1 - Janis part 6

360 39 13
                                    

Cass dan Andrea seolah mewakili malaikat dan setan mungil yang bertengger di kedua bahuku, berusaha memengaruhiku dalam membuat keputusan.

"Jawab."

"Abaikan."

"Jawab," Cass bersikeras.

"Abaikan," Andrea tak mau kalah.

Sementara aku hanya duduk dengan mulut terbuka, jempol mengambang di atas layar dan jantung berdebar cepat. Aku hanya samar-samar mendengar suara Andrea dan Cass karena telingaku dipenuhi oleh deru aliran darah yang teramat kencang, dan aku hanya bisa mendengar pikiranku sendiri.

Dia sudah bilang kan, dia bakal mengontakmu!

Apa aku harus mengangkatnya?

Abaikan?

Jawab?

Abaikan?

Jawab?

Apa ruginya?

Tepat sebelum jempolku menekan Accept panggilan itu terputus.

Tanpa sadar aku seolah menghembuskan napas terakhir; sebuah desah lirih yang diakhiri oleh titik. Kedua gadis yang duduk di sofa di seberangku menatapku dalam diam.

Sebelum aku bisa berpikir aku membuka daftar panggilan masuk dan menelepon Janis.

Menyadari apa yang kulakukan, Andrea memekik, "Jangan!" sementara Cass bersandar ke punggung sofa dengan puas. Mengabaikan Andrea, aku bangkit dan berjalan keluar, meninggalkan mereka berdua dan logikaku di dalam ruangan. Aku berjalan mondar-mandir di tempat parkir motor. Ayolah. Ayolah. Ayolah.

Pada dering keempat, Janis menjawab. "Halo."

Aku membeku saat logikaku berhasil menyusulku keluar dan menabrak punggungku. "Tan?" panggil Janis.

"...hai," akhirnya aku menjawab.

"Hei," balasnya.

Kami berdua terdiam.

"Aku mau minta maaf..."

"Nggak apa-apa."

"Apa-apa, Tan." Aku mendengar sesuatu bergeser. "Aku... kabur. And that's not okay. Aku juga melimpahkan semua tagihan padamu."

Kenapa orang-orang terobsesi pada tagihan pembayaran di kencan pertama? "Serius, nggak apa-apa kok Jan."

Hening di ujung sambungan saat aku baru menyadari apa yang telah kulakukan: memanggil potongan kecil namanya dengan akrab. Oh, sialan. "Maksudku, um..."

Aku seharusnya tidak cukup mengenal Janis untuk hal ini, tapi saat ia berbicara aku bisa membayangkan telunjuknya menekuri permukaan benda apapun yang berada di dekatnya sambil menjawab, "Oke."

"Oke?"

Tiba-tiba aku teringat pada kisah Hazel dan Gus, dan seolah memikirkan hal yang sama, Janis mengutip, "'Maybe okay will be our always.'"

Aku menarik napas melalui mulut. "Oke."

"Oke."

Aku menelan ludah.

"Aku..." Janis memulai. "Walaupun kamu udah bilang nggak apa-apa, aku masih merasa bersalah."

Kali ini aku tidak menanggapi.

"Aku cuma... kaget, kurasa. Mungkin. Yeah, kayaknya aku kaget. Aku..." Janis seolah menarik diri lagi. "It's just... rasanya terlalu cepat, Tan."

[ID] tanya+ | Novel: FinishedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang