Bab. 2

2.9K 133 3
                                    

Beberapa hari berlalu, pelayan terus mendatangi Simon memberi tahu keadaan Sofia. Hari ini pelayan datang kembali. 

"Nonya belum mau makan apapun, tuan muda. Kami khawatir kalaur terus begini nyonya bisa jatuh sakit."

Simon tetap sibuk dengan pekerjaannya. "Suruh dia makan dan berhenti bertingkah seperti anak kecil." Kata Simon tak peduli. 

"Sudah kamu bujuk-"

"Aku tidak bilang bujuk dia. Aku bilang suruh dia makan dan bilang berhenti bertingkah seperti anak ekcil."

"... baik tuan muda."

Lalu esok harinya...

 "Nyonya pingsan, tuan muda."

Simon mendongak. "Lalu?"

"... nyonya masih belum mau makan. Tadi pagi nyonya jatuh pingsan karena sudah terlalu lemas." 

"Kalau begitu dia sekarang sudah mau makan kan? Panggilkan dokter, suruh dia makan, lalu masalah selesai."

"... bagaimana kalau nyonya mati karena ini, tuan muda?" Kata Alex, yang seketika membuat alis simon berkerut. 

Simon tidak peduli Sofia mau bagaimana, namun Sofia tidak boleh mati. Kalau dia mati, Simon harus menikah lagi. 

"Oke, aku mengerti." Simon beranjak. "Maksdunya aku harus melihat kondisi dia, begitu kan?"

Merepotkan sekali. Simon bahkan jarang mengunjungi Abraham Parker, ayahnya yang sudah lama jatuh sakit sampai-sampai tidak bisa bangun dari tempat tidur. Sekarang Simon malah harus menjenguk istri yang ngambek mau bercerai itu. 

Menyebalkan. 

***

Dokter langsung menbungkuk ketika Simon berhenti di dekatnya. 

"Kondisi nyonya sangat tidak stabil, tuan muda. Stres yang menumpuk berdampak besar pada kondisi fisiknya. Dalam kondisi ini, kami hanya bisa memberi obat penenang dan beraharap nyonya sedikit mengendalikan dirinya."

"Dengan kata lain istriku membuat masalah sendiri makanya dia jatuh sakit? Benar-benar seperti bocah." Simon menyahut dingin. 

Kepalanya berpaling pada pelayan. "Bereskan kamar lain dan pindahkan barang-barang istriku kesana. Lalu, buat makanan kesukaan dia."

"Baik, tuan muda."

Simon melipat tangan, menyaksikan wajah pucat Sofia yang tampak semakin kurus, tanda bahwa kurang makan. Tidak ada rasa simpati di mata Simon. Juga ia tidak peduli mau Sofia begini karena dirinya. Orang yang punya segalanya berhak mengatur. 

Maka ketika Sofia bangun...

"Jangan menyusahkan aku, istriku." Simon mendesis di depan wajahnya. "Aku ini sibuk. Pekerjaanku sangat banyak. Terlalu banyak untuk mengurus sakit hatimu yang tidak berguna ini."

Sofia menatapnya dengan napas berat karena demam. Matanya memerah menyaksikan wajah bajingan yang begitu ia benci setengah mati. 

"Makan, makananmu." Titah Simon dingin. "Berhenti mengamuk seperti binantang liar. Kalau aku mendengar kamu membuat keributan lagi, aku tidak akan segan-segan memberimu hukuman."

Sofia menangis tanpa suara, justru merasa semakin sakit. Pria ini, dia sepertinya memang tidak punya hati nurani. 

Simon Kim Parker tidak punya hati untuk peduli, untuk simpati, dan untuk apapun selalin itu. 

***

Beberapa hari kemudian. 

"Selamat pagi, ayah." Sapa Simon pada Abraham Parker.

Bunga yang BerseriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang