Bab. 3 (18+)

2.9K 121 1
                                    

 "Apa sedikit saja dia tidak punya hati?" Gumam Sofia kosong. Air matanya meluncur deras, sementara pelayan sedang sibuk menata rambutnya didepan cermin. Wajah Sofia sudah dirias, namun Ia tetap menangis. "Apa sedikit saja, secuil saja, hati nuraninya tidak ada?" 

Pelayan cuman bisa diam, mereka tidak dalam posisi membela Sofia. Apapun yang Simon lakukan, itu terserah Simon. Begitulah pernikahan ini. 

Begitulah seluruh riasan sudah selesai, pelayan meninggalkan kamar itu. Jantungnya berdebar keras, memikirkan bahwa Simon benar-benar akan menghamilinya secara paksa, memaksanya melahirkan seorang anak, lalu kembali mengabaikannya seperti sampah. 

"Kamu masih menagis?" Tanya Simon saat memasuki kamar malam pertama mereka. 

Pria itu datang hanya dibalut kimono, sepertinya baru selesai mandi. Aroma sabunnya tercium harum, tapi membuat Sofia mual. 

"Istriku, berhenti melakukan tindakan bodoh begini. Kalau kamu melahirkan anak untukku, 2 atau 3, maka aku tidaka akan mengganggumu lagi, Terserah padamu mau bagaimana." 

"Aku bukan ternak!" 

"..."

Simon memilih tidak membahas lagi. 

Pria itu pergi meneguk segelas wine di meja dekat tempat tidur, untuk membasahi kerongkongannya yang agak kering. 

Kalau kalian pikir Simon tidak punya hati, maka ya, memang Simon tidak punya hati. Untuk apa hati itu? Tidak berguna sama sekali dalam urusan hidupnya. Makanya Simon tidak merasa bersalah melakukan ini. Sofia istrinya, dia hidup di kediaman Parker. Simon sudah menghidupinya selama ini. Jadi dia harus patuh padanya. 

"Aku akan menawarkan ini sekali lagi, istriku." Simon bergumam. "Lakukan itu sukarela atau secara paksa."

Sofia tetap disana, tetap menangis. 

Maka Simon mendekat, menarik tangannya. 

"Lepas! Lepaskan!" 

"Berhenti membuat ini jadi rumit!" Simon mendorongnya ke tempat tidur. 

Tidak bisakan Sofia patuh saja?! Dengan begitu semuanya akan cepat selesai!

"Tidak mau! Aku tidak mau! Menajuh dariku!"

Simon menangkap tangan Sofia dan menindih tubuhnya. 

"Jangan buat aku melakukan ini dengan rasa sakit, Sofia. Diam dan terima saja, setidaknya tubuhmu tidak sakit."

"Bernapas saja sudah sakit!" Teriak Sofia frustasi. "Bernapas dirumah ini sudah menyakitkan, Simon! Sudah sangat menyakitkan!"

"Ya, dan berapa kali bilang, aku tidak peduli!"

Bersamaan dengan itu, suara 'klik' yang samar terdengar. Sofia terbelalak, barusaha memberontak namun tak lagi bisa. Tangannya diborgol dan dipaksa terangkat ke atas, membebaskan Simon menarik pakaiannya terbuka. 

"Berhenti!" Jerit Sofia diantara rasa malu dan terhina. 

Simon menarik kakinya terbuka lebar, lalu mendorngnya keatas. Dia sejenak menatap Sofia tajam sembari wajahnya mendekat ke bawah. 

"Diamlah." Desisnya. "Setidaknya aku akan berusaha agar kamu tidak kesakitan. Jadi jangan buat aku berubah pikiran."

Sofia terkesiap tajam. Wajahnya terasa panas saat merasakan Simon dibawah sana, mencium miliknya tanpa basa-basi. Kaki Sofia berusaha memberontak, tapi sentuhan yang belum pernah ia rasakan dan kekuatan tangan Simon menahannya membuat Sofia menjerit tak berdaya. 

Ia dipaksa untuk bereaksi. Dipaksa untuk larut dalam permainan menyedihkan ini. Air mata mengalir disudut matanya, tubuhnya perlahan-lahan lemas tanpa tenaga. 

Entah berapa lama Simon dibawah sana, tapi dia baru mengangkat wajahnya ketika kaki Sofia gemetar, bahkan tak lagi sanggup dia gunakan untuk menutup dirinya. 

"Wajahmu cantik juga." Simon memegang dagu Sofia, lalu mendekat, mencium bibirnya dengan bibir basah dan berlendir. "Kalau patuh begini, aku tidak perlu kasar kan?"

Pria bajingan itu melepaskan kimononya, melempar benda itu ke arah belakang. 

"Persiapkan dirimu, istriku. Aku tidak akan berhenti sampai aku merasa itu sudah cukup menghamilimu."

***

Simon terbangun dari tidurnya akibat isak tangis seseorang. Pria itu menengok, menemukan Sofia yang tidur memunggunginya, hanya ditutupi selimut dengan banyak bekas-bekas merah. 

"Ini msaih pagi, tapi kamu sudah menangis. Istriku luar bisa cengeng." Simon memutar matanya malas, memilih beranjak. 

Urusannya sudah selesai, jadi pria itu akan kembali mengurus semua hal yang lebih penting daripada istri yang baru saja diperkosa habis-habisan. 

Didepan pintu kamar, ternyata Alex sudah menunggu. "Tuan muda, selamat pagi."

Simon mengangguk singkat. "Jam berapa?"

"Sudah jam 8 pagi, tuan muda."

Simon terkejut. "Kamu membiarkan aku tidur sampai jam 8 pagi?!" 

Simon biasanya bangun jam 4 pagi. Untuk berolahraga sampai jam 5, lalu baca buku sambil sarapan, menunggu jam 6 dimana waktunya bekerja. Kalau jadwalnya kacau, Simon jadi harus bergadang karena ia harus bekerja 15 jam sehari. Itulah peratusan yang ia buat untuk dirinya sendiri. 

"Alex, seharusnya kamu bangunkan aku!" Simon berkata tegas dan melangkah pergi, mulai pusing memikirkan jadwalnya yang berantakan. 

Tak sedikitpun dia peduli dengan Sofia di dalam kamar. 

***

Sementara itu didalam kamar, Sofia masih terisak-isak. Miliknya perih. Tadi Sofia mencoba bangun kekamar mandi dan berniat pergi ke kamarnya sendiri, tapi saking sakitnya ia tak sanggup. 

Dan rasanya semakin sakit karena Simon langsung pergi, tanpa sedikitpun ada rasa bersalah. 

"Nyonya." Pelayan baru berani masuk setelah Simon pergi. "Kami sudah siapkan air mandi. Mari, nyonya."

Sofia menurut patuh seperti boneka, karena pada akhirnya ia memang tidak pernah jadi manusia dimata suami ataupun dimata seluruh orang di kediaman suaminya.

Mungkin seharusnya Sofia mati saja. Kabur dari Simon itu mustahil, jadi sebaiknya Sofia menyusul ibunya saja. Dengan begitu ia akan terbebas dari neraka ini. 

"Sebaiknya aku ikut denganmu, bu. Nama yang kau berikan dan berharap aku akan menjadi bunga yang indah dan berseri, itu tidak terjadi sama sekali. Aku hanyalah bunga plastik yang disiapkan untuk berada dimana saja oleh pemiliknya. Suami yang ibu berikan padaku adalah iblis tak berhati." Rintih Sofia dalam hatinya.


Bunga yang BerseriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang