38| Jiwa bercerita

626 74 10
                                    


     "Enak," puji Jiwa sambil menyesap kopi hitam buatan Khafi. Aroma kopi memenuhi ruang dengan wanginya yang memikat dan rasa manis yang tersisa di hujung lidah mencipta satu kepuasan buat Jiwa. Dia tidak salah memilih Khafi untuk menyeduh kopi hitam buatnya. Buatan Khafi begitu sempurna dan hampir menyerupai kopi buatan sang sahabat lama.

Merasa puas dengan minumannya, Jiwa memberikan satu tepukan lembut di kepala Khafi sebagai tanda terima kasih.

Khafi yang terkejut menepis kasar dan hampir menghadiahkan satu tamparan di muka Niyaz, kalau Jiwa tak menahan telapak tangannya.

"Kalau nak bertarung dengan ku tunggu hingga urusan aku selesai," sindir Jiwa.

Khafi merengus. "Jangan sentuh aku. Aku tak suka."

Jiwa kulum bibir. Tak terasa dengan Khafi, dia rasa nak usik lelaki itu lagi tetapi terpaksa menahan niat itu. Ada perkara besar yang perlu diselesaikan.

"Sejauh mana kebenaran yang telah kau ketahui? Apakah bocah ini sudah menceritakan semua kilasan memori Jiwa Aditya yang aku tanamkan dalam bunga tidurnya kepadamu?" Jiwa beralih ke Alanna.

"Banyak," sahut Alanna.

"Ceritakan padaku semua kenangan yang telah bocah ini sampaikan padamu. Aku ingin mendengarnya terlebih dahulu," pinta Jiwa.

"Sekejap."Alanna meminta sedikit masa. Dia menyelak helaian demi helaian buku notanya, mencari nota tentang peristiwa Kejora dan Jiwa yang pernah Niyaz ceritakan. Meskipun pertemuan mereka hanya sekali, Niyaz tak pernah putus mengirimkan perkembangan kilasan memori yang diterima, baik melalui rangka peta minda yang diserahkan pada Airen atau lewat Whatsapp.

"Jangan buang waktuku wahai penulis. Aku lelah menanti," desak Jiwa setelah lima minit berlalu dan Alanna belum membuka mulut.

"Tak boleh cerita."

Cawan terus dijauhkan dari bibir dan diletakkan serta-merta di atas piring kecil yang disediakan.

"Kenapa?" Jiwa tanya dengan nada yang tak puas hati. Berani pula wanita itu menentang arahannya.

"Sabar." Naail menarik minuman Jiwa dan dijauhkan dari makhluk itu sebagai langkah berjaga-jaga. Risau ada yang kena simbah air kopi nanti.

Alanna menutup buku notanya dan mengetuk-getuk kulit buku dengan hujung jari. Runsing.

"Kenapa? Kau tidak mengerti dengan hasil coretan kau?" Jiwa meneka. Air muka Alanna yang keruh itu mencerminkan segalanya.

"Tak faham tulis apa. Tak tahu nak start cerita macam mana." Terus terang Alanna. Alanna baru sedar informasi yang Niyaz sampaikan melompat-melompat, tidak mengikut alur waktu yang betul. Dia sendiri pening dengan apa yang dia tulis apatah lagi nak ceritakan pada Jiwa.

"Menyusahkan. Sia-sia aku berikan gambaran pada bocah ini kalau aku perlu cerita semula pada kalian."

Jiwa yang sedang menunjal dahi Niyaz itu Alanna kerling.

"Mohon jasa baik... ceritakan kisah Kejora dan Jiwa dari awal. Apa yang Khalif beritahu ni melompat-melompat."

"Ckh..."

"Bo... boleh kan Jiwa?"

Jiwa menatap Alanna. Makin jengkel dia dengan Alanna. Dia tak suka dengan tatapan harapan Alanna. Dia mahu marah tapi entah kenapa ada yang menahan dia dari meledak dan memaki wanita itu. Malaj jatuh simpati pula.

"Jiwa."

Jiwa menghela nafas. "Aku akan ceritakan semuanya," putusnya.

"Terima kasih. Terima kasih banyak-banyak," ucap Alanna. Alanna tarik Airen dan bergerak beberapa inci ke depan dari kedudukan asal mereka. Dia juga mengarah Airen mengambil rakaman sementara dia membuka halaman baru di buku nota dan siap sedia mencatat maklumat yang akan Jiwa sampaikan.

C| MANUSKRIPWhere stories live. Discover now