan, Tanya dan Johan memiliki banyak kecocokan.
Keduanya sering ditinggal di rumah oleh orangtua mereka. Band favorit mereka berdua adalah Simple Plan. Keduanya lebih suka Milkita rasa melon daripada coklat ataupun stroberi. Johan senang berbicara dan Tanya senang mendengarkan. Mendengar Johan berbicara, Tanya tidak heran banyak yang mengidolakannya, bahkan seringkali menyayangkan fakta bahwa Johan tidak mengikuti OSIS karena kalau dia pengurus OSIS pasti sudah dicalonkan menjadi ketua dan menang mudah. Johan memiliki karisma tersendiri yang menghipnotis orang-orang, membuatnya mudah disukai. Dia selalu tahu apa yang harus dikatakan dan kapan. Johan nyaris tidak pernah salah dalam bertutur dan bersikap.
Tapi dengan Tanya, dia lebih terbuka. Dia menceritakan cerita-cerita liburan yang lucu dan membuat ekspresi wajah yang aneh. Johan tidak malu menjulingkan matanya ketika mereka photo box bersama. Ekspresi itu membuat Tanya tertawa terpingkal-pingkal sampai perutnya sakit, dan karena dia tertawa Johan ikut tertawa, dan tanpa mereka sadari kamera menangkap wajah mereka yang tertawa tak karuan.
"Bohong!" Tanya memekik.
"Sst!" Johan menekan telunjuk di bibir. Mereka sedang berada di tengah food court BIP, duduk di meja dekat eskalator dengan segelas plastik jus di hadapan masing-masing.
Tanya terkikik, menutup mulutnya dengan tangan. Mata Johan berkilat jail. "Aku gak percaya kamu ikut seleksi OSIS bareng denganku!"
"Benar kok." Johan bersandar ke kursinya dengan puas. "Aku ingat banget waktu kelas tujuh di ruang kelasku sekarang, VIII-E. Dua orang senior berantem di depan kelas dan setelah mereka keluar kita disuruh nutup mata dan mikir apa kesalahan kita. Aku duduk di barisan belakang, kamu barisan yang sejajar dengan meja guru, meja kedua dari depan. Tiba-tiba kamu angkat tangan dan minta izin bicara. Begitu dipersilakan kamu nanya kenapa harus kita yang mikir kita salah apa, padahal jelas-jelas kita gak salah dan topik pertengkaran mereka juga bukan tentang kita. Akang-Teteh OSIS yang ada di dalam kelas sampai bingung mau jawab apa. Akhirnya kamu disuruh duduk dan waktu pertemuan OSIS berikutnya kamu gak pernah datang lagi."
Tanya terkikik geli. "Ya ampun aku takut banget waktu ngomong gitu, tau gak? Sok-sokan berani, padahal di bawah meja, kakiku gemetarannya minta ampun!"
Johan tertawa. "Tapi keren, kok. Aku salut. Kamu berani. Tapi kenapa kamu gak pernah datang lagi?"
Masih sambil tersenyum, Tanya menyedot jusnya dan mengangkat bahu. "Ternyata aku gak cocok sama OSIS ataupun kegiatan berorganisasi lainnya, jadiii." Tanya mengedikkan bahu sekali lagi. "Kamu sendiri kenapa gak ikutan OSIS?"
Johan mengangkat kedua tangannya pasrah. "Aku gagal waktu seleksi 40 Inti. Ternyata mentalku nggak sekuat yang aku kira. Dan disiplinku juga katanya masih payah."
Tanya terkikik. "Tapi itu juga udah keren kok, kamu maju lebih jauh daripada aku."
"Itu kan beda." Johan menyeringai. "Kamu mengundurkan diri. Aku gagal. Buatku, kedengarannya lebih hebat kamu daripada aku."
Tanya tersenyum malu-malu, mendorong bahu Johan main-main. "Jangan gitu, ah. Malu."
Johan makin berani. Dia memajukan tubuhnya dan berbicara dengan nada jail. "Malu apa malu?"
"Apa bedanya?"
"Aku juga nggak tau, sih."
Mereka berdua tertawa. Tiba-tiba Tanya mengangkat tangan. "Bitan dulu. Menurut kamu pribadi anak OSIS tuh gimana sih?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[ID] tanya+ | Novel: Finished
Художественная прозаDITULIS DAN DIPUBLIKASI TAHUN 2015. ‼️Cerita ini mungkin memuat unsur misinformasi dan/atau representasi keliru mengenai kelompok minoritas Lesbian/Gay, Biseksual, Transgender Biner dan Non-Biner, Panseksual, dan orientasi seksual/identitas gender l...