Bab. 11 part 2

1.7K 81 0
                                    

Kalau kalian pikir Sofia merasa terharu dibantu, secuilpun itu tidak. Bahkan kalau Sofia tenggelam dilaut dan Simon menyelamatkannya, Sofia akan tetap membenci Simon. Mati jauh lebih baik daripada hidup bersama laki-laki brengsek itu. 

"Aku yang memilih rakyat jelata ini jadi istriku." Ucap Simon. "Aku yang memilihnya, NONA Bella. Kalau istriku tidak layak dihormati, PILIHANKU setidaknya sangat layak dihormati. Kamu barusan bukan hanya menghina istriku, tapi juga menghina pilihanku."

Simon berpaling. "Alex, bawa Bella ke tempat bibi Helle. Bilang pada mereka aku akan menemui mereka nanti malam."

"Baik, tuan muda." Alex mendekati Bella. "Mari, nona."

Bella mengepal tangannya kuat-kuat. "Aku akan mengadu pada paman Abraham atas penghinaan kakak ini!" 

Simon tidak peduli, membiarkan gadis itu pergi. Setelah stuasi jadi tenang, Simon menatap pelayan-pelayan Sofia. 

"Kalian bersepuluh mengelilingi istriku tapi diam saja? Lalu apa gunanya kalian di sini?"

Semuangnya menunguk. "Mohon maaf, tuan muda. Kami hanya berhati-hati agar tidak terjadi masalah antara anda dan nyonya Hellen."

"Apa perasaan bibiku lebih penting daripada istriku yang mengandung anakku?"

"... Maaf, tuan muda. Kedepannya kami tidak akan mengulangi kesalahan yang sama."

Simon memberi isyarat untuk mereka menjauh. Meninggalkannya berdua saja dengan Sofia yang hanya diam.

"Kamu baik-baik saja-"

Plak! Sofia menepis sangat keras tangan Simon yang terulur. Tak sudi disentuh olehnya. 

"Sampah menjijikan," bisik Sofia penuh kebencian. "Sok pahlawan sekali membelaku. Tanpa harus kamu bantu, aku bisa mengurus perempuan itu sendiri. Aku juga punya mulut membalas dia. Tidak butuh dengan mulutmu, atau pembelaanmu yang tidak berguna."

Simon terdiam saja. Jujur saja Simon agak berpikir Sofia mungkin sedikit lunak, setelah kemarin malam. Mereka menghabiskan malam yang cukup intens, bahkan Sofia menikmatinya. Tapi ternyata ini dan itu berbeda, kebenciannya malah terlihat semakin besar. 

"Sekarang pilih, Simon Parker, aku yang pergi atau kamu yang enyah dari sini sekarang juga. Aku mau istirahat, bukan mau muntah melihat wajahmu."

"... Pergilah ke kamar." Simon membalas tenang. "Aku tidak bisa membiarkan kamu berada disini tanpa pengawasan, jadi pergilah ke kamar." 

Tanpa bicara lagi Sofia berlalu, meninggalkan Simon diikuti oleh Nia dan pelayan-pelayan lain. 

***

Malam harinya, Sesuai janji, Simon meluangkan waktu untuk bicara dengan Hellen. Niat Simon hanya ingin menegur perbuatan Bella itu sedikit saja, tapi ternyata Bella benar-benar mengadu pada Abraham Parker. Alhasil Simon menemui mereka di kamar Abraham. Dimana ayahnya duduk di tempat tidur.

"Simon, ayah dengar kamu bicara buruk pada putri bibimu. Apa alasanmu melakukan itu?" Tanya Abraham. 

Simon duduk dengan gestur arogan, tanpa beban berkata, "Bella menghina istriku dan hampir menamparnya."

"Aku menyebutnya rakyat jelata!" Balas Bella tak mau kalah. "Itukan kenyataan! Dan aku mau menamparnya karena wanita itu tidak sopan padaku!"

Dulu, Simon pasti tidak akan peduli soal ini. Dirinya pasti akan cenderung lebih membela Bella, karena pada kenyataannya dia tidak salah. Di keluarga ini, Sofia memang rakyat jelata, yang kedudukannya nyaris setara dengan pelayan. 

"Apa istriku harus sipan padamu, nona?"

Namun sekarang berbeda. 

"Apa istriku, ISTRIKU, istri kepala keluarga Parker, pemimpin dinasti Parker, itu harus bersikap sopan padamu?"

Bella tertegun. Spontan saja dia bersembunyi di lengan Abraham. Tentunya, Abraham melindungi keponakannya. 

"Simon! Bicaramu keterlaluan! Bella mungkin sedikit berbuat salah, tapi menekan kalimat semacam itu pada adik sepupumu itu tidak pantas!"

"Benar, Simon." Timpal Hellen. "Kamu, bagaimana bisa marah pada Bella hanya karena masalah kecil?"

"Masalah kecil? Aku merasa tersinggung karena pilhanku dihina, istriku disuruh hormat pada orang yang kedudukannya lebih rendah, dan itu malah disebut masalah kecil?" Simon memicing dingin. "Apa martabatku sekarang sedang dihina juga disini?"

"Simon Kim Parker." Abraham mendelik. "Berhenti bicara begitu pada bibi dan adik sepupumu!"

"Kalau begitu berhenti mengusik istriku. Dia sedang hamil putriku. Mengusik istriku sama saja mengusik pturiku. Dan mengusik putriku artinya meminta aku memusuhi kalian."

"Kenapa kamu jadi sensitif sekali-"

"Tuan Abraham Parker." Simon menukas tajam. "Jangan lupakan kalau anda dan saya bukan sekedar ayah dan anak saja. Anda butuh saya meneruskan dinasti keluarga ini. Anda boleh memperlakukan saya seenaknya sebagai seorang ayah, tapi kalau sedang berhadapan dengan status kepemimpinan, saya harap jangan memperlakukan saya seperti anak kecil. Anda tidak mau saya meperkeruh masalah karena kesal, kan?"

Abraham tak bisa membalas. Kalau Simon sudah bicara formal padanya, itu berarti dia sedang dalam hati yang terlalu buruk. Kalau diperpanjang, anaknya akan semakin marah nanti.

"Istriku kakak bahkan tidak mengandung pewaris." Kata Bella tiba-tiba. "Dia padahal mengandung anak perempuan yang tidak bisa jadi pewaris. Kenapa kakak segitunya melindungi dia?!"

"Bella, jangan bicara sembarangan-" Hellen yang menyadari kemarahan Simon kalin ini agak diluar dugaan, bermaksud menghentikannya. 

Tapi Simon lebih dulu berkata, "Keluar." Simon mengepalkan tangannya kuat-kuat, berusaha keras menahan emosi. "Bella Wicaksono, keluar dari kediamanku. Sampai aku mati, aku melarangmu menginjakkan kaki di kediaman Parker."

"Simon!"

"Bibi Hellen." Simon melirik wanita itu dengan seraut wajah menakutkan. "Bibi dengar kalimatku kan? Perkataan putrimu barusan melukai hatiku dan harga diriku. Atau ternyata perintahku ini tidak berguna dan bibi mau melwan? Haruskan aku panggil para tetua sekarang untuk mengadakan rapat?"

Hellen menahan napas.Kalau rapat dengan tetua diadakan, para tetua kebanyakan pasti memihak Simon agar masalah ini cepat selesai. Dan Simon mungkin akan mencoret Hellen dari daftar orang yang boleh terlibat dengan Parker. 

"Bella, minta maaf dan kemasi barang-barangmu." Titah Hellen. "Kamu sudah menyinggung perasaan kakakmu. Cepat minta maaf."

Bella terperangah. "Mama! Kenapa jadi aku-"

"Cepat!" Hellen mencengkram lengannya, diam-diam berbisik. "Jangan buat Simon membencimu. Minta maaflah dulu sampai kemarahannya reda. Cepat, Bella."

Bella menggertak giginya marah, tapi akhirnya beranjak. "Maaf, kakak." Bella meminta maaf dengan wajah tak rela. "Aku salah bicara. Maaf."

Simon justru berdiri, berbalik pergi. "Jangan buat keributan lagi," gumamnya dingin. "Supir akan mengantarmu pulang, jadi cepat pergi."

***

Simon menjatuhkan dirinya di kursi ruang kerjanya begitu saja. Ia berpikir sebenarnya dari dulu Simon sudan sering mendengar Sofia terlibat masalah. Cukup banyak orang yang mengejek Sofia, dan semakin banyak karena bagaimanapun bentuk ejekan mereka, Simon diam saja. Simon tidak peduli Sofia mau dihina bagaiamana. Itu bukan urusannya. 

Begitulah Simon selama ini berpikir. 

"Sampah menjijikan. Sok pahlawan sekali membelaku. Tanpa harus kamu bantu, aku bisa mengurus perempuan itu sendiri. Aku juga punya mulut membalas dia. Tidak butuh dengan mulutmu, atau pembelaanmu yang tidak berguna."

Perkataan Sofia tadi siang membuatnya tersenyum kecut. 7 tahun mungkin memang sudah terlalu terlambat. Tapi... setidaknya Simon tidak mau menambahnya jadi 8 tahun atau 20 tahun. 7 tahun sikap tidak peduli sudah cukup. 

"Aku tidak punya mesin waktu untuk kembali masa lalu, jadi ya aku memang cuma bisa menyesalinya." Simon menghela napas lagi. "Bahkan kalau kamu tidak suka, Sofia, aku tidak punya pilihan lain kecuali menyesal."


Bunga yang BerseriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang