Bab. 29 (21+)

2.1K 93 5
                                    

"Sayang, kenapa tidak dimakan?" Simon menyentuh wajah Sofia. "dari tadi sepertinya suasana hatimu buruk sekali. Kenapa? Kamu mual?"

Sofia menggenggam tangan Simon yang mengelusnya lalu menggeleng. 

"Hanya tidak nafsu makan." Jawabnya, sedikit tidak jujur. 

Lalu agar mengalihkan Simon, Sofia menengok anaknya di sebelah yang sedang makan dengan kedua tangannya sendiri.

"Kamu suka yogurt-nya, nak?" Sofia menyeka jejak yogurt di bibir Sania. "Makan pelan-pelan saja yah. Habiskan pelan-pelan." 

Mulut Sania mengoceh kecil dengan bahasa yang hanya dia sendiri yang paham, Abraham tertawa melihat itu. 

Suasana lumayan tenang... sampai tiba-tiba jadi rusak bagi Sofia. 

"Selamat pagi." Damian bergabung, seraya melemparkan senyum hangat pada semua orang. "Paman, selamat padi. Maaf terlambat."

"Tidak apa-apa. Lalu dimana Bella?" Balas Abraham. 

"Dia baru selesai mandi. Sebentar lagi menyusul." Damian mengangguk menyapa Simon yang juga balas mengangguk. Lalu tersenyum pada Sofia, dan terakhir pada Sania. "Wah, Sania sudah pintar makan sendiri yah? Hebat sekali."

Abraham tertawa bangga. "Cucuku memang pintar, Damian. Dia sudah bisa banyak hal." Sang kakek yang mendadak cerewet pamer tentang cucunya yang bisa begini dan begitu. 

Simon ikut menimpali sesekali. Merasa senang juga memamerkan anaknya yang cantik, pintar dan menggemaskan. Sementara Sofia, diam menahan mual. 

"Aku tidak suka orang ini," Gumam Sofia dalam dirinya. "Hawanya palsu sekali. Dia bahkan lebih tidak menyenangkan dari Simon dulu."

Tapi Sofia tidak boleh gegabah hanya karena merasa tidak senang. Itu cuma perasaannya sendiri. Itu cuma dugaannya yang mungkin salah. Tidak ada bukti juga untuk berkata Damian itu palsu. Abraham nyatanya menyukai dia dan Simon tidak terlihat terlalu benci padanya. 

Hanya Sofia yang sensistif sendiri. Kalau Sofia memusuhi dia, itu lebih seperti Sofia yang jahat karena membenci orang baik. 

"Itu Bella." Abraham menyadari kedatangan keponakannya. "Nak, cepat sini."

Sofia tak tahu kenapa matanya langsung tajam menatap kedatangan Bella, dan seketika muncul rasa curiga tak berdasar. 

Kenapa dia pakai baju tebal yang menutup seluruh sudut badannya begitu? Bukankah Bella suka gaun berlengan pendek, agak terbuka di punggung, dan panjangnya sebatas lutut. Dia manis dengan pakaian semacam itu. Tapi tiba-tiba dia memaki dress yang sampai menutupi lehernya. 

"Make-upnya lebih tebal dari biasanya." Pikir Sofia lagi dan lagi. "Dia masih muda. Cenderung sukanya make-up tipis. Tanpa make-up tebal dia sudah cantik. Tapi kenapa make-upnya lebih tebal? Terutama di bagian mata."

Jangan bilang...

"Tidak. Aku sudah gila yah? Kenapa malah berpikir terlalu buruk pagi-pagi begini?" Sofia menghela napas. "Bella anak yang manja. Kalau ada apa-apa pasti langsung mengadu. Jangan sampai malah aku yang tidak sehat mencurigai orang terus-terusan."

"Sofia." Simon mendekat menyentuh wajahnya. Kamu kenapa? daritadi kamu gelisah terus, sayang."

"Tidak apa-apa."

"Sofia, jangan memaksakan diri." Abraham ikut bersuara. "Kamu sedang hamil. Kalau perasaanmu tidak baik, lebih baik kembali ke kamat dulu. Jangan paksakan diri."

Damian tersenyum. "Sebaiknya mungkin begitu. Kami memaklumi kalau nyonya muda tidak enak badan."

Sofia akhirnya mengangguk, "Baik. Ayahh, maaf, aku berdiri duluan."

Bunga yang BerseriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang