"Aku merasa sangat dihina sekrang." Geram Simon. "Kalian terang-terangan mau melawan tuntutanku dengan dalih istriku sudah memaafkan bibi Hellen. Kalau keputusanku sebagaia kepala keluarga tidak didengarkan, lantas untuk apa aku jadi kepala keluarga?!"
"Tidak selalu keputusan kepala keluarga itu bijaksana." Balas Abraham. "Simon Kim Parker, istrimu sepertinya jauh lebih memahami berat masalah ini daripada kamu sendiri. Menyelesaikan semuanya sepeti ini adalah solusi terbaik.
"Istriku hampir mati di tangan saudarimu, ayah!"
"Tapi istrimu tidak mati, benar kan?"
Simon mengetatkan rahangnya semakin kuat. Meskipun Simon tahu Abraham seperti ini, dan Parker memang seperti ini, tapi tetap saja. Mereka benar-benar meremehkan harga nyawa Sofia.
"Naik, anggap saja aku terima keputusan ini." Simon menghela napas kasar. "Tapi mulai sekaran, camkan di kepala kalian, kalau aku sepenuhnya meletakkan kehormatan Parker pada istriku. Penghinaan apapun padanya, aku tidak akan terima lagi. Jadi sebaiknya ayah dan para tetua mulai menganggap dia bagian dari Parker."
Semuanya diam. Tentu saja sulit bagi mereka. Darah keturunan benar-benar diagungkan disini.
"Aku tidak bisa mencuci darah orang biasa milik istriku, mekipun meminta iar suci dari pendeta." Ucap Simon.
Mendadak, Simon merasa sesak. "Aku tahu sebenarnya melepaskan dia jauh lebih baik bagi semua orang. Bagiku, bagi Sofia, dan bagi kehormatan Parker."
"Tapi apa noda dari darah orang biasa itu, sampai semua orang tidak bisa menerima dia? Bahkan setelah dia melahirkan putriku, setelah dia memaafkan bibi Hellen padahal bisa saja dia meminta aku menghukum bibi leboh keras, setelah dia berjanji akan memberikan anak laki-laki, setelah ini dan itu yang dia lakukan, apa noda darah orang biasa itu terlalu buruk sampai hal-hal baik tentang istriku jadi tidak terlihat?"
Semua orang tak bisa membalas perkataan Simon.
"Aku sudah hidup puluhan tahun demi keluarga ini. Meskipun ada kebencian besar dihatiku pada Parker, yang membuat aku hidup seperti robot, semuanya tetap aku jalani sampai sekarang. Sampai sekarang, kalian tahu kan?"
"Aku selalu mematuhi aturan. Satu-satunya yang aku langgar hanya pernikahan yang seharusnya berdasarkan aturan golonga darah para elitis, aku buat jadi bersama Sofia. Hanya itu saja peraturan peraturan seumur hidupku yang aku langgar. Tapi untuk satu itu saja, apa ayah dan para tetua yang bijaksana bahkan tidak rela membiarkannya?"
Simon beranjak dari kursinya. Berbalik dengan awan mendung yang menyelimutinya.
"Jangan buat aku terlalu lelah dengan semua ini, ayah. Setidaknya ayah pasti mengerti berat beban yang menjengkelkan ini."
***
Sofia menoleh ketika menengar langkah Simon mendekat. Dia berjalan dengan kepala tertunduk, tampaknya diselimuti perasaan tidak terlalu baik.
Dia sepertinya berusaha keras menunjukkan bahwa dia memihak Sofia, tapi pada akhirnya itu sulit. Dia tidak diperbolehkan melakukan apapun yang diluar ketentuan keluarga.
"Aku baik-baik saja."
Simon berhenti melangkah. Mengangkat wajahnya pada Sofia, lalu kembali menunduk.
"Aku baik-baik saja." Kata Sofia lagi, meyakinkannya. "Kamu sudah berusaha keras, jadi tidak perlu menyalahkan diri sendiri."
"... Benarkah?" Balasnya getir. "Istriku, akulah yang paling tahu, paling mengerti seburuk apa rasanya menjadi bagian dari keluarga semacam ini."
Simon mengusap wajahnya sendiri, tak mau terlalu memperlihatkan kelemahan disana.
"Akulah yang paling tahu beta menjijikkan keluarga ini. Aku yang paling tahu sejak usiaku masih kecil."
"..."
"Tapi semakin aku pikirkan, semakin aku merasa bodoh. Aku yang paling tahu semuanya, jadi kenapa aku membiarkan anakku lahir di keluarga semacam ini? Kenapa aku menjebak kamu dalam keluarga seperti ini? Seharusnya aku biarkan kalian pergi. Hidup di luar jauh lebih menyenangkan."
"..."
"Aku takut."
Simon mendongak, menatap langi-langit lorong itu semata agar air matanya tidak jatuh.
"Aku takut kalau suatu saat anak-anakku juga harus menghadapi situasi semacam ini. Di tangan mereka ada emas permata dan mahkota, tapi leher merek terbelenggu."
"..."
"Tidak ada jalan keluar dari dunia ini."
"Kalau begitu buat jadi lebih baik."
Simon membeku. Dia berhenti mendongak, menatap Sofia dengan pandangan nanar.
"Buat dunia yang lebih baik untuk anak-anak kita." Sofia mendekat, mengulurkan tangan untuk mengusap pipi Simon. Ada setetes air mata jatuh disana. "Kalau tidak bisa sekarang, setidaknya dimasa depan semua akan terasa lebih baik. Untuk anak-anak kita. Bukan hanya Sania."
Simon tiba-tiba menggigit bibirnya keras. Dia menangkup tangan Sofia, lalu tertunduk, menangis tanpa suara menggenggam tangan itu.
"Maaf," bisik Simon dengan suara tertahan. "Maaf sudah membuatmu terluka. Maafkan aku, Sofia."
"... Ya, aku sudah baik-baik saja sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga yang Berseri
Acak"Ceraikan aku, Simon! Aku ingin bahagia." 7 Tahun lamanya Sofia terjebak dalam pernikahan yang tak membahagiakannya, 7 tahun lamanya Simon Kim Parker tidak mempedulikannya. Pada hari sang ibu meninggal, Simon tidak memunculkan dirinya, bahkan sekeda...