BAB 10. Ikut suami

249 32 0
                                    

Akhirnya udah sampe di bab sepuluh nih guys!
Jangan lupa vote ya!
Happy reading ❤️

................

Pagi hari

Mentari sudah menampakkan dirinya, cahaya hangatnya sangat bersinar hari ini, seolah-olah turut bersuka cita atas pengantin baru itu. Ya, siapa lagi? Tentu saja Azzam dan nazaya.

Namun, Dibalik itu, pagi ini nazaya nampak sangat sedih dan wajahnya terlihat sangat murung karena ia akan meninggalkan panti asuhan dan pindah ke rumah Sang mertua.

Sejak tadi malam, ia berkemas untuk membawa hampir semua barang-barangnya untuk di bawa, sesekali air matanya terjatuh saat mengingat kenangan indah terukir dalam panti asuhan yang menjadi tempat tinggalnya hingga sekarang, selain itu juga ia harus meninggalkan Bu nur yang ia anggap seperti orang tua kandung nya sendiri.

Sebenarnya Nazaya akan pindah sejak tadi malam, namun karena Azzam yang tak tega melihat istrinya yang terus bersedih jadi ia putuskan untuk menginap dulu di panti asuhan, bahkan umi Salma dan Abi Irfan juga turut menginap.

Nazaya juga tidur di kamar yang berbeda dengan Azzam karena ia ingin tidur dengan Naira. ya, menurutnya ini adalah malam terakhir ia tidur dengan sahabatnya itu jadi ia putuskan untuk berbeda kamar dengan sang suami.

"Udah dong, Za. Jangan sedih terus, kan nanti kamu bisa berkunjung kesini kapan aja, lagipula rumah suami kamu juga nggak terlalu jauh dari sini." Ucap Naira mencoba menenangkan nazaya, sedangkan Bu nur mencoba tetap berusaha tegar saat ingin melepas anak asuh kesayangannya itu. Bagaimana pun juga seorang istri harus ikut dengan sang suami sebagai tanda kepatuhannya.

Nazaya hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, Naira pun langsung memeluknya dengan erat agar tangis nazaya mereda.

Sebentar lagi kedua pasutri itu akan berangkat dari panti asuhan, Azzam pun sudah memasukkan barang-barang nazaya ke dalam mobil , namun lagi-lagi hatinya terasa sangat sakit saat melihat wajah nazaya yang masih murung, ia mencoba mendekati istrinya tersebut.

"Sudah ya nangisnya? Saya nggak maksa kok kalo kamu masih mau tinggal disini, kalo kamu masih sedih terus, saya jadi nggak enak hati mau bawa kamu ke rumah saya kesannya malah maksa. lebih baik di pertimbangkan dulu, masih mau tinggal disini atau mau ikut saya pulang?..." Tanya Azzam lemah lembut sembari menggenggam tangan nazaya dan mengusap air matanya.

Sulit untuk nazaya mempertimbangkan nya, ia terdiam menatap Azzam dengan tatapan sendu. Perlahan tangisnya mereda,
Ia menghela nafas sejenak dan memberi senyuman tipis kepada Azzam.

Senyum Azzam pun mengembang setelah melihat sang istri kembali tenang, nazaya sudah membuat keputusan. ia berfikir lebih baik ikut dengan Azzam, karena selain azzam sekarang adalah suaminya, itu memang kewajibannya juga mengikuti kemana suami pergi. lagipun Azzam adalah lelaki yang ia sudah percayai sekarang.

"A-aku, ikut ka-mu," putusnya.

Azzam kembali mengulas senyum manis nya, "kalo itu keputusannya, Izin dulu gih sama ibu, sama temen-temen kamu juga." Ujar Azzam sambil mengelus puncak kepala nazaya.

Nazaya mengangguk, ia beranjak dari duduknya dan berjalan menghampiri Bu nur yang tengah berdiri di ambang pintu. "Buu..." Lirihnya.

Bu nur yang menunduk pun mengangkat kepala menatap nazaya sembari menghapus air matanya.

"Bu, nazaya pamit ya.... Nazaya izin mau ikut suami nazaya, makasih ya Bu, udah jagain nazaya selama ini. Sekarang ibu udah nggak perlu lagi jagain nazaya, karena tanggung jawab ibu sekarang sudah berpindah ke suami nazaya. Sekali lagi nazaya banyak terimakasih ya Bu, nazaya pamit." Ucap nazaya sambil memeluk Bu nur penuh kasih sayang, tak terasa air mata itu mengalir lagi. Sungguh, ia tak dapat membendungnya.

Bu nur membalas pelukan nazaya dengan erat sambil mengelus pundak nazaya. "Iya, nak.... Itu memang kewajiban ibu untuk jaga kamu, kamu patuh ya sama suami kamu, jangan bantah omongannya, perlakuan suami kamu seperti kamu memperlakukan ibu." Jawab Bu nur yang di balas anggukan oleh Nazaya.

Setelah mengucapkan salam perpisahan kepada Bu Nur, Nazaya berjalan pelan menuju Naira. Sahabat karibnya itu sudah menunggu dengan mata yang berkaca-kaca, mencoba tetap kuat meski hatinya terasa berat melepas kepergian Nazaya. Mereka sudah bersama-sama melalui banyak hal, suka maupun duka, sehingga perpisahan ini terasa begitu sulit bagi keduanya.

"Naira..." ucap Nazaya dengan suara bergetar.

Naira tak bisa lagi menahan tangisnya. Ia langsung memeluk Nazaya erat-erat, seolah-olah tidak ingin melepaskannya. "Za, jangan lupa ya sama aku. Kamu tetap jadi sahabat terbaikku, selamanya. Jangan lupa datang kalau kamu kangen sama kita semua di sini."

Nazaya mengangguk di antara pelukan itu, merasa hangat dan tenang. "Pasti, nai. Aku nggak akan pernah lupa sama kamu dan semua yang ada di sini. Kamu juga jaga diri baik-baik ya, jangan lupa kabarin aku."

Setelah beberapa saat, mereka berdua akhirnya melepaskan pelukan. Naira menghapus air mata di pipinya dan berusaha tersenyum. "Aku doain kamu bahagia selalu sama Azzam. Kamu berhak dapat kebahagiaan itu, naz."

Nazaya balas tersenyum, meski hatinya masih terasa berat. "Makasih, nai. Aku juga doain kamu bahagia, aku pamit ya, naira."

Setelah mengucapkan salam perpisahan kepada teman-teman lainnya di panti, Nazaya akhirnya melangkah menuju mobil di mana Azzam sudah menunggu. Ia menoleh sekali lagi ke arah panti, meresapi momen-momen terakhirnya di tempat yang sudah menjadi rumahnya selama ini.

Azzam, yang sudah duduk di belakang kemudi, tersenyum lembut padanya. "Siap, Sayang?"

Nazaya menarik napas panjang, lalu mengangguk. "Siap."

Mobil pun perlahan melaju meninggalkan panti, membawa Nazaya ke babak baru dalam hidupnya. Di dalam mobil, meski masih ada sedikit rasa sedih, namun Nazaya mulai merasakan harapan dan keyakinan bahwa perjalanan ini akan membawa kebahagiaan baru baginya dan Azzam.

Di perjalanan, nazaya masih setia memandang ke arah kaca mobil dengan pandangan sendu. Azzam sungguh tak tega melihat istrinya bersedih, bak pisau yang tajam menusuknya, hatinya terasa sangat sakit.

"Nazaya...." Panggilnya pelan sembari menggenggam tangan nazaya yang terasa dingin.

"Hmmm," sahutnya yang belum berpaling dari kaca mobil.

"Hadap saya dong, jangan pandangin kaca mobil terus." Pinta Azzam dengan harapan istrinya itu menghadapnya.

"Memang kenapa?"

"Saya cemburu tau." Ujar Azzam sambil menitikkan air matanya.

Mendengar itu, nazaya segera menghadap Azzam dan terkejut melihat suaminya yang menangis. Pikirnya, mengapa hanya kaca mobil saja suaminya itu sudah cemburu, padahal itu hanya benda mati.

"E-eh, kok nangis? I-iya iya ini aku nggak ngeliatin kaca mobil lagi kok." Ujar nazaya yang agak panik.

Azzam menyeka air matanya dengan lengan baju, lalu mengusap lembut pipi Nazaya. "Saya cuma khawatir kamu merasa sendiri. Saya tahu ini semua berat, tapi saya ada di sini untuk kamu," katanya dengan penuh pengertian.

"Kirain beneran cemburu sama kaca mobil!"

Nazaya memandang mata Azzam dengan penuh rasa terima kasih. "Aku tahu, Azzam. Maaf kalau aku terlalu tenggelam dalam pikiranku sendiri. Aku cuma... Ngerasa kehilangan banyak hal."

Azzam menggenggam tangan Nazaya lebih erat. "Kita hadapi ini sama-sama. Setiap langkah yang kita ambil adalah bagian dari perjalanan kita berdua. Aku yakin, di ujung jalan ini, ada kebahagiaan menanti."

Nazaya mengangguk perlahan, merasa sedikit lega dengan dukungan suaminya. Ia menatap jalanan yang membentang di depan mereka, membayangkan masa depan yang penuh harapan. Dengan tangan Azzam di tangannya, ia merasa lebih kuat untuk melanjutkan perjalanan ini.

................

Kirain beneran cemburu perkara kaca mobil 🗿

Tungguin cerita berikutnya ya!!
See you!

Oh iya, jangan lupa vote ya!

Azzam Al-FatihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang